Pekerja Anak Harus Terhindar Dari Bentuk Pekerjaan Buruk

Keterangan Foto:Sekjen Komnas Perlindungan Anak yang juga penggiat hak anak Yayasan Mutiara Amal Lestati Samsul Ridwan.

REMBANG-Dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakrenas) pada tahun 2009 tercatat jumlah seluruh anak berusia 5-17 tahun sebanyak 58,8 juta. Sebanyak 4,05 juta atau 6,9% diantaranya termasuk anak yang bekerja. Dari jumlah keseluruhan anak yang bekerja tersebut, 1,76 juta atau 43,3% merupakan pekerja anak. Meski seorang anak tidak layak bekerja, namun karena pada situasi dan kondisi tertentu, memungkinkan dia untuk berkecimpung di dunia kerja. Hanya saja ada ketentuan khusus yang mengatur pekerja anak harus dipenuhi, dia harus bebas dari 13 jenis pekerjan buruk.

Hal tersebut diungkapkan tiga narasumber yakni Kasi Pengawasan Tenaga kerja Pariwisata Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Propinsi Jawa tengah Budi Prabawaning, Sekjen Komnas Perlindungan Anak yang juga penggiat hak anak Yayasan Mutiara Amal Lestati Samsul Ridwan dan Amiek Soemarmi dari Pusat Penelitian Gender Universitas Diponegoro Semarang, dalam kegiatan sosialisasi peraturan daerah nomor 9 tahun 2007 tentang penanggulangan pekerja anak di aula Dinas Kesejahteran Sosial, Tenaga kerja dan Transmigrasi Kabupaten Rembang, Selasa (2/11). Kegiatan sosialisasi diikuti perwakilan SKPD terkait, Camat, Pemilik tempat hiburan dan Ormas yang  bidang ketenagakerjaan.  

Budi Prabawaning kepada peserta sosialisasi menerangkan, peraturan daerah (Perda) penanggulangan pekerja anak, memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam kerangka otonomi daerah. ”Kebijakan pemerintah dalam bentuk hukum maupun rativikasi Konvensi International Labour Organisation (ILO) tentang pekerja anak sebenarnya sudah banyak diterbitkan,” paparnya.

Pada saat pemerintah Indonesia meratifikasi KILO tersebut, terdapat ketentuan batas kerja minimum di usia 15 tahun, sehingga dimaknai anak usia 15-18 tahun boleh bekerja. Walaupun menurut UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 umur tersebut masih dikatagorikan anak. ”Mengacu pada regulasi tersebut, pemerintah provinsi Jawa tengah kemudian menerbitkan peraturan daerah (Perda) no 9 tahun 2007 tentang Penanggulangan Pekerja Anak,” terang Budi Prabawaning.       

Menurutnya, dalam perda Propinsi Jateng nomor 9 tahun 2007, diantaranya mengatur pengusaha yang mempekejakan anak harus memenuhi sejumlah ketentuan. Antara lain, mendapat ijin dari orang tuanya, jam bekerja tidak lebih dari tiga jam per hari, bekerja di siang hari, menjaga dan menjamin kesehatan-keselamatan pekerja anak, memiliki hubungan kerja yang jelas dan memberikan upah sesuai aturan yang berlaku.  

Sedangkan Amiek Soemarmi dalam kegiatan tersebut menyebutkan, untuk menangani-melindungi dan menghapus pekerja anak agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya, Perda nomer 9 tahun 2007 mengatur larangan bagi pengusaha/pemberi kerja yang mempekerjakan anak. ”Mereka jangan menyuruh bekerja lembur. Bekerja bersama dengan pekerja buruh dewasa dan mempekerjakan anak lebih dari tiga jam per hari,” paparnya.

Ditegaskannya, apabila ketentuan itu dilanggar maka dikenakan pidana mengacu pasal 9 bab 10 perda nomor 9 tahun 2007. ”Dengan ancaman hukuman kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 50 juta rupiah,” tandasnya.

Sementara itu Sekjen Komnas Perlindungan Anak Samsul Ridwan menyampaikan, tiap kabupaten/kota harus melaksanakan perundangan yang melarang eksploitasi anak, baik fisik maupun ekonomi. ”Khususnya pekerja anak harus terhindar dari bentuk-bentuk pekerjaan buruk,” sebutnya.

Menurutnya hal itu tertuang dalam lampiran Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (RAN PBTA)pada Keputusan Presiden RI nomor 59 tahun 2002 berisi 13 jenis larangan yakni; anak dilacurkan, bekerja di pertambangan, bekerja sebagai penyelam mutiara, bekerja di sektor konstruksi, bekerja di jermal, bekerja sebagai pemulung sampah, dilibatkan dalam produksi yang menggunakan bahan peledak, bekerja di jalanan, bekerja sebagai pembantu rumah  tangga, bekerja di industri rumah tangga, bekerja di perkebunan, bekerja di penebagan/pengolahan kayu dan bekerja d industri yang menggunakan bahan kimia.

Terpisah, Kepala Diskesosnakertrans Kabupaten Rembang Suranto pada acara tersebut menyampaikan, saat ini jumlah pekerja anak di Rembang masih cukup banyak, mencapai ratusan orang. ”Dari hasil pendataan pada tahun 2009, diketahui jumlah pekerja anak di sektor pariwsata 10 orang, cafe dan karaoke 10 orang, warung kopi 86 orang, sarang burung walet 50 orang,” terangnya.

Namun tegasnya, Kabupaten Rembang telah membentuk komite aksi penanghapusan bentuk-bentuk pekerjaan buruk. ”Sehingga tidak ada seorangpun anak masuk katagori bekerja di 13 jenis bentuk pekerjaan buruk untuk pekerja anak,” tandasnya. (hasan)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama