Kick Out Politik Dalam Sepakbola!




Oleh: Mudassir Hasri Gani 

(Pembina Red Gank Zona Rappocini)


BATAL. Inilah kata yang harus kita terima setelah pertemuan Ketua Umum PSSI, Erick Thohir bersama Presiden FIFA Gianni Infantino di Doha, Qatar. 


Pupus sudah harapan punggawa Timnas Indonesia U-20 dan seluruh masyarakat pecinta Sepakbola tanah air untuk dapat menyaksikan anak muda Bangsa ini berlaga di event tertinggi dalam Sepakbola. Hal ini tidak terlepas dari polemik yang terjadi di beberapa kalangan akan penolakan Israel ke Indonesia hingga batalnya drawing Piala Dunia U-20 di Bali. 


Sebelumnya, Indonesia dalam pertemuan di Shanghai China telah ditetapkan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada tahun 2021. Namun karena terjadi pandemi covid sehinga diundurkan ke tahun 2023. 


Tentu, kabar Indonesia menjadi tuan rumah jauh-jauh hari sudah diberitahukan hingga pada mendekati penyelenggaraan, malah muncul polemik yang dengan tegas menolak kehadiran Timnas Israel yang memicu reaksi publik yang berlebihan dan tak berdasar dengan asas dan logika yang sehat hingga berujung pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia (29/3/2023). 


Padahal kehadiran event Piala Dunia ini, dapat dijadikan momentum kebangkitan sepakbola Indonesia (menolak lupa kejadian kasus kanjurahan), dan juga kebangkitan sektor pariwisata setelah pandemi. Karena dengan event sebesar ini, tentu menghadirkan para wisatawan atau turis ke Indonesia dan beberapa daerah tuan rumah yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Solo, dan Palembang. 


Di samping itu, event tersebut juga berpotensi menjadi penilaian FIFA akan Indonesia sebagai tuan rumah pada penyelenggaraan Piala Dunia dibeberapa tahun ke depan.


Selain kehilangan momentum, Indonesia juga mengalami kerugian materil. Terhitung sejak Juni 2022 Kemenpora telah meminta anggaran 500 Miliar untuk peruntukan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 dan juga Kementerian PUPR sebanyak 489 M untuk merenovasi 6 stadion. Anggaran besar tersebut dipastikan sia-sia saja akibat tidak terselenggaranya Piala Dunia U-20. 


Hal ini juga turut merespon Presiden RI Jokowi dalam sambutannya mengatakan bahwa politik dan sepakbola jangan dicampur-adukan karena ketika politik terlalu menonjol dalam sepakbola maka FIFA sebagai pemilik hak preogritas akan mensanksi PSSI atau penyelenggara liga di sebuah negara. Momentum pergantian ketua umum PSSI sepertinya belum menemukan kemajuan, malah menjadi mala petaka akibat tidak terselenggaranya event piala dunia. 


Saat ini, Indonesia harap-harap cemas menanti sanksi FIFA. Adapun beberapa sanksi yang memungkinkan yaitu Indonesia akan dibekukan akan segala bentuk kegiatan sepakbola oleh FIFA, Indonesia tidak bisa mengikuti event kalender FIFA, Indonesia akan dihapus dari kandidat tuan rumah piala dunia 2034, Indonesia akan dikecam karena bertindak diskriminatif mencampuradukkan olaharga dan politik. 


Politik memang begitu kental di negara ini, namun bukannya memberi dampak positif justru hal negative yang dihasilkan. Mereka lupa bahwa olahraga harusnya bisa membawa manfaat dan kesenangan justru dihancurkan oleh beberapa pihak yang seolah paham akan olahraga sepakbola tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan akibat batalnya event piala dunia. Ironisnya, cabang olahrga lain yang menjadi perwakilan negara Israel bisa hadir di Indonesia seperti pada tahun 2015 atlet bulutangkis Israel Misha zilberman dalam kejuaraan bulutangkis dunia (BWF) di Istora Senayan, Jakarta. Selain itu, Bali juga pernah menerima delegasi Israel dalam pertemuan Internasional Parlementary Union (IPU) pada maret 2022. 


Sepakbola memang selalu menarik dan memberikan magnet tersendiri untuk diolah dan digiring menjadi konsumsi politik. Apalagi Indonesia saat ini akan memasuki tahapan Pemilu 2024 sehingga hampir semua kegiatan, program rentan akan dipolitisasi oleh beberapa pihak. Entah siapa yang untung dalam kejadian ini, yang pasti hampir semua pihak merasakan kesedihan dan kerugian batalnya event ini. (*)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama