Pencatuman Sekolah Minggu Diprotes, Intervensi Pemerintah Dinilai Terlalu Jauh dalam RUU Pesantren

Pither Ponda Barany SH,  MH. 
TORAJA UTARA (wartamerdeka.info) - Belum juga disahkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang kini sedang dibahas di DPR RI, mendapat tanggapan berbagai pihak. Tanggapan itu ada yang pro dan ada yang kontra. Salah satu yang menanggapi hal ini datang dari seorang Advokat muda dan tak asing lagi, Pither Ponda Barany SH,  MH.

Pither memprotes keras pencantuman Sekolah Minggu dan Katekisasi pada RUU Pesantren. Menurut dia, pengaturan mengenai Sekolah Minggu dan Katekisasi pada RUU Pesantren,  merupakan langkah mundur dalam jaminan menjalankan ibadah beragama.

Ini juga,  kata Pither,  sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam menjalankan tata beragama. Pengaturan dalam menjalankan keberagamaan. "Biarkanlah ini diatur oleh agama masing-masing. Negara tidak  berkompoten melakukan intervensi pengaturan," tegas Pither kepada wartamerdeka.info,  hari ini.

Dalam mengelola negara, tambahnya,  pemerintah sejogjanya lebih fokus pada hal-hal lain yang menjadi masalah sejauh ini. Itu, kata dia, seharusnya yang jadi prioritas penanganan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebelumnya, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengkritik juga ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang mengatur tentang pendidikan sekolah minggu dan katekisasi.

Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 69 dan Pasal 70 RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom mengatakan, pihaknya tak sepakat dengan ketentuan penerapan syarat atau pembatasan terhadap pendidikan sekolah minggu dan katekisasi.

"Sejatinya, pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan," ujar Gomar.

Pasal 69 ayat (3) RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menyatakan, pendidikan sekolah minggu dan katekisasi diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 orang peserta didik.

Kemudian, pada Pasal 69 ayat (4), pendidikan keagamaan Kristen nonformal wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan.

Sedangkan Ketua Majelis Hukum PP Muhammadiyah Trisno Raharjo juga menilai Rancangan Undang-Undang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren (RUU Pesantren) perlu dikaji lanjut. Dengan cara, melibatkan beberapa stakeholder, salah satunya Kementerian Agama.

"Saya menganggap perlu dikaji, kami majelis mengganggap perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Pemerintah perlu melibatkan stakeholder yang lebih luas, yang kami ketahui misalnya Kementerian Agama, itu lebih banyak dan berkonsentrasi pada pesantren dan pendidikan keagamaan Islam," kata Trisno usai bertemu Wapres Jusuf Kalla, di kantor Wapres, Jalan Merdeka Utara, Kamis (25/10/2018).

Trisno menilai, RUU Pesantren perlu disatukan dengan sistem pendidikan nasional. Karena itu, pihaknya meminta agar dikaji secara menyeluruh agar tidak terjadi diskriminatif.

Sebab menurut dia, pesantren dan pendidikan keagamaan tidak semata-mata soal pesantren dan pendidikannya saja. Tetapi di dalamnya mengatur juga pendidikan agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Hal tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip persamaan dan tidak diskriminatif. Karena itulah, perlu semua pihak duduk melakukan pembahasan.

"Kami sampai saat ini masih melihat bahwa ini lebih tepat 1 sistem. Jadi ada di sistem pendidikan nasional, tinggal bagaimana kemudian hal-hal yang dianggap tadi yang dalam rancangan undang-undang perlu diperhatikan itu dimasukkan dalam pendidikan nasional," kata dia.

"Artinya akan lebih baik kalau ada keinginan untuk mendorong RUU Pesantren dan pendidikan keagamaan ini menjadi satu bagian, dan kita perbaiki undang-undang sistem pendidikannya kalau itu dirasa perlu dilakukan prioritasnya," tambah Trisno.
(Tom/Aris)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama