Money Politik, Benih Korupsi dan Momok


Oleh: Tom Tiranda 

PILPRES dan Pilcaleg 2019 kini di depan mata. Even nasional yang merupakan ajang kedaulatan rakyat ini seyogyanya berlangsung demokratis. Apa adanya, tanpa teror dan tanpa money politik.
Biarlah rakyat sendiri yang menentukan sikap dan pilihan mereka.

Hanya disayangkan, menjelang hari H pelaksanaan Pemilu ini terbetik kabar adanya perbuatan money politik diduga dilakukan sebagian caleg.

Misalnya dengan membagi-bagi sarung kepada masyarakat serta cara lain yang mengarah pada politik dagang.

Tujuannya untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih caleg bersangkutan.

Politik dagang dengan money politik bisa menjadi benih tumbuhnya korupsi. Betapa tidak, money politik dinilai sebagai modal atau capital yang dikeluarkan.

Investasi politik ini dimaksudkan untuk mendapat profit atau keuntungan sebesar-besarnya jika terpilih. Paling tidak, kembali modal atau break even point (BEP).

Namun faktanya, anggota dewan atau legislator yang duduk sekarang selain berpikir modal sudah dikeluarkan, juga keuntungan serta manfaat lain. Mereka lebih profit-oriented, mencari peluang untuk keuntungan sebanyak mungkin.

Ini menjadi faktor pemicu mendorong adanya korupsi. Ada rasa tidak puas karena ingin mendapat lebih banyak dari layaknya pendapatan seorang anggota dewan.

Caranya dengan bermain di anggaran dan proyek. Ini gampang dilakukan karena dewan punya ‘power’ atau pengaruh. Punya fungsi-fungsi yang melekat. Seperti fungsi legislasi, budgeting (anggaran), dan fungsi pengawasan.

Tak heran jika sebagian anggota dewan, di daerah atau pusat, ada yang terjaring OTT KPK.

Dengan demikian, money politik termasuk suap dan grativlikasi menjadi momok. Bagaimana pendapat anda? (*)

Penulis adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan WASINDO (Pengawas Independen Indonesia), Presidium AMTAK (Aliansi Masyarakat Toraja Anti Korupsi), Ketua Toraja Transparans, dan Anggota LP3KN (Lembaga Pemantau Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Negara)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama