Tim Penasihat Hukum Minta Hakim Menyatakan Perkara Markus Nari Tidak Dapat Dilanjutkan

Markus Nari terdakwa korupsi dalam kasus proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP)
JAKARTA (wartamerdeka.info) - Surat dakwaan jaksa KPK terhadap terdakwa Markus Nari melakukan korupsi dalam kasus proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), dinilai tim penasihat hukum tidak tepat.

Hal itu dikemukakan Dr. Tommy Sihotang, SH, LLM dan kawan kawan selaku tim penasihat hukum Markus Nari dalam eksepsinya, yang dibacakan pada sidang Pengadilan Tipikor, Rabu (21/8).

Nota eksepsi, penasihat hukum Markus, mempermasalahkan surat dakwaan dari jaksa KPK yang dinilai tidak tepat. Terutama keberatan dengan subtansi pasal dakwaan yang dikenakan kepada kliennya.

Markus Nari didakwa merintangi penyidikan dan memperkaya diri sendiri dan orang lain atas proyek e-KTP itu.

Keberatan penasihat hukum dengan dakwaan Pasal 2 ayat 1 atau 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1. Kemudian, dakwaan Pasal 21 atau Pasal 22 Jo. Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Eksepsi tersebut menyoroti soal mempengaruhi proses penganggaran dan pengadaan pada proyek (e-KTP) yang dilakukan kliennya berdasarkan surat dakwaan jaksa.

Menurut Tommy Sihotang, jabatan apa yang dimilikinya sehingga proses penganggaran bisa terjadi dan siapa saja yang dipengaruhinya, dan mengapa bisa terpengaruh? "Dakwaan jaksa menjadi tidak cermat dan tak jelas,” kata Tommy yang dikenal advokat senior ini.


Tim penasihat  hukum terdakwa, mempertanyakan juga ketidakjelasan jaksa soal permintaan fee Rp 5 miliar dari Markus ke Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman di kantornya.

Tommy pertanyakan pula keterkaitan apa Markus sehingga berhak mendapat fee sebesar itu.

Perihal jaksa yang menyatakan Markus memuluskan proses penganggaran kembali dan untuk membendung pengawasan proyek e-KTP dari Komisi II DPR, yang berujung pemberian uang dari PPK Kemendagri Sugiharto atas arahan Irman sesuai permintaan uang dari Markus menurut penasihat hukum, jaksa tidak menjelaskan cara Markus memuluskan proses penganggaran kembali tersebut dan kewenangan apa yang dimiliki Markus serta bagamaina Markus membendung pengawasan dari Komisi II itu.

“Dakwaan jaksa penuntut umum jadi tidak cermat dan tak jelas,” kata Sihotang sembari menambahkan bahwa, jaksa tidak jelas dan tidak lengkap dalam menguraikan pasal 22 yang didakwaan pada Markus Nari.

Sebab, jaksa hanya menyatakan yang dilakukan oleh Markus adalah menemui mantan anggota DPR Miryam S. Hariyani lalu menyampaikan apabila Miryam mau mencabut keterangannya di persidangan maka Markus akan menjamin keluarga Miryam. “Jika hal itu dikaitkan dengan bunyi pasal 22 yaitu terdakwa tidak memberikan keterangan yang benar lantas siapakah yang memberikan keterangan yang tak benar dalam perkara? Karena sepanjang dakwaan yang diuraikan jaksa maka yang tidak memberikan keterangan yang benar, quod non, adalah Miryam bukan Markus,” tandas Tommy.

Dr. Tommy Sihotang, SH, LLM tim penasihat hukum Markus Nari
Berdasarkan alibi yang dikemukakan di atas, penasihat hukum menyatakan terbukti jaksa penuntut umum (JPU), telah mengajukan surat dakwaan yang tidak disusun dengan cermat, jelas dan lengkap. Tetapi memaksakan ceritera seolah olah terdakwa telah menyaksikan sesuatu di persidangan padahal yang bersaksi adalah orang lain yaitu Miryam S. Haryani.

Berdasarkan alasan alasan tersebut, tim penasihat hukum meminta hakim memutuskan dalam putusan sela, mengabulkan seluruh eksepsi yang diajukan dan meminta dakwaan terhadap Markus batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya atau menyatakan perkara atas nama terdakwa Markus Nari tidak dapat dilanjutkan.

Sidang pekan lalu, JPU KPK mendakwa mantan Anggota Komisi II DPR RI Markus Nari memperkaya diri sendiri dengan uang senilai 1,4 juta dolar AS terkait pengadaan proyek e-KTP. Selain itu, Markus juga didakwa memperkaya orang lain dan korporasi.

“Yang melakukan atau yang turut serta melakukan, secara melawan hukum yaitu terdakwa mempengaruhi proses penganggaran dan pengadaan barang jasa paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP Elektronik) Tahun Anggaran 2011-2013,” kata Jaksa KPK Ahmad Burhanudin.

Markus Nari didakwa telah melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

JPU KPK juga mendakwa Markus Nari merintangi proses hukum kasus dugaan korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Jaksa menyebut Markus Nari telah sengaja mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di persidangan perkara korupsi proyek pengadaan paket e-KTP 2011-2012 register perkara nomor 41/Pid.Sus/TPK/2017/PN.JKT.PST pada PN Jakarta Pusat, terhadap saksi Miryam S Haryani dan terdakwa Sugiharto.

“Terdakwa Markus Nari dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi,” jelas jaksa Ahmad.

Jaksa menyatakan perbuatan Markus Nari tersebut merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama