LSM Cerdas Bangsa: UU BHP Memberlakukan Pendidikan Layaknya Komoditas Pasar, Jadi Layak Dibatalkan


JAKARTA-
Ketua Umum LSM Cerdas Bangsa, Ny Zakariani Santoso, menyambut gembira putusan MK yang membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), karena dinilai bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

‘’Putusan itu telah sesuai dengan hati nurani rakyat Indonesia. Keseluruhan UU BHP ini memang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, UUD 1945 telah mengamanatkan pemerintah untuk bertanggungjawab mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa," ujar Ny Zakariani Santoso yang didampingi Sekretaris Umum LSM Cerdas Bangsa Aris Kuncoro, di Jakarta, Sabu (3/4).

Menurut Ny. Zakariani, keberadaan UU BHP jelas tidak sesuai dengan semangat pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Seharusnya pendidikan digunakan sebagai barang publik, sehingga semua masyarakat harus mendapat akses yang bermutu dan terjangkau.

UU BHP itu, katanya, telah memberlakukan pendidikan layaknya komoditas pasar. Dan juga melepas tanggung jawab pemerintah. Jadi layak dibatalkan.

Diharapkan dengan pembatalan UU BHP ini, pelayanan pendidikan bisa diakses seluruh warga negara Indonesia.

Ditambahkan, salah satu yang membuat UU BHP disorotoi adalah peluang munculnya perguruan tinggi negeri (PTN) berstatus BHMN yang mengelola anggaran secara otonom, yang telah mengutip biaya pendidikan dengan mahal sehingga hanya masyarakat mampu yang dapat mengaksesnya.

Hal ini, tandasnya, jelas tidak sejalan dengan UUD 1945 yang mengamanahkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Anak dari keluarga tidak mampu, tapi memiliki kemampuan intelektual, juga berhak mendapat pendidikan di seluruh perguruan tinggi milik Negara. ‘’Jadi semangat UU BHP itu memang tidak layak dihidupkan lagi,’’tandasnya.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menyatakan UU ini inkonstitusiona karena bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD 1945," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud MD dalam sidang putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Rabu pekan lalu.

Dengan demikian, UU BHP juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

MK berpendapat, ketentuan-ketentuan yang diatur UU BHP pada umumnya merupakan penyeragaman bentuk tata kelola sehingga mengandung banyak kontroversi, terbukti dengan banyaknya perkara permohonan pengujian UU BHP yang diajukan.

Penyeragaman itu terjadi karena UU BHP membuat penyelenggara pendidikan harus berbentuk BHP. Ini berarti yayasan, perkumpulan, dan badan hukum sejenis harus menyesuaikan diri dengan tata kelola melalui perubahan akta dalam waktu enam tahun.

Apabila hal itu tidak dilakukan, maka yayasan, perkumpulan, dan badan hukum sejenis akan mendapat sanksi atau hukuman, walaupun berbentuk administrasi.

Menurut MK, ketentuan penyelenggaraan pendidikan dalam satu bentuk sebagaimana ditentukan dalam UU BHP dapat diartikan melarang sekolah-sekolah yang diselenggarakan masyarakat di luar BHP sehingga sama saja dengan melarang kegiatan berserikat dan berkumpul yang dijamin UUD 1945.

UU BHP, menurut MK, merugikan yayasan dan menghilangkan hak untuk menyelenggarakan pendidikan serta tidak mengakui eksistensi yayasan sebagai penyelenggara pendidikan.

"Tidak diakuinya sekarang ini eksistensi yayasan sebagai penyelenggara pendidikan berarti menimbulkan ketidakpastian bagi masa depan yayasan yang selama ini kegiatannya khusus sebagai penyelenggara pendidikan," katanya.

MK berpendapat, penghilangan peran yayasan sebagai penyelenggara pendidikan sama saja dengan merugikan hak-hak konstitusional para pengelola yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.

Uji materi UU BHP ini antara lain diajukan sejumlah yayasan yang bergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) dan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (YPLP-PGRI).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama