Cucu Kandung Ahli Waris Bato'rante Klarifikasi Soal Lapangan Bakti Di Torut


TORAJA UTARA (wartamerdeka.info) - Pemda Toraja Utara (Torut) saat ini menghadapi dua persoalan sengketa tanah yakni Lapangan Gembira dan Lapangan Bakti. Kedua lapangan ini berada di tengah kota Rantepao, ibukota Torut.

Ironisnya, dalam perkara dua lahan tersebut, Pemda Torut selaku tergugat pada tingkat banding dikalahkan oleh para penggugat.

Para penggugat, antara lain, Ahli Waris H. Ali untuk kasus Lapangan Gembira dan Ahli Waris Bato'rante untuk kasus Lapangan Bakti.

Pemda Torut kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI namun hingga sekarang belum membuahkan hasil.

Selain mengajukan kasasi, Pemda Torut juga menempuh upaya lain guna menekan lembaga hukum seperti MA dan para hakim.

Upaya itu seperti menggelar demonstrasi dan bersurat ke pihak lain. Surat ke Presiden Jokowi, Komisi Yudisial dan lainnya. Tujuannya untuk mengintervensi kemandirian dan independensi hakim dalam mengambil putusan.

Tidak puas dengan langkah tersebut, Pemda Torut pun mengggelar konfrensi pers, dengan mengundang sejumlah wartawan di Torut, Kamis lalu (4/4).

Hadir dalam acara jumpa pers yang digelar di ruang kerja bupati, selain Bupati Kala'tiku Paembonan juga Pengacara Pemda Samuel Budi Paembonan, Staf Khusus Bidang Hukum dan Pengawasan Pemda Pither Ponda Barany serta Pemuka Adat Masyarakat Ba'lele Nathan Limbong, dan lainnya.

Namun, gayung bersambut, Iangkah Pemda Torut mengadakan konfrensi pers dengan berbagai paparan penjelasan dan pernyataan yang berkembang serta dilansir media, mendapat tantangan dari pihak Ahli Waris khususnya Ahli Waris Bato'rante, Ludia Parirak, untuk kasus Lapangan Bakti.

Roland H Bato'rante, cucu kandung Ludia Parirak, menyatakan sikap dan pandangannya terkait hal ini. Kepada redaksi media ini, Roland menganggap langkah yang dilakukan Pemda Torut di luar proses hukum, misalnya dengan mengadakan jumpa pers itu, merupakan bentuk kekecewaan dan kepanikan pemerintah setempat.

“Ada kan proses hukum. Kita serahkanlah ke mekanisme hukum jangan diintervensi dengan berbagai dalil pembenaran. Percayakan saja ke hakim yang menangani perkara itu. Hakim juga bukan orang bodoh kok, dan semuanya tentu sudah melalui pertimbangan hukum berdasarkan bukti-bukti valid yang ada. Ini tidak main-main,” ujar Roland, via ponsel, Minggu siang (7/4/2019).

Menyoal penamaan Lapangan Bakti dari sebutan Ba'lele Kondongan Tikala, seperti berkembang dalam jumpa pers itu, Roland mengatakan, itu hanya sebuah plesetan yang dikembangkan oknum pemda pada jaman FB Sorring jadi bupati. Sebutan itu terpublikasi ketika itu untuk menangkis gugatan Rahman G. Sampetoding.

Bakti, menurut Roland, adalah kegiatan yang kerap dilakukan oleh masyarakat Rantepao di sebuah sawah. Sawah itu mengering membentuk sebuah lapangan dengan istilah kerja “Bakti”, sehingga disebut Lapangan Bakti sejak 1962.
Sedang soal bukti kepemilikan sah, kata Roland dalam rilisnya, hanya pengadilan yang bisa menguji dan menentukan, bukan pemda.

Aktivis Toraja Transparansi ini juga menolak jika Hakim Pengadilan Tinggi dianggap tidak menggali hukum dalam masyarakat Toraja. Pasalnya, dalam persidangan di tingkat banding yang lalu, hakim sudah menghadirkan saksi ahli adat yang diakui negara. Sehingga ini menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil putusan.

“Ludia Parirak, nenek kandung saya, adalah anak tunggal yang sah dari pasangan Bato'rante dan Lai’ Kendek. Secara otomatis ahli waris K1 adalah Ludia Parirak dan itu sudah ada pernyataan dari pemda setempat,” ungkap Roland meyakinkan.

Penggiat Perkumpulan WASINDO (Pengawas Independen Indonesia) ini juga menyoroti pernyataan oknum yang mengaku pemuka masyarakat Adat Ba'lele dalam acara jumpa pers lalu. “Itu tidak mewakili masyarakat Ba'lele secara umum. Mungkin itu hanya pendapat pribadinya demi kepentingan pribadi juga,” tegasnya.

Karena itu, lanjut Roland yang juga Koordinator Humas Forum Masyarakat Ba'lele, pihaknya mempertanyakan kebenaran pernyataan yang dilontarkan oknum tersebut. (Tom)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama