Ketua DPRD : Banyak Pimpinan OPD Pemprov Sulsel Keluhkan Pemotongan Anggaran Operasional Yang Besar Pada RAPBD 2020

Ketua DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) H Moh Roem SH MSi 
MAKASSAR (wartamerdeka.info) - Ketua DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) H Moh Roem SH MSi mengungkapkan saat ini banyak pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel mengeluh karena anggaran operasional mereka dipangkas secara signifikan pada RAPBD tahun 2020.

"Ya. Dalam RAPBD 2020 Provinsi Sulsel yang diajukan pihak eksekutif dan kini  tengah digodog Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sulsel, hampir semua anggaran operasional OPD dipangkas. Dan banyak yang dialihkan untuk kegiatan pembangunan infrastruktur," ujar Moh Roem dalam wawancara khusus dengan media ini, kemarin.

Menurut Roem, OPD yang mengalami penurunan anggaran cukup besar, di antaranya Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Biro Pemerintahan, Satpol PP dan Dinas Peternakan, Dinas Pertanian dan Perkebunan serta Dinas Kominfo.

Dinas Peternakan, misalnya, ada pemotongan anggaran sekitar 38 persen. Demikian pula di Dinas Pertanian, pemangkasan  anggarannta juga lumayan besar.

Menurut Roem, hal ini cukup ironis dan memprihatinkan. Karena dinas tersebut termasuk "program jualan" Gubernur Nurdin Abdullah.

RAPBD Sulsel 2020, tambah Roen secara garis besar mengacu pada lima Program Utama Gubernur Sulsel, yaitu terkait sumber daya manusia (SDM) dan penanggulangan kemiskinan, infrastruktur, ketahanan pangan, pengembangan pariwisata, serta reformasi birokrasi tentang layanan publik.

"Hal itu tidak masalah. Tetapi, yang diresahkan oleh para anggota DPRD adalah bahwa alokasi OPD ‘terjun bebas’. Bahkan, rata-rata anggaran untuk OPD itu hanya sampai bulan 10 sudah habis. Berarti dua bulan tidak ada anggaran dan tidak ada kegiatan apa-apa," ujarnya lagi.

Menurut Roem, gagasan pemotongan anggaran OPD itu memang dari Gubernur, alasannya, gubernur hanya akan memberi anggaran kepada OPD-nya kalau ada usulan-usulan kegiatan yang inovatif. Gubernur tidak mau usulan yang biasa-biasa saja yang rutin.

"Tapi, apa yang dimaksud seharusnya kan lebih rinci karena. Dinas-dinas ini kan hanya pelaksana dari kebijakan gubernur. Kenaikan anggaran, tampaknya dititikberatkan pada infrastruktur. Itu sebenarnya tidak masalah. Tapi, mestinya janganlah sampai melupakan 'urusan wajib'nya," tandas Moh Roem.

Ditambahkannya, pihaknya bisa memahami, rencana pembangunan  satu dua jalan desa yang menghubungkan daerah terisolasi atau memperpendek jarak antar-kabupaten, dibiayai dari APBD Provinsi.

"Tetapi jangan menelantarkan urusan wajibnya. Artinya tetap harus menjaga keseimbangan," ucapnya.

Ketua DPRD sangat menyayangkan bahwa  anggaran hampir semua OPD  harus dipotong. Termasuk di bidang pertanian. Padahal di Sulsel, mestinya bidang pertanian ini jadi prioritas karena mayoritas masyarakat Sulsel adalah petani. Hanya saja bukan petani seperti di Sumatera atau Kalimantan yang lebih banyak didominasi oleh petani perusahaan. Kalau di Sulsel adalah petani rakyat dan petani penggarap. Dan memang perlu disubsidi.

Bukan hanya itu. Anggaran untuk penyuluhan yang menjadi tugas OPD pun dipotong. Itu kan sangat penting untuk mendampingi masyarakat petani agar lebih produktif dan hasil taninya lebih banyak.

Di Dinas Peternakan juga mengalami hsl itu. Tahun 2019 anggaran dinas ini sekitar Rp65 miliar, tapi pada anggaran tahun 2020  hsnta Rp23 miliar. Ada pemotongan 38 persen.
Ini ironis. Karena program yang tertuang di RPJMD yang dicanangkan Gubernur NA untuk peternakan adalah menjadikan Sulsel sebagai lumbung pangan nasional.

Dinas Koperasi Sulsel, juga dipangkas anggarannya sekitar Rp9 miliar dari Rp24 miliar. Padahal, hilirisasi industri dan pengembangan UMKM jadi salah satu program unggulan Pemprov.

Dengan anggaran yang sangat minim, sejumlah program tentu tidak terakomodir.
Belum lagi anggaran tersebut akan dibagi untuk empat bidang dan dua UPT. Dinas Koperasi juga memiliki empat kantor yang butuh biaya pemeliharaan dan pembayaran listrik.

Dalam setahun, biaya empat gedung itu sekitar Rp2 miliar. Belum lagi, pajak bangunan puluhan juta dan gaji pegawai kontrak.

Menurut Moh Noer, dibanding pembahasan APBD tahun pertama kepemimpinan Prof Nurdin Abdullah di Sulawesi Selatan, kali ini, menurutnya lebih lancar. Ketika yang pertama sangat sulit.

Saat itu, menurutnya, Gubernur ngotot pembahasan RAPBD tidak boleh dibahas di tingkat komisi.

Hal ini terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan  Daerah bahwa APBD tidak boleh dibahas di komisi. Tapi, karena PP tersebut masih baru yang baru berlaku Maret 2019, tidak semua daerah menggunakan.

"Saat itu, bahkan bahkan ada ancaman. Bukan ancaman dari gubernur, tetapi dari wakil gubernur yang mengancam OPD-nya untuk tidak ikut datang membahas hal itu di komisi DPRD. Tapi kami mencari dalam keluarnya dan akhirnya bisa diselesaikan," tambah M Roem.

Kalau sekarang ini, katanya lagi,  sudah tidak ada masalah karena memang tidak perlu dibahas di komisi. "Tetapi, kami siasati, karena anggota komisi juga kan ada juga yang menjabat sebagai anggota banggar (badan anggaran). Selanjutnya kami membentuk kelompok-kelompok kerja (pokja) sesuai dengan bidang komisi.  Itulah teknisnya," katanya.

Terkait dengan  pemerintahan Nurdin Abdullah yang sudah satu tahun, Ketua DPRD ini menilai, dulu pada masa Gubernur sebelumnya, hubungan eksekutif dan legislatif  sangat bagus.

“Hal seperti itu yang belum kita temukan pada pemerintahan yang sekarang. Karena, hubungan gubernur dan jajarannya seperti OPD-OPD, juga masih belum klop. Mereka masih menunggu, masih bersikap pasif. Masih serba salah. Hal itulah yang memperlambat. Hal itulah yang menyulitkan DPRD. Teman-teman di komisi kalau rapat dengan OPD hanya mendengarkan keluhan. Juga soal biaya yang dialokasikan ke OPD sangat tidak memadai,” katanya.

Secara umum, menurut Ketua DPRD, terkait  kinerja gubernur,  tidak bisa membandingkan gubernur sekarang dengan gubernur sebelumnya. Karena berbeda. Kalau dibandingkan dengan gubernur lalu, jelas ketinggalan. “Karena yang lalu tidak melakukan perombakan. Dia merangkul. Bahwa itu adalah orangnya gubernur sebelumnya, tapi tetap dipertahankan. Hubungan gubernur sebelumnya dengan DPRD juga bagus," tambahnya

Gubernur yang sekarang, ungkapnya,  diawali dengan kondisi yang kurang harmonis. Komunikasi hampir tidak tidak ada. “Hanya kami menyadari bahwa DPR-lah yang harus memulai. Makanya kami lakukan. Tapi, saya akui, memang ada kegiatan pembangunan saat ini, seperti infrastruktur. Tapi kita belum tahu banyak hasilnya. Baru satu dua. Termasuk di realisasi APBD-nya yang rendah. Kalau kita mengejar dari realisasi, APBD ya belum berhasil. Untuk saat ini saja, masih sekitar 30 persen. Seharusnya sudah di atas 50 persen. Karena ini sudah triwulan ketiga,” ungkap Moh Roem.

Selain itu Moh Roem mengkritisi pula, beberapa kegiatan proyek fisik yang tidak bisa jalan. Seperti rumah sakit regional yang lokasinya di Palopo dan di Bone.

Hal itu, menurutnya, karena kurangnya petencanaan yang matang. Proyek itu, merupakan proyek "multi years", mestinya hal itu sudah diproyeksikan sejak awal pembahasan dengan DPRD pada tahun lalu. Tidak bisa proyek multi years itu dibahas di tengah tahun anggaran yang sudah berjalan

“Proyek multi years itu harus dari awal, itu wajib. Makanya sekarang tidak jalan. Makanya, kami tidak memberi persetujuan. Tidak jalan, lalu lanjut tahun depan, berarti mundur. Itu harus dievaluasi,” ujarnya.

Perencanaan APBD tahun 2019 itu kan sebenarnya sudah dilakukan saat Nurdin Abdullah menjabat. Seharusnya perencanannya dulu. Belum lagi persoalan lahan pembangubsn rumah sakit tersebut.

"Artinya hubungan pemerintah dengan DPRD harus ditingkatkan mengingat setiap program pemerintah berhubungan dengan DPRD. Betul. Kalau hubungannya dengan DPRD baik, separuh pekerjaan pasti lancar. Tapi hal paling penting adalah komunikasi, tapi sekarang ini belum ada. Sebenarnya gubernur sudah mulai cair. Hanya, bawahannya belum bisa menjabarkan konsepnya gubernur, terutama yang ada kaitannya dengan DPRD," pungkasnya. (Ar)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama