Sekda Lamongan Mundur, Siapa Penggantinya?


Oleh: W. Masykar
(Wartawan wartamerdeka.info)

Desakan mundur sekretaris daerah (Sekda) Kabupaten Lamongan, Yuhrohnur Efendi dari status Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh sebagian elemen masyarakat karena ditengarai bakal maju menjadi kepala daerah pada pilkada September tahun 2020 ini, beberapa waktu kemarin, sebenarnya tidaklah masuk akal. Apalagi, alasannya soal etika, soal kode etik, lebih lebih disinyalir hanya karena Sekda mengikuti penjaringan bacabup di sejumlah parpol di Lamongan.

Padahal saat itu, uji materi (judicial review) terkait UU ASN/PNS yang akan maju pada pilkada sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi agar ASN/PNS, tidak usah mengundurkan diri,  yang kemudian ditolak, tapi MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang diajukan oleh sejumlah (ASN/PNS).

Nah, polemik dan desakan soal sekda Lamongan harus mundur akhirnya semakin menjadi tidak relevan. Yang relevan adalah kapan Sekda Yuhronur Efendi harus mundur?

Ada dua point' pada tulisan ini yang menarik untuk diuraikan, pertama, kapan Yuhronur Efendi harus mundur pada posisinya sebagai ASN, yang otomatis dari jabatannya sebagai Sekda, jika dia benar benar menjadi maju pada kontes menjadi calon kepala daerah (bupati Lamongan), pada pilkada serentak ini?
Kedua, Siapa penggantinya atau yang ditunjuk sebagai Plt. Sekda?

Saat membacakan  amar putusan uji materi kemarin, ketua MK Arif Hidayat menyebut mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Tampaknya, sekalipun pada uji materi tersebut ditolak, namun sebenarnya MK malah menguatkan, dari semula ASN/PNS harus mundur atau mengundur diri disaat mendaftar sebagai calon, namun karena dianggap hanya memenuhi unsur kepastian hukum, dan belum menyentuh aspek keadilannya akhirnya, supaya keduanya tersentuh, pengunduran status ASN itu menjadi disaat penetapan calon.
amar putusan Perkara No. 41/PUU-XII/2014, yang dibacakan oleh ketua MK Arief Hidayat, pada Rabu (8/7), di Ruang Sidang Pleno MK.

Menurut Mahkamah, berdasarkan Putusan No. 45/PUU-VIII/2010 dan Putusan No. 12/PUU-XI/2013, sebenarnya Mahkamah telah menyatakan pendiriannya menyangkut syarat pengunduran diri PNS ketika hendak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik.

Dalam dua putusan itu, Mahkamah telah menyatakan bahwa keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tidak harus diartikan sebagai pembatasan HAM. Tidak ada HAM yang dikurangi, melainkan sebagai konsekuensi hukum atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik.

Namun, meskipun berpendapat demikian, Mahkamah memandang perlu untuk mempertimbangkan lebih lanjut aspek kepastian hukum dan keadilan berkenaan dengan pertanyaan “kapan” pengunduran diri tersebut harus dilakukan. Hal ini berkait dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon.

Pasal 119 UU ASN menyatakan:
“Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon”.

Pasal 123 ayat (3) UU ASN menyatakan:
“Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon”.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Lamongan, Yuhrohnur Efendi

Aspek Keadilan

Menurut Mahkamah, apabila syarat pengunduran diri PNS dimaknai seperti yang tertulis dalam ketentuan UU ASN, maka seorang PNS akan segera kehilangan statusnya sebagai PNS begitu Ia mendaftar sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan.

Pemaknaan atau penafsiran demikian memang telah memberi kepastian hukum namun mengabaikan aspek keadilan. Sebab, terdapat ketentuan Undang-Undang yang mengatur substansi serupa namun memuat persyaratan atau perlakuan yang tidak setara meskipun hal itu diatur dalam undang-undang yang berbeda, dalam hal ini Undang-Undang Pilkada.

Menurut Mahkamah, dalam UU Pilkada juga terdapat ketentuan yang mempersyaratkan PNS mengundurkan diri sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, sementara bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinannya jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hal itu diatur dalam Pasal 7 huruf s dan huruf t UU Pilkada.

Untuk itu, Mahkamah menilai demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil, maka pengunduran diri dimaksud dilakukan bukan pada saat mendaftar, melainkan pada saat yang bersangkutan telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan. “Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” ucap Arief Hidayat membaca amar Putusan Perkara No. 41/PUU-XII/2014 didampingi delapan Hakim Konstitusi yang lain (Ilham/Lulu Hanifah) (dikutip dari Lembaga Negara Pengawal Konstitusi-Mahkamah Konstitusi RI).

Kedua, Oleh karena sudah ada kepastian soal waktu (kapan) ASN/PNS mengundurkan diri disaat maju menjadi calon kepala daerah (bupati), maka, soal kedua bukan kapan mengangkat Plt. Sekda menggantikan Sekda Yuhronur Efendi, tapi siapa yang kira kira bakal ditunjuk untuk duduk di posisi Plt. Sekda Lamongan?

Menurut Perpres Nomor 3 Tahun 2018, Penjabat Sekretaris Daerah diangkat untuk melaksanakan tugas sekretaris daerah yang berhalangan melaksanakan tugas karena: sekretaris daerah tidak bisa melaksanakan tugas; dan/atau terjadi kekosongan sekretaris daerah. Sekretaris daerah dinyatakan tidak bisa melaksanakan tugas, karena mendapat penugasan yang berakibat sekretaris daerah tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya paling singkat 15 (lima belas) hari kerja dan kurang dari 6 (enam) bulan, atau menjalankan cuti selain cuti di luar tanggungan Negara.

Adapun kekosongan sekretaris daerah, menurut Perpres ini, terjadi karena sekretaris daerah: diberhentikan dari jabatannya;, diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil; atau dinyatakan hilang; atau mengundurkan diri dari jabatan dan/atau sebagai pegawai negeri sipil. “Mengundurkan diri sebagaimana dimaksud, termasuk pengunduran diri sekretaris daerah karena mencalonkan diri dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah,” bunyi Pasal 3 ayat (2) Perpres ini.

Disebutkan dalam Perpres ini, kepala daerah menunjuk pelaksana harian apabila: a. sekretaris daerah tidak bisa melaksanakan tugas kurang dari 15 (lima belas) hari kerja; atau b. dalam proses penerbitan keputusan pemberhentian sekretaris daerah kurang dari 7 (tujuh) hari kerja dan/atau pengangkatan penjabat sekretaris daerah.

Bupati/Wali kota mengangkat penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan tugas sekretaris daerah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

“Masa jabatan penjabat sekretaris daerah sebagaimana dimaksud paling lama 6 (enam) bulan dalam hal sekretaris daerah tidak bisa melaksanakan tugas dan paling lama 3 (tiga) bulan dalam hal terjadi kekosongan sekretaris daerah,” bunyi Pasal 5 ayat (3) Perpres ini.

Penjabat sekretaris daerah yang diangkat karena sekretaris daerah tidak bisa melaksanakan tugas, menurut Perpres ini, meneruskan jabatannya paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya apabila terjadi kekosongan sekretaris daerah.

Kriteria dalam Perpres ini disebutkan, calon penjabat sekretaris daerah diangkat dari pegawai negeri sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan di antaranya: menduduki jabatan pemimpin tinggi pratama eselon II/a untuk penjabat sekretaris daerah provinsi atau menduduki jabatan pemimpin tinggi pratama eselon II/b untuk penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota; memiliki pangkat paling rendah Pembina utama muda golongan IV/c untuk penjabat sekretaris daerah provinsi dan pangkat Pembina I golongan IV/b untuk penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota; dan c. berusia paling tinggi 1 (satu) tahun sebelum mencapai batas usia pensun.(Pusdatin/ES).

Kalau itu kriterianya, maka tidak sulit bagi Bupati Lamongan H. Fadeli mencari pengganti Sekda Yuhronur Efendi disaat mengundurkan diri kelak jika jadi maju pada kontes pilkada dan telah ditetapkan sebagai calon. Sebutlah misalnya ada sejumlah nama, di jajaran senior ada Herri Pranoto (kepala inspektorat), Agus Suyanto (kadin Koperasi dan Usaha Mikro), Suyatmoko (Kadin Perkim/PUPR), ada MS. Heru Widi (kadin Perikanan).

Di jajaran tengah ada Moh. Wahyudi (kepala Bapenda) lebih sedikit ada Eko Trihandono (kadin PU Bina Marga) di jalur lebih muda, ada Zamroni (Kadin Perindag) dan Anang Taufiq (Kadin BLH). Nah, dengan demikian polemik dan desakan mundur terhadap Sekda Yuhronur Efendi dari posisi ASN setidaknya mulai jelas, dan tidak menjadi gaduh di jagad medsos. Pertanyaannya kemudian adalah bukan siapa diantara mereka yang bakal duduk menjadi Plt. Sekda Lamongan, tapi adakah di luar deretan nama nama itu, yang justru menjadi calon kuat? Ya ditunggu saja.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama