Dua Saksi Ahli Pidana Beri Pendapat Dalam Perkara Praperadilan

DR. Febby Mutiara Nelson, SH, MH

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Jika penyidik sudah melalui tahap penyelidikan, penyidikan, penyitaan, pemeriksaan saksi ahli, gelar perkara dan memberitahukan perkembangan hasil penyidikan, maka alasan penghentian penyidikan "tidak cukup bukti" adalah tidak tepat.

Demikian penjelasan DR. Febby Mutiara Nelson, SH, MH, ketika tampil sebagai saksi ahli dalam perkara Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (22/11).

"Alasan penghentian yang tidak benar atau tidak tepat adalah tidak sah, dan pengujiannya harus melalui praperadilan," papar Febby yang dikenal ahli KUHAP dari  Universitas Indonesia.

Matheus Mangentang STh,  mengajukan Permohonan Praperadilan (Prapid), terhadap Termohon Polres Metro Jakarta Pusat  di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada (22/11), karena menerbitkan SP3 dalam perkara Pencemaran nama baik.

Melanjutkan keterangannya, ahli mengatakan bahwa
hubungan kerja penyidik dgn jaksa penuntut umum (JPU), seharusnya dibangun sejak penyidik menyerahkan SPDP, sehingga penyidik seharusnya tidak dapat menilai dan memutuskan penghentian perkara tanpa petunjuk JPU.

Diatambahkan Sarjana S-3 itu, hubungan kerja penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum harusnya terjadi sejak penyidik menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Jaksa sehingga, penyidik tidak dapat menilai dan memutus penghentian penyidikan perkara tanpa petunjuk dari Jaksa.

DR Febby menjelaskan; penyidikan dapat dihentikan dengan 3 syarat. menurut pasal 108 ayat (2) KUHAP, yakni tidak terdapat cukup bukti; Peristiwa itu bukan peristiwa pidana, dan dihentikannya penyidikan tersebut demi kepentingan hukum; seperti nebisidem, daluwarsa, dan meninggal dunia.

Anthonny Wiebisono SH, kuasa hukum Matheus Mangentang STh

Sementara Ahli dari Termohon Praperadilan/Polres Jakarta Pusat, DR Suparji, SH, MH dari Univesitas Al Azhar Jakarta antara lain  mengatakan, untuk seorang mencuri (melakukan tindak pidana) harus ada putusan Pengadilan yang Inkracht, sehingga pemberitaan "Tentang perampok" tanpa putusan pengadilan, sejarusnya telah memenuhi delik pasal 310/311 KUHP.

Ditambahkan, hal itu harusnya  tidak terjadi pemberkasan dan pelimpahan berkas perkara ke pengadilan hingga adanya putusan. Oleh karenanya,  alasan penghentian penyidikan tidak benar atau tidak tepat, sehingga penghentian harus dinyatakan tidak sah, dan penyidik harus dihukum untuk membuka kembali penyidikan  perkara hingga pemberkasan dan dilimpahkan ke Jaksa Penunrut Umum, katanya.

Praperadilan  diajukan Anthonny Wiebisono SH sebagai kuasa hukum Matheus Mangentang STh,  yang  mempradilankan  Kepolisian Negara RI,  cq Keplisian Daerah DKI Jakarta, cq Kepala Kepolisian Resort Metro Jakarta Pusat karena Penghentikan Pemeriksaan Perkara,  pada 19 November 2019.

Kasus praperadilan ini bermula karena  Matheus Mangentang , ST.h yang warga Kwitang, Senin Jakarta Pusat,  melaporkan pencemaran nama baiknya atau fitnah melalui media elektronik yang dilakukan oleh Frans Ansanay (terlapor) ke Polda Metro Jaya dengan laporan polisi No: LP/6035/XII/2016/PMJ /Dit.Reskrimsus 9 Desembar 2016.

Pemeriksaan perkara atau laporan polisi Pemohon ternyata dilimpahkan ke Penyidik Polres Metro Jakarta Pusat,  (Termohon) berdasarkan surat Dirreskrimsus Polda Metro Jaya tanggal 19 Desember 2016 NO: B/20238/XII/2016/Datro dan surat perintah penyidikan tanggal 02 Januari 2017,NO: 10/S.6/I/2017/Res.JP. Ternyata pemeriksaannya dihentikan.
Hal ini diketahui melalui surat tanggal 19 Oktober 2019, NO: B/14.396/S.10/X/2019 /Restro JP perihal Pemberitahuan Penghentian  Penyidikan yang diterima oleh keluarga Pemohon . Penghentian Penyidikan perkara oleh Polres Jakarta Pusat itu dengan alasan  karena Tidak Cukuk Bukti.

Tentang tindak pidana yang dilakukan terlapor Willem Frans Ansanay adalah pencemaran nama baik atau fitnah melalui media elektronik berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU RI NO: 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 310 KUHP, dan pemohon telah memberikan keterangan, menghadirkan saksi-saksi dan menyerahkan bukti bukti lainya terkait laporan tersebut.

Termohon seharusnya telah melakukan penyelidikan  hingga penyidikan sesuai tahap penyelesaian perkara pidana yang diatur dalam KUHAP dan pemohon telah menerima surat surat  terkait kasus ini.

Selain itu,  Pemohon mengengetahui Termohon telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi saksi, termasuk Pelapor dan Terlapor serta saksi saksi lainnya.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, Termohon terbukti tidak melakukan kewajiban hukum dalam melakukan penyidikan perkara yang dilaporkan oleh Pemohon dalam perkara tindak pidana pencemaran nama baik atau fitnah dalam perkara ini, yaitu tidak mengirimkan SPDP kepada Jaksa Penuntut Umum melakukan penyidikan perkara hingga pemberkasan dan melimpahkan berkas kepada Jaksa Penuntut Umum untuk disidangkan hingga memperoleh Putusan atau kepastian hukum.

Kelalaian Termohon tersebut merupakan ujut nyata adanya pelanggaran prosedur hukum yang diatur dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu Tindakan Termohon menghentikan penyidikan perkara tersebut secara  sepihak tidak  berdasarkan pasal 109 ayat (2) KUHAP,  harus dinyatakan tidak sah, dan sebagai konswensi hukumnya Termohon sudah sepatutnya diperintahkan untuk membuka kembali penyidikan atas nama nama tersangka Willem Frans.

Pemohon dalam petitumnya  minta agar hakim yang menangani perkara ini untuk memutus antara lain; Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon seluruhnya. Menyatakan Surat Ketetapan Kapolres Metro Jakarta Pusat NO: S.Tap/181/S.7/X/2019 Restro Jakpus tanggal 16 Oktober 2019, tidak sah.

Selain itu,  Pemohon meminta agar hakim memerintahkan kepada termohon untuk membuka kembali penyidikan tindak pidana atas nama tersangka Willem Frans Ansanay  alias Frans Ansanay berdasarkan laporan polisi NO: LP6035/XII/2016/PMJ/Ditreskrimsus 9 Desember 2016, dan membebankan ongkos  perkara ini kepada Termohon. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama