Mengenal Gejala Post Power Syndrome


Oleh : Fory Armin Naway 
(Dosen FIP Universitas Negeri Gorontalo)

HIDUP dan kehidupan bagi setiap orang, adalah pergulatan untuk menjalani proses waktu yang terus saja berputar yang seakan menggilas tanpa kompromi. Hidup itu juga dinamis. Tidak seorang pun yang mampu memastikan, bahwa hidup seseorang akan selamanya berjaya atau sebaliknya akan selamanya berada dalam kesusahan.

Ada waktunya, seseorang  mencapai puncak karir yang cemerlang, tapi ada masanya, dimana ia harus kehilangan kejayaannya. Itulah hidup. Hari ini, bulan ini, tahun ini mungkin saja kita menggenggam dunia, menjadi pejabat, menjadi kaya-raya dan berpangkat, memiliki kekuasaan, ketenaran, dihormati, dipuja dan disanjung.

Namun tidak ada yang bisa menjamin, minggu depan, bulan depan, tahun depan, lima tahun ke depan bahkan sepuluh tahun ke depan, semua itu tetap ada dan melingkupi kehidupan kita.  Hidup ibarat roda yang terus berputar, tidak selamanya  di atas dan tidak selamanya juga di bawah. Benar adanya ungkapan yang mengatakan, setiap massa ada orangnya, setiap orang ada massanya.

Ketika pangkat dan jabatan tidak lagi dipundak, ketika kekayaan tidak lagi berpihak, ketika kejayaan mulai meredup, orang yang memuja dan menyanjung mulai menghilang satu persatu, maka saat itulah seseorang sangat berpotensi akan mengalami gejala “Post Power Syndorome”.

Veronika Adesla, Psikolog Klinis dari Personal Growth seperti dilansir detikhealt.com mengatakan, Post Power Syndrome biasanya muncul setelah seseorang kehilangan kekuasaan atau jabatan yang diikuti dengan harga diri yang menurun. Ia merasa tidak lagi dihormati sehingga mudah tersinggung, mudah curiga, mudah marah dan uring-uringan. Bahkan semua orang di matanya salah dan hanya ia yang benar. Itulah sebabnya, ia cenderung arogan dan tempramental.

Selain itu masih menurut Veronika, gejala Post Power Syndrome yang umum menggejala tercermin dari sikap seseorang yang sangat sensitif, mudah kecewa terhadap sesuatu dengan alasan yang tidak berdasar, kadang juga menjadi bingung entah apa yang akan dilakukannya,  merasa kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa dan bahkan hidupnya terasa hampa. 

Secara klinis, orang yang mengidap Post Power Syndrome mudah mengalami depresi akut dan sangat berpotensi mengalami penyakit darah tinggi dan cenderung arogan. Itulah sebabnya, Post Power Syndrome sangat penting dikendalikan, karena tidak hanya berdampak terhadap psikis tapi juga fisik dan bahkan lebih dari itu dapat mengganggu hubungan silaturahmi dengan keluarga, kerabat, sahabat dan orang-orang di sekitarnya.

Post Power Syndrome sebenarnya terjadi dan dipicu oleh ketidaksiapan seseorang dalam beradaptasi dengan kondisi perubahan “status sosialnya”. Ia seakan tidak siap, masih merindukan “kejayaan” dulu yang pernah direngkuhnya, masih sering muncul hasrat yang tinggi untuk kembali diperlakukan seperti dulu. ia masih ingin dilibatkan dalam persoalan-persoalan yang terkait dengan apa yang pernah digelutinya dulu.

Parahnya lagi, ia akan marah, kecewa, curiga dan bahkan dendam terhadap orang yang  kebetulan menggantikan posisinya. Semua itu, jika tidak terkendali dan sudah merasuk ke dalam jiwanya, akan menjelma ke dalam sikap yang menyimpang, seperti menjadi arogan dan marah-marah. Semua itu sebenarnya terjadi, karena ketidaksadarannya, bahwa massanya telah berakhir, zaman sudah berubah dan regenerasi sudah harus terjadi.

Post Power Syndrome dengan demikian dapat disimpulkan akan melingkupi dan dialami oleh orang yang terlalu “cinta dunia”, cenderung mengagungkan dan mendewakan dunia sehingga terkadang lupa hakekat hidup yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dalam banyak literatur disebutkan, salah satu kunci menghindari terjadinya Post Power Syndrome, adalah sikap ikhlas dan berbesar hati untuk menerima ketentuan yang menjadi “kudrat” manusia. Yakni kesadaran bahwa ada masa-masa di mana ia mendapatkan giliran untuk berada “di atas” dan ada masanya juga ia harus digilas oleh waktu yang memaksanya harus berada “di bawah”. Itulah yang disebut dengan “roda kehidupan”.

Yang menarik, fenomena dunia akademisi sebenarnya layak menjadi rujukan dan sumber pembelajaran. Di dunia akademisi, setiap dosen biasanya mendapatkan tugas tambahan menjadi pejabat di kampus, misalnya menjadi Rektor, Dekan dan Ketua Jurusan yang terkadang, jabatan itu datang silih berganti. Itulah sebabnya, bagi para akademisi, hari ini menjabat, besok lusa tidak lagi menjabat, merupakan hal yang biasa, karena sesungguhnya kesadaran bahwa jabatan itu hanya sekadar tugas tambahan menjadi sisi lain yang membuat seorang akademisi   sekan sudah terlatih sehingga potensi mengalami “post power syndrome” sangat kecil kemungkinan terjadi.

Namun bagi mereka yang bukan akademisi, memang harus diakui, ketika “menanggalkan perhiasan dunia” memang terasa berat. Apalagi perhiasan itu lama ada dalam genggamannya, melingkar dalam setiap desahan  nafasnya, selalu mengikuti derap langkah hidupnya dalam rentang waktu yang lama, maka ketika suatu saat dilepas, kadang muncul rasa kangen, muncul kerinduan yang mendalam. 

Apalagi  jika hal  itu muncul di tengah malam dalam kesendirian, rasa kesepian sudah pasti melanda, mata sulit terpejam, keresahan hati terus mendera karena orang-orang tercinta, tidak lagi memantulkan kehangatan seperti dulu, orang-orang yang sering memujanya sudah menjauh, maka ketika itu, jika ia tidak mampu mengendalikan dirinya, maka karakter aslinya terkadang akan muncul. Ia bisa saja menjadi angkuh, arogan dan menampakkan diri sebagai pribadi yang sulit untuk dipahami. Karakter asli adalah sifat dan watak asli seseorang yang biasanya tidak akan muncul saat dilingkupi oleh kenikmatan dunia, namun akan keluar saat kenikmatan dunia itu sirna dan menjauh darinya. Itulah pentingnya pengendalian diri. 

Sejatinya, ketika tidak lagi menjabat, kesadaran akan hakekat hidup bahwa urusan dunia sudah selesai dan sudah tiba saatnya untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta.  Itulah yang disebut kembali  kepada hakekat, merenung dan menyerahkan diri sepenuhnya (Tawakal) di akhir sisa-sisa hidupnya untuk beribadan (bertafakur), siap menghamparkan sajjadah di ruang dan waktu yang sunyi, mohon petunjuk, menengadahkan tangan, berbisik, mengeluh dan berkomunikasi dengan Sang Maha Pencipta.

Yakinlah, pada moment itulah, pintu Arsy terbuka lebar untuk mendapatkan kembali “nur”, cahaya kehidupan yang baru, menjadi Pandito meminjam istilah mendiang mantan Presiden Soeharto sehingga mampu memancarkan  “keteduhan jiwa”, membimbing melalui teladan, menyapa kehidupan dengan ramah, tersenyum di tengah badai. Itulah insan yang mahardika, sang senior yang bijaksana yang siap menemukan kembali “jati dirinya” bersiap menyongsong kehidupan yang lebih hakiki di alam  lain yang telah dijanjikan. Semoga (****)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama