Sayembara Rp 50 Juta Untuk Polisi Dan Masyarakat Jika Berhasil Tangkap Tersangka Abdullah Nizar Assegaf

 

Advokat Hartono Tanuwidjaja SH MSi MH CBL

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Tersangka perkara penipuan dan penggelapan, Abdullah Nizar Assegaf (ANA), belum juga memenuhi panggilan penyidik untuk tahap dua (penyerahan berkas, alat bukti dan tersangka), kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Padahal kasus ANA tidak hadiri panggilan Penyidik untuk tahap dua sudah berusia 3 tahun.

Terkait dengan perbuatan ANA yang dinilai tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, pihak korban dan kuasa hukumnya menyayembarakan penangkapannya (ANA).

Tentang sayembara penangkapan ANA tersebut telah resmi sebagai mana keterangan pengacara Hartono Tanuwidjaja, SH, MSi, MH, CBL selaku kuasa saksi korban Deepak Rupo Chugani kepada wartawan.

Sementara hasil  konfirmasi, Kasi Pidum Kejari Jakarta Utara, Satria Irawan SH MH, mengaku sampai saat ini masih menyimpan berkas kasus ANA yang sudah dinyatakan memenuhi syarat untuk disidangkan (P21) beberapa tahun silam. 

“Kalau kami kembalikan ke Polres Jakarta Utara menjadi repot kami nanti pada saat tersangka ANA dapat ditangkap aparat Polres Jakarta Utara. Tidak bisa langsung diserahkan (tahap dua) ke kami karena berkasnya sudah di Polres Jakarta Utara. Maka berkas itu tetap kami simpan di sini, dan kami menunggu saja kapan penyidik Polres Jakarta Utara menyerahkan tersangka ANA kepada kami,” jelas Satria di Jakarta, Jum'at (18/9/2020).

Sedangkan penasihat hukum saksi korban, Deepak Rupo Chugani, advokat Hartono Tanuwidjaja SH MSi MH CBL, mengatakan, pihaknya mengadakan sayembara berhadiah Rp 50 juta bagi siapa saja yang dapat meringkus tersangka penipuan dan penggelapan Abdullah Nizar Assegaf (ANA). 

Tidak itu saja, ditawarkan juga oleh Hartono Tanuwidjaja, Rp 5 juta bagi siapa saja yang dapat memfoto penangkapan dan penjeblosan tersangka tersebut ke tahanan.

“Sayembaranya berlaku juga terhadap aparat Kepolisian, kendati sesungguhnya tanggung jawab dan tugas mereka menghadirkan tersangka Abdullah Nizar Assegaf ke Kejari Jakarta Utara dalam agenda tahap dua,” kata Hartono, di Jakarta, Senin (26/10/2020).

Sayembara ini mulai digulirkan Oktober 2020, dilakukan untuk memotivasi aparat Polres Jakarta Utara yang menangani kasus ANA agar menjalankan tugasnya tepat waktu dan tidak bertele-tele. 

Tersangka ANA yang tidak mau memenuhi panggilan aparat Polres Jakarta Utara dalam rangka tahap dua diharapkan segera dijemput paksa atau ditangkap untuk kemudian diserahkan ke Kejari Jakarta Utara. 

“Kami serius menyelenggarakan sayembara penangkapan tersangka ANA ini. Soal dinilai tindakan ini menyindir atau meledek pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab, kami sama sekali tidak bermaksud demikian. Bagi kami bagaimana agar proses hukum kasus ANA ini tuntas, itu saja,” tutur Hartono.

Humas Polres Jakarta Utara Kompol HM Sungkono yang berusaha dimintai tanggapan oleh Suarakarya.id, atas tidak bisa dihadirkannya atau diserahkannya tersangka ANA ke penuntut umum Kejari Jakarta Utara, tidak berhasil. HM Sungkono juga tidak menanggapi konfirmasi lewat WA. Demikian pula penasihat hukum tersangka ANA, tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.

Seperti diberitakan sebelumnya, rersangka ANA dilaporkan ke Polres Jakarta Utara pada 11 Oktober 2017. Hanya berselang beberapa saat, statusnya kemudian ditingkatkan menjadi tersangka. Selanjutnya sampai saat ini penyidik Polres Jakarta Utara tidak pernah menerbitkan surat perintah penahanan. Sejak awal seolah tidak ada kekhawatiran tersangka ANA bakal berlaku kurang kooperatif bahkan melarikan diri dari tanggung jawab hukumnya.

Perbuatan memperdayai saksi korban Deepak Rupo Chugani dilakukan tersangka Abdullah Nizar Assegaf dengan cara menawarkan sebidang tanah sekaligus pengyrusan surat suratnya atas nama pembeli. Tersangka kemudian meminta kepengurusan surat-surat tanah tersebut dengan upah/bayaran Rp 7 miliar. Namun itu surat-surat tak kunjung diurus tersangka.

Setelah disomasi Hartono Tanuwidjaja, tersangka Abdullah Nizar Assegaf memberikan empat lembar cek Bank Mitra Niaga Cabang Kelapa Gading, Jakarta Utara. Namun ketika cek tersebut dicairkan hanya tiga lembar yang diterima bank dengan nilai Rp 3 miliar. Sedangkan satu lembar cek lagi ditolak dengan alasan tak ada uangnya.

Tersangka ANA selanjutnya memberikan cek baru. Namun ternyata ceknya kosong lagi. Terbukti pihak bank memberikan Surat Keterangan Penolakan (SKP) pencairan yaitu dari Bank Mitra Niaga sebesar Rp 4 miliar tanggal 14 Juni 2017, Bank Central Asia (BCA) sebesar Rp 3,5 miliar tanggal 24 November 2017 dan Bank Mandiri sebesar Rp 4 miliar dengan alasan saldo tidak mencukupi.

Padahal, ungkap Hartono, sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No 372/Tebet Barat atau tanah yang dijual tersangka kepada korban sudah dihapus di Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau sudah berubah menjadi HGB No 3002 atas nama orang lain lagi.

Oleh karena saksi korban seorang pengusaha, maka kerugiannya menjadi bertambah-tambah akibat terlalu lambatnya proses hukum kasus ANA. Berperkara sungguh pilihan sulit bagi pencari keadilan, termasuk bagi pengusaha. Kendati sebagai korban, tidak cukup hanya menunggu kasus itu ditangani. Tanpa lakukan dorong-mendorong ke sana ke mari bukan tidak mungkin kasus mengendap entah sampai kapan. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama