Sidang Mediasi Lawan Presiden, Penggugat Dan Para Tergugat Gagal Berdamai


JAKARTA (wartamerdeka.info) - Kejutan terjadi dalam sidang mediasi gugatan pengacara Alexius Tantrajaya, SH, MHum, terhadap Presiden RI dan Sembilan Lembaga Negara.

Sebab, ternyata, secara diam diam, Tergugat Mabes Polri  telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian  Penyidikan (SP-3), atas Laporan Polisi Ny Maria Magdalena Adriayati Hartono yang dilakukan 11 tahun silam (8 Agustus 2008).

Tentang adanya penerbitan SP-3 ini terungkap dalam  sidang mediasi yang dipimpin hakim mediator Dul Husen SH dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (9/7).

Terungkapnya tentang SP-3  tersebut ketika hakim menjelaskan arti  mediasi. "Saya kira para pihak sudah mengerti  apa yang dimaksud mediasi, yaitu melakukan musyawarah guna mencari  menyelesaikan dalam  perkara ini," kata hakim.

"Saya mau bertanya kepada Penggugat, apakah masih terbuka untuk melakukan hal mediasi ini?"

Menjawab hakim, Penggugat Alexius Tantrajaya, SH, MHum mengatakan," Bagi saya masih terbuka, pak hakim," katanya.

"Bagaimana dengan Tergugat 8,9,10 (pihak kepolisian/Mabes Polri)," tanya hakim.

"Sudah tertutup. Karena kami telah mengeluarkan SP-3," tutur kuasa hukum Mabes Polri.

Mendengar jawaban seperti ini rupanya membuat Penggugat tercengang.  "Kalau memang laporan  Ny Maria sudah di SP-3, kapan. Tahun 2010  atau tahun 2011. Tanggal berapa dan bulan apa", kejar  Penggugat Alexius Tantrajaya dengan nada suara agak keras.

Lalu dijawab oleh kuasa hukum Mabes Polri dengan mengatakan, tidak tahun 2010 atau tahun 2011. Tapi sekitar dua minggu lalu,  bulan Juni   2019, katanya.

Mengetahui laporan Ny Maria sudah di SP-3 oleh Mabes Polri, maka Alexius Tantrajaya sebagai Penggugat dan kuasa hukum pelapor Ny Maria meminta kepada para tergugat untuk membayar ganti rugi  semua pengeluaran dan honor yang harus diterimanya dari klienya Ny Maria  sejak tahun 2008,  yang diperkirakan sekitar Rp 1,1 miliar seperti dalam petitum gugatannya.

Dengan pernyataan  adanya SP-3 tersebut, maka  mediasi sudah dianggap  tertutup, hakim mediasi pun  menunda sidang 1 minggu mendatang untuk memberi kesempatan kepada kuasa para tergugat  agar menyampaikan  tanggapannya atas hasil  persidangan mediasi ini. Tidak lama kemudian hakim  Dul Husein menutup sidang.

Advokat senior Alexius Tantrajaya, SH, MHum menggugat Presiden RI dan Sembilan Lembaga Negara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), karena merasa profesinya dilecehkan.

Gugatan terhadap Tergugat I sampai Tergugat X disebut melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap, Penggugat.

Terkait perbuatan para Tergugat yang melakukan PMH  Alexius Tantrajaya  mengajukan ganti rugi sebesar Rp 1,1 miliar secara tanggung renteng terhadap Tergugat I sampai Tergugat X.

Adapun yang digugat Alexius: Pemerintah Indonesia (presiden), Ketua DPR, Ketua KPK, Ketua Kompolnas,  Ketua Komnas HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian RI, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Kepala Devisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, dan Ketua Ombudsman selaku turut tergugat.

“Saya gugat ganti rugi sebesar Rp 1,1 miliar, baik sendiri-sendiri maupun patungan (tanggung renteng) dan harus dibayar tunai, nggak dicicil," kata Alexius dalam gugatannya.

Alexius Tantrajaya mengatakan, gugatan diajukan lantaran batas kesabarannya sudah habis. Sebagai advokat, dia merasa profesinya dilecehkan oleh para tergugat. “Saya menilai, mereka telah mengingkari sumpah dan janji sebagai penegak hukum,” katanya.

Para Tergugat, lanjut Alexius, sebagai penegak hukum tidak dapat melaksanakan secara maksimal Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni: “Negara Indonesia adalah negara hukum dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya,” katanya menjelaskan isi pasal dimaksud.

Secara perundangan, lanjutnya, seharusnya para Tergugat memberikan perlindungan hukum kepada kliennya, Ny. Maria Magdalena Andriati Hartono (Maria) dan kedua anaknya. Tapi nyatanya, hal itu tidak pernah dilakukan. Buktinya,
surat permohonan perlindungan hukum yang diajukan kepada para Tergugat, diabaikan selama rentan waktu 10 tahun lebih (sejak tahun 2008 silam).

“Baik kepada presiden, kami juga berkirim surat kepada lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Intinya meminta perlindungan hukum terhadap Maria. Jangankan perlindungan, merespon surat kami saja tak pernah dilakukan. Di mana akhirnya, kasus klien kami menggantung. Padahal batas kadaluarsanya tinggal setahun lebih. Setelah itu, laporan pidana Maria akan hangus secara hukum,” papar Alexius Tantrajaya.

Sebagai advokat, katanya, dia harus profesional, bertanggung jawab, serta memberikan perlindungan hukum kepada klien. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (2) UU Advokat No. 18 Tahun 2003.

“Tapi sebagai penegak hukum, saya merasa para tergugat telah melecehkan saya selaku advokat, karena telah mengabaikan surat permohonan perlindungan hukum yang saya kirim kepada mereka. Dan saya beranggapan, mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum. Wajar jika saya menggugat,” ujarnya.

Menurut Alexius, kasus Maria menyangkut warisan peninggalan mendiang suaminya, Denianto Wirawardhana, yang telah dikuasai oleh keluarga almarhum. Padahal yang berhak atas warisan itu adalah dua anak hasil perkawinannya dengan almarhum, serta seorang anak yang bermukim di Jerman, hasil perkawinan Denianto Wirawardhana sebelumnya dengan wanita warga negara Jerman.

“Perkara klien kami mengendap begitu lama. Bayangkan saja, Maria Magdalena melapor pada tahun 2008, hingga 2019 ini polisi belum memproses. Itu artinya, hampir 11 tahun lebih laporan klien kami digantung. Tidak jelas alasannya seperti apa,” ungkapnya.

Sesuai Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ancaman pidana di atas 3 tahun lebih masa kadaluarsa perkaranya 12 tahun. Berarti tenggang waktu proses hukum kliennya sedikit sekali. Yakni, tersisa setahun dua bulan ke depan.

“Jika polisi belum juga memproses, berarti laporan klien kami tahun depan sudah hangus. Apakah itu yang diharapkan polisi untuk kasus klien kami? Jika benar, rasa keadilan seorang rakyat bernama Maria Magdalena telah dicabik-cabik. Hak keadilannya telah diperkosa,” tegas Alexius Tantrajaya, tajam.

Advokat senior ini menyatakan, dalam konteks perkara Maria, polisi bersikap diskriminatif. Hal ini bisa dibuktikan, yakni terkait laporan keluarga almarhum Denianto Wirawardhana terhadap kliennya di Polda Metro Jaya pada 16 Nopember 2007, dengan tuduhan Maria Magdalena menguasai warisan almarhum secara sepihak.

“Dalam waktu singkat, laporan keluarga almarhum diproses Polda Metro Jaya, No.Pol : LP/4774/K/XI/2007/SPK UNIT “1” tersebut, dan oleh kejaksaan dilimpahkan ke pengadilan. Maria dijadikan terdakwa. Tapi Tuhan adil, pengadilan menyatakan Maria Magdalena tidak bersalah. Klien kami bebas dari tuntutan hukum,” jelas Alexius.

Setahun kemudian, lanjut Alexius, pada 8 Agustus 2008 kliennya melaporkan keluarga almarhum suaminya ke Mabes Polri dengan laporan No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, perihal dugaan keterangan palsu. Mereka yang dilaporkan di antaranya Lim Kwang Yauw, Kustiadi Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi Suwandinata.

Para terlapor itu, jelasnya, pada 11 Januari 2008 diketahui membuat akta keterangan waris pada Notaris Rohana Frieta yang isinya disebutkan, bahwa almarhum Denianto Wirawardhana tidak pernah menikah, tidak pernah mengadopsi anak, dan tidak pernah mengakui anak di luar nikah.

Keterangan itu palsu, tidak dapat dibenarkan. Sebab, dari pernikahan dengan almarhum Denianto Wirawardhana, Maria Magdalena melahirkan dua anak, Randy William dan Cindy William. Semuanya tercatat di kartu keluarga, buku lahir dan akta kelahiran. Secara hukum tidak bisa terbantahkan.

“Bahkan, sebelumnya, almarhum pernah menikah dengan wanita Jerman, Gabriela Gerda Elfriede. Punya satu anak, bernama Thomas Wirawardhana yang menetap di Jerman. Sedangkan pernikahan dengan Maria Magdalena dikaruniai dua anak, yaitu Randy William dan Cindy William,” papar Alexius.

Perlu juga diketahui, tambahnya, ketika Thomas Wirawardhana masih kecil, pengadilan Jerman sudah menjatuhkan putusan bahwa almarhum Denianto Wirawardhana harus memberikan biaya hidup anaknya itu. Jika dikaitkan dengan harta benda peninggalan almarhum, maka secara hukum Thomas berhak sebagai ahli waris.

Namun dikarenakan ternyata proses penanganan laporan pidana kliennya itu sangat berliku-liku, terkesan sengaja dibuat mondar-mandir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai kewibawaan penegak hukum.

"Yang menyedihkan lagi, keluarga almarhum Denianto Wirawardhana berhasil merampas dua unit Ruko dan uang tunai (tabungan) senilai Rp 9,6 miliar yang disimpan di bank.

“Yang saya sesali, sikap diskriminasi polisi terhadap Maria, warga Negara Indonesia yang semestinya mendapat perlindungan hukum, seolah-olah dibiarkan oleh presiden dan lembaga negara lainnya. Padahal kasusnya itu sudah saya jelaskan panjang lebar dalam surat permohonan perlindungan hukum. Hasilnya tak ada. Wajar jika saya kesal, dan mengajukan gugatan,” pungkas Alexius.
 
Dengan berlarut larutnya penangakan kasus laporan Ny Maria ini, rupanya telah dimanfaatkan para terlapor karena  telah berhasil mengambil uang milik Almarhum Denianto Wirawardhana yang tersimpan sebagai deposito di Bank Bumi Arta, Tbk. sebesar Rp 9,6 miliar  serta 2  unit Ruko di Jalan Jembatan Dua, Jakarta Utara.

Selain itu   Alexius menjelaskan tentang Surat Pemberitauan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diserahkan kepada hakim pada hakim pada sidang tanggal 8 Februari 2018.

"SPDP yang dimaksud tertanggal 29 Januari 2018 dari Mabes Polri kepada Kejaksan Agung RI. Padahal laporan Polisi dilakukan tanggal 8 Agustus 2008. Jadi laporan ini  mangkrak di kepolisian selama 11  tahun," imbuhnya.

Yang aneh,   beberapa waktu setelah  laporan Polisi ini terjadi,  sudah dilakukan pemeriksaan pemeriksaan,  dan ada juga Berita Acara Pemeriksaan (BAP)-nya. Tapi mengapa SPDP-nya baru dikeluarkan tanggal 29 Januari 2018 lalu. Artinya,  tindakan polisi yang melakukan pemeriksaan sebelumnya terhadap kasus ini,  merupakan tindakan abal-abal, kata Alexius Tantrajaya.(dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama