Menuju Pilkada Lamongan, Dinasti Politik Dan Budaya Patrimonialisme (2)


Oleh : W. Masykar

Pengamat politik LIPI, Siti Zuhro pada sebuah diskusi, bertema Politik Dinasti Di Negeri Demokrasi beberapa waktu lalu, di Jakarta (2012) (sebelum keputusan MK soal dinasti politik), menyebut, politik dinasti sangatlah tidak baik dalam konteks membangun kualitas demokrasi dalam suatu negara.

Menurut dia tidak ada positifnya politik dinasti karena itu menyalahi konstitusi. Peredaran elite dan penguasa hanya untuk kalangan tertentu. Ini yang disebut oligarki sehingga demokrasi bisa merosot ketika sirkulasi elite hanya dikuasai dinasti tertentu.

Ari Dwipayana pernah menyatakan bahwa tren politik kekerabatan atau politik dinasti itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Artinya budaya yang lebih mementingkan unsur keluarga atau lingkaran keluarga terdekat, suami-istri atau orangtua-anak, itu sudah berjalan sejak lama,  yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik dan kekuasaan berdasarkan ikatan genealogis, terutama  dalam menimbang prestasi atau kinerja, dibandingkan jika dengan merit sistem.

Menurut dia, kini disebut neopatrimonial karena ada unsur patrimonial lama, tetapi dengan strategi baru. Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Dalam konteks budaya patrimonial ini, kerap berada diruang terselubung oleh jalur prosedural.

Dengan kondisi tersebut, harus menjadi perhatian semua bahwa meskipun aturan dibuat seketat apa pun tetap berpotensi untuk diabaikan melalui cara-cara atau siasat yang dianggap tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.

Akan tetapi setelah lahir keputusan MK soal dinasti politik, pada gilirannya, perdebatan soal dinasti politik ini, bukan pada wilayah konstitusional atau bukan, tapi lebih pada aspek kepantasan dan kepatutan.

Jika, putra bupati Lamongan dalam pilkada tahun depan, jadi maju, tidak menyalahi konstitusi, secara aturan tidak ada masalah. Kalau misalnya, diteropong dari bilik kepantasan dan kepatutan, pun tidak terlalu menjadi perdebatan. Kenapa?
Berkaca dari politik dinasti dalam keluarga Kennedy, misalnya  ternyata politik dinasti bisa bersifat konstruktif, dan bisa juga bersifat destruktif.

Artinya, politik dinasti lahir konstitusional lewat jalur demokrasi yakni pilkada. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada yang salah selagi proses pilkadanya berjalan jurdil dan outputnya adalah politik dinasti konstruktif.

Persoalan muncul ketika pilkada tidak jurdil, direkayasa, penuh intrik yang outputnya pasti politik dinasti destruktif.
Dan kecurangan-kecurangan tersebut lebih mudah dilakukan oleh calon petahana dibantu oleh keluarga besarnya karena mampu melakukan politisasi birokrasi.

Meskipun anggapan seperti ini, mendekati argumentasi yang valid. Namun, kecurigaan yang tidak didasari fakta yang kuat hanya akan menabur fitnah politik.
Meski pada saat ini, untuk menciptakan politik dinasti konstruktif. Sangat kecil kemungkinannya, apalagi rakyat sekarang sudah mulai melek politik.

Oleh sebab itu, fenomena politik dinasti yang berkembang di Indonesia bukan semata-mata menyangkut persoalan konstitusional atau tidak. Meski politik dinasti konstitusional, kehadirannya tetap menjadi sesuatu yang menakutkan.

Politik dinasti, mau tidak mau tetaplah menjadi "ghost' yang cukup menakutkan  bagi sejumlah kalangan, terutama sejumlah elit politik (di daerah) yang berharap bisa ikut meramaikan bursa pertarungan merebut kekuasaan, pada pilkada tahun depan.

Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay: from Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (2014), ada penyakit akut terkait dengan pembangunan politik di banyak negara yang sedang membangun.

Permasalahannya terletak pada peran negara yang lemah dan tak efektif. Para elite penguasa lebih lihai menampilkan kekuasaan despotik, suatu kemampuan untuk melakukan tekanan kepada pihak lawan, pada wilayah pilkada, misalnya apalagi incumbent (ada tujuan mengusung putranya) untuk maju bertarung, langkah politik tak mungkin akan dibiarkan tumbuh jika tidak menguntungkan.

Rotasi atau mutasi pejabat adalah sedikit contoh dari banyak peluang yang akan dilakukan.

Analisis Fukuyama di atas, tampaknya dinamika politik di Indonesia pasca reformasi menunjukkan gejala yang serupa. Kehidupan politik kita lebih diwarnai perseteruan antarelite dan tidak jarang institusi-institusi negara digunakan sebagai instrumen konflik.

Aksi saling mencari-cari kesalahan dan saling melaporkan kepada pihak yang berwajib menjadi tren untuk memberangus kekuatan masing-masing lawan politiknya. Kabar, bahwa pilkada Lamongan, bakal diikuti banyak kandidat, termasuk diantaranya, ada Sekda dan Wabup, tak luput dari apa yang disebut oleh Francis Fukuyama, tengok saja, ketika Sekda menggelar kegiatan baik pada kapasitasnya sebagai Sekda atau sekadar tokoh, maka pihak lain akan memasang "spion" untuk sekadar memata-matai.

Sebaliknya, kalau Wabup diundang dalam kegiatan tertentu, baik kapasitasnya sebagai Wabup atau pribadi, pihak lain juga akan mencari informasi detail terkait kegiatan tersebut, pun juga Bupati jika tidak menyertakan Sekda dan Wabup, apalagi Bupati saat diundang kelompok tertentu hadir bersama putranya, dan tanpa kehadiran Sekda dan Wabup, akan menjadi bahan pergunjingan politik, dan saling menabur berita buruk.

Dari proses semacam itu, muncul pertanyaan apakah kualitas demokrasi mengalami peningkatan atau justru tereduksi? Padahal pada hakikatnya, politik adalah suatu norma untuk mencapai tujuan bersama, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan keselamatan bagi seluruh warga negara.

Namun, mengapa semakin hari proses politik yang berlangsung justru semakin mengarah pada lintasan yang destruktif? Apa ada  yang salah dengan amalan dan perilaku berdemokrasi kita saat ini?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama