JAKARTA (wartamerdeka.com) - Puluhan tersangka korupsi divonis bebas oleh Pengadilan Tindak PIdana
Korups (Tipikor) di sejumlah daerah,
sejumlah pihak pun mendesak agar pengadilan tipikor di daerah dibubarkan saja. Menggapi hal itu, Pemerintah melalui
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan tengah mempertimbangkan
untuk menghapus pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) daerah dan
memusatkannya di Jakarta. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny
Indrayana mengungkapkan, pihaknya telah mendiskusikan kemungkinan tersebut dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Waktu kita bicara dengan KPK sempat diperbincangkan apakah
tidak lebih baik, lebih bermanfaat kalau pengadilan tipikor itu hanya di
Jakarta," kata Denny di Jakarta, Sabtu (5/11/2011).
Pertimbangan itu didasarkan pada fenomena maraknya vonis bebas
terdakwa korupsi yang dikeluarkan pengadilan tipikor daerah. "Mari kita
lihat mana yang lebih bermanfaat dalam pemberantasan korupsi," ujar Denny.
Seperti diketahui, pengadilan tipikor daerah tengah menjadi
sorotan masyarakat karena maraknya vonis bebas terhadap koruptor yang
dikeluarkan majelis hakim di sana. Berdasarkan data ICW, dalam dua tahun
terakhir, pengadilan tipikor daerah mebebaskan 40 terdakwa korupsi. Rinciannya,
4 di Bandung, 1 Semarang, 14 Samarinda, dan 21 orang di Surabaya.
Misalnya saja, Pengadilan Tipikor Bandung yang membebaskan tiga
terdakwa korupsi yakni Walikota Bekasi Mochtar Mohamad, Bupati Subang Eep
Hidayat, dan Wakil Walikota Bogor, Achmat Ruyat.
Selain itu, Pengadilan Tipikor Semarang memvonis bebas terdakwa
kasus korupsi pengadaan sistem informasi administrasi dan kependudukan (SIAK)
online di Kabupaten Cilacap, Direktur Utama PT Karunia Prima Sedjati Oei Sindhu
Stefanus.
Terbaru, Pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur
membebaskan 14 anggota DPRD Kutai Kertanegara yang menjadi terdakwa kasus
dugaan korupsi dana operasional penunjang kegiatan anggaran 2005.
Anggota Badan Pekerja Indonesia
Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, sebelumnya, berpendapat, pengadilan
tipikor sebaiknya dipusatkan di Jakarta. "Memang cukup di Jakarta, dengan
dibatasi kasus-kasus yang ditangai di KPK atau di luar KPK yang memenuhi
syarat, misalnya di atas Rp 1 miliar (kerugian negaranya)," papar Emerson.
Apalagi, katanya, pendirian pengadilan-pengadilan tipikor di
daerah tersebut belum diimbangi dengan proses rekrutmen hakim yang benar dan
pengawasan Komisi Yudisial yang kuat. Ditambah, persoalan biaya tambahan yang
diperlukan untuk menggelar sidang di pengadilan tipikor daerah.
"Kejaksaan mengeluhkan pengadilan itu cost,
biaya tinggi. Misalnya di Merauke tapi harus diadili di Jayapura, itu
menimbulkan cost-cost baru," tutur Emerson.
Malah menurut
catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 40 terdakwa kasus
korupsi telah divonis bebas di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor)
daerah.
Emerson Yuntho, mengatakan, fenomena maraknya vonis bebas di
pengadilan tipikor daerah tersebut harus menjadi perhatian Kementerian Hukum
dan HAM di samping memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat
koruptor.
ICW mencatat, 40 vonis bebas terdiri dari empat vonis bebas di
Bandung, satu di Semarang, 14 Samarinda, dan 21 Surabaya.
Emerson khawatir, vonis bebas di pengadilan tipikor daerah itu
akan semakin marak menyusul penerapan kebijakan pengetatan pemberian remisi dan
pembebasan bersyarat koruptor.
Kemungkinan, para pelaku tindak pidana korupsi akan makin gencar
memperjuangkan vonis bebas di pengadilan, mengingat mereka sekarang akan
semakin sulit mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Dia juga mengingatkan Kementerian Hukum dan HAM untuk
memberantas korupsi dari hulu ke hilir. "Kita bicara pembebasan korupsi
dari hulu ke hilir. Kalau LP (lembaga pemasyarakatan)-nya korup, enggak ada
jeranya," ujar Emerson.
Hal lain yang harus diperhatikan Kementerian Hukum dan HAM,
katanya, terkait sel khusus untuk koruptor. Menurut Emerson, seharusnya
terpidana korupsi tidak disediakan sel khusus yang justru membuat mereka tampak
diistimewakan. "Saya heran kenapa dibuat sel khusus koruptor? Kenapa tidak
digabung?" kata dia.
Hakim Pengadilan Tipikor harus Dievaulasi
Sementara itu, mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie meminta Mahkamah Agung (MA) agar segera
mengevaluasi hakim-hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan
Tipikor) di daerah. Pernyataan tersebut diungkapkannya menanggapi maraknya
vonis bebas sejumlah koruptor di pengadilan Tipikor daerah akhir-akhir ini.
"Kalau memang tidak terkontrol, MA harus segera
mengevaluasi sumber daya manusia dan hakim-hakim di pengadilan Tipikor daerah.
Segera diperbaiki, apa inti masalahnya, jangan sampai pengadilan Tipikor daerah
ini malah menjadi sumber masalah baru di sistem peradilan negeri ini,"
ujar Jimly, Sabtu (5/11/2011), di Jakarta.
Kasus terbaru, Pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur,
antara lain membebaskan empat terdakwa korupsi kasus korupsi dana APBD Kutai
Kartanegara senilai Rp 2,98 miliar. Keempatnya merupakan anggota DPRD Kutai
Kartanegara.
Dikatakan Jimly, maraknya vonis bebas tersebut dapat terjadi
karena beberapa faktor. Disamping perekrutan hakim-hakim ad hoc, evaluasi
manajemen Pengadilan Tipikor daerah juga perlu mendapatkan perhatian khusus
saat ini.
"Karena banyak memang, perekrutan hakim-hakim itu hanya
sebagai lahan pencari kerja. Dan, sumber daya manusianya itu belum
dimaksimalkan dengan baik," kata Jimly.
Ditambahkan, faktor lainnya yakni karena sejak awal
pembentukannya, Pengadilan Tipikor daerah memang terkesan dipaksakan secara
politis oleh pemerintah dan DPR. Saat menjadi Ketua MK, Jimly mengaku tidak
pernah menyetujui adanya pengadilan tersebut, karena dinilai akan menyebabkan
dualisme sistem peradilan di daerah dan pusat.
"Maka dari itu saya sesalkan kalau seperti ini keadaannya,
banyak vonis-vonis bebas di daerah. Jadi MA harus memperhatikan persoalan ini
dengan serius, dengan segera mengevaluasi dan memperketat seleksi-seleksi hakim
ad hoc di daerah," tegasJimly. (AR/berbagai sumber)