Soal Hak Angket DPRD Sulsel, Mantan Dirjen Otda: Kalau Wagub-nya Yang Salah, Maka Wagubnya Bisa Dimakzulkan


MAKASSAR (wartamerdeka.info) - Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemdagri) Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA, jadi saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang Pansus Hak Angket DPRD Sulsel.

Menarik untuk disimak, bagaimana pendapatnya tentang Pansus Hak Angket DPRD Sulsel. Kepada wartawan, dalam wawancara khusus, usai dirinya memberikan kesaksian, dalam sidang Pansus Hak Angket DPRD Sulsel, Senin (05/08/2019) lalu, Djohermansyah Djohan menjelaskan, DPRD merupakan lembaga politik di daerah, sementara di pusat adalah DPR RI. Lalu, kata Djohermansyah Djohan, yang duduk di lembaga itu adalah para politisi yang tidak lepas dari perilaku-perilaku politik.

"Jadi, Kepala Daerah dengan DPRD dalam menjalankan sistem pemerintahan daerah kita konstruksikan di dalam Undang-undang Otonomi Daerah dan Undang-undang Pemda Nomor 23 tahun 2014 itu merupakan satu kesatuan. Jadi Pemerintahan Daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD. Mereka adalah mitra yang harus bekerjasama," jelas Djohermansyah pengajar  ini.

Lebih jauh dijelaskannya, kepala daerah tugasnya adalah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara, katanya, DPRD tugasnya adalah mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah.

"Itulah sistem demokrasi lokal. Agar tidak ada yang menyimpang, menyeleweng, entah itu dilakukan kepala daerahnya atau wakilnya. Semua itu dikontrol oleh dewan. Itulah sistem yang kita bangun," papar pria kelahiran Padang, 21 Desember 1954.

Nah, tampaknya ada persoalan yang dilihat oleh DPRD Sulsel. Djohermansyah Djohan melihat bahwa DPRD menengarai ada dualisme kepemimpinan di Pemda antara gubernur dan wakil gubernur dengan indikasi-indikasi yang disebutkan.

"Beberapa indikasi yang disebutkan di antaranya adalah di bidang kepegawaian seperti Wagub menandatangani surat keputusan (SK) mutasi. Kemudian ada juga persoalan-persoalan terkait proyek-proyek. Lalu ada juga yang terkait dengan pembentukan staf khusus yang tidak diatur dalam undang-undang pemda," katanya kepada wartawan yang mewawancarainya melalui sambungan telepon, Selasa (06/08/2019).

Dilanjutkannya, melihat hal itu tentu kawan-kawan di DPRD ingin mengetahui apa betul ada dualisme kepemimpinan.

"Seperti yang saya jelaskan kemarin saat menjadi saksi ahli, tidak boleh ada dualisme di kepemimpinan Pemda. Tidak boleh pecah kongsi di kepemimpinan antara gubernur dan wakil gubernur. Masing-masing punya tugas dan peranan sendiri-sendiri. Tugas gubernur adalah memimpin pemerintahan daerah. Sementara wakilnya membantu gubernur sesuai dengan bidang tugas yang diberikan dan itu diatur dengan SK Gubernur. Supaya jelas pembagian tugasnya," terang pakar otonomi daerah ini.

DPRD kata Djohermansyah Djohan tampaknya ingin menguji dan menyelidiki kasus indikasi dualisme tersebut karena kasusnya sudah muncul ke publik.

"Kita husnudzon saja. DPRD tampaknya ingin menyelidiki hal itu melalui hak angket. Dan DPRD memang memiliki hak untuk itu. Dan soal hak angket itu, karena ini lembaga politik jadi semua tak lepas dari politik. Kepala daerah juga harus pandai-pandai 'ngemong' DPRD supaya terjadi relasi yang serasi," ujar Djohermansyah Djohan.

Kalau kepala daerah dan DPRD saling gontok-gontokan, saling menjelekkan, dan saling menjatuhkan, katanya, maka akan fatal akibatnya bagi masyarakat. Lebih buruk lagi, akan mundur Sulawesi Selatan sebagai provinsi andalan.

"Karena sekarang sudah dibentuk hak angket, ya kita jaga sama-sama supaya proporsional. Kalau memang ada kekurangan, nanti angket yang akan menyimpulkan. Tapi terkait pelanggaran-pelanggaran perundang-undangan, panitia angket tidak berwenang. Yang berwenang adalah Lembaga Yudisial dan Mahkamah Agung," jelasnya.

Djohermansyah Djohan berharap, apa yang menjadi permasalahan saat ini sebaiknya diselesaikan secara bijak. Terlebih, katanya, kepala daerah dan wakilnya baru menjabat 9 bulan.

Ditegaskan Djohermansyah Djohan, kita berprasangka baik saja, ada hal yang belum dipahami dan belum dimengerti oleh Wakil Gubernur, tapi kan sudah dikoreksi oleh gubernur.

"SK itu juga sudah dibatalkan. Jadi panitia angket sedang mencari apakah betul itu kesalahan wagub saja. Tapi karena sudah menjadi isu publik, kawan-kawan di dewan ingin tahu dengan mengusung hak angket. Padahal kalau soal SK, clear. Sudah tidak ada masalah," jelasnya.

Lalu ada juga mutasi-mutasi pegawai. DPRD kata Djohermansyah Djohan menyebut ada orang yang pindah beramai-ramai,. "DPRD mempertanyakan apakah sesuai dengan UU nomor 5 tahun 2014. Apakah sudah sesuai prosedur dan apakah itu memang kebutuhan provinsi," katanya.

Terkait sudah layak atau tidaknya hak angket digulirkan, Djohermansyah Djohan mengatakan, ketika dirinya dihadirkan sebagai saksi ahli, dirinya bahkan menyarankan, sebelum interpelasi bahkan dilakukan dulu pertemuan konsultasi antara pimpinan dewan dengan gubernur. Di pertemuan konsultasi ini semacam menjawab dan mengklarifikasi.

"Saya juga bilang sebenarnya tidak perlu pakai hak angket dulu. Hak angket itu seperti ilmu tingkat tinggi. Sama halnya di dunia persilatan seperti adu kesaktian, tidak boleh sembarangan digunakan. Nah, DPRD menjawab sudah melakukan rapat konsultasi. Namun mereka tidak puas. Akhirnya mereka lanjut ke hak angket," ucapnya.

Jadi, kata Djohermansyah Djohan, karena sudah seperti itu faktanya dan hak angket sudah dijalankan. "Dan ini tidak lepas dari isu politik. Nah, karena politik ya seharusnya diselesaikan secara politik," tegasnya.

Kepala daerah, kata Djohermansyah Djohan adalah pejabat negara dan menjadi wakil pemerintah pusat. Jadi, kata Djohermansyah Djohan, gubernur harus piawai juga dalam menghadapi kawan-kawan di dewan.

"Kesalahan bisa dicari-cari. Kesalahan kecil bisa diangkat dan dibesar-beasarkan. Semuanya jadi rugi. Kasus ini jadi pendidikan politik yang buruk bagi rakyat Sulawesi Selatan. Tapi karena ini sudah terlanjur, kita harap ini bisa diselesaikan dengan baik. Istilahnya selesaikan secara adatlah. Keduanya harus saling menahan diri. Harus legowo dan saling mengerti dan memahami," harapnya.

Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA.,  melihat, hak angket DPRD ini sudah seperti konflik yang melebar. Seperti soal tudingan keluarga gubernur dan wakil gubernur yang bermain proyek.

Menurut Djohermansyah Djohan, karena sekarang angket sudah dimulai, harus ada ujungnya. Sementara ujungnya adalah harus disimpulkan seperti hak menyatakan pendapat dari para dewan.

"Kita berharap hak menyatakan pendapat para dewan ini masih proporsional. Masih dalam batas kewajaran. Kalau dewan memutuskan di luar batas kewajaran, maka ini akan jadi runyam. Sebab berkas lanjutannya itu hanya boleh lewat Mahkamah Agung. Nah, harus dibuktikan di MA. Dan kalau di MA melihatnya hitam putih. Kalau ada undang-undang yang dilanggar dan kalau terbukti, selesai," tandasnya.

Jadi, semua pihak harus mencermati masalah ini. Djohermansyah Djohan berpesan bagi kepala-kepala daerah yang baru, jangan gegabah memimpin pemerintahan ini. "Jangan gegabah. Jaga kestabilan," tegasnya.

Djohermansyah Djohan mengatakan, setelah dilakukan sidang hak angket ini nanti akan bisa dibuktikan, apakah benar ada dualisme kepemimpinan di Provinsi Sulsel. "Apa saja bisa terjadi, bukan hanya pada pemakzulan, bisa saja hanya diberi peringatan. Ada banyak pilihan keputusan," terangnya.

Terkait dengan sejumlah SK yang ditandatangani oleh Wakil Gubernur, Djohermansyah Djohan menilai memang bukan kewenangan wagub untuk menandatangani SK.

"Di sidang juga kan nanti ditanya, apakah Pak Gubernur tahu bahwa Wagub menandatangan SK, atau apakah sudah mendapat izin. Nah, SK itu kan sudah dibatalkan, artinya asumsinya gubernur tidak tahu soal itu. Gubernur sudah mengambil langkah yang benar. Dan dikoreksi oleh Kemendagri dan oleh masukan masyarakat. Artinya, gubernur tidak dapat dikenakan sebagai pihak yang melakukan penyimpangan," terang Djohermansyah Djohan.

Bila ada SK yang ditandatangani oleh pejabat yang tidak berwenang, dalam hal Wagub, apakah sepengetahuan Gubernur?

"Jadi saya kira, lewat proses angket ini akan coba diteliti," ujarnya.

Djohermansyah Djohan  menyatakan, kalau Wagub-nya yang salah, melakukan pelanggaran undang-undang,  maka wagubnya bisa dimakzulkan. Tapi, kalau yang salah dua-duanya, ya gubernur-wagub juga bisa dimakzulkan bersama. Tapi kalau gak ditemukan kesalahan pelanggaran terhadap ubdang-undang, ya mereka tidak bisa dimakzulkan.

"Kalau ujung dari sidang-sidang hak angket ini memang ada temuan maka ujungnya memang pemakzulan. Tapi harus lewat proses hukum di Mahkamah Agung. Kalau betul ada pelanggaran terhadap undang-undang,'' ujarnya. (A)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama