Pandemi Covid-19: Hoax Berskala Bumi ?


Oleh: Prof. Dr. Daniel Mohammad Rosyid
(Direktur Rosyid College of Arts and Maritime Studies-RCAM)

Jika statistik Covid-19 dianalisis, dan karakter dasar virus penyebabnya dapat ditentukan sebagai cepat menular, tapi tidak berbahaya bagi warga muda yang bugar dan sehat. Namun selektif mematikan bagi yang berusia lebih dari 65 tahun dengan penyakit bawaan  hipertensi, jantung dan diabetes, serta defisiensi Vit D, maka kebijakan yang tepat adalah segera mengisolasi kelompok yang rentan sambil melindunginya dari resiko terjangkiti, serta membiarkan kelompok lain untuk tetap beraktifitas produktif sambil mengembangkan kekebalan tubuh secara alami.

Taiwan adalah satu-satunya negara yang tidak diakui WHO yang menerapkan kebijakan selektif ini. Protokol kesehatan diterapkan dengan berdisiplin tapi kegiatan ekonomi dibiarkan jalan terus seperti biasa. 

Dari sudut pandang kebijakan publik, kebijakan Lockdown ataupun PSBB adalah kebijakan yang tidak tepat karena gebyah uyah, tanpa protokol yang spesifik untuk dua kelompok kerentanan yang berbeda. Peliputan luas bertubi-tubi dan berhari-hari oleh media massa elektronik soal Lockdown dan PSBB serta berbagai drama ruang ICU penuh dengan pasien berventilator dan manusia berAPD yang mengikutinya telah berhasil menteror ummat manusia untuk kemudian dipaksa mengikuti model Wuhan dalam penanganan Covid-19.

Kita tahu bahwa model Wuhan dalam penanganan Covid-19 yang berlaku global saat inipun gagal mencegah kematian ratusan ribu orang hingga hari ini. Negara dengan prosentase kematian  terbanyak adalah ageing and  obese societies seperti Spanyol, Italia dan Inggris serta AS. Bahkan prosentase kematian di China dan Indonesia termasuk kecil.  Sementara itu ekonomi dunia terperosok kedalam resesi global : hampir semua bisnis mandeg, kemudian runtuh,  lalu diikuti gelombang perumahan dan PHK besar-besaran di seluruh dunia. Paling tidak angka pengangguran global saat ini bertambah 300-500 juta orang.

Angka kematian akibat Covid-19 ini secara jumlah masih lebih kecil daripada kematian akibat beberapa penyakit lain seperti TBC, kanker, stroke, dan jantung serta kecelakaan lalu lintas. Tapi penanganan atas penyakit-penyakit itu karena tidak disebut pandemi, tidak ditanggapi berlebihan sehingga  melumpuhkan kehidupan.

Mohon dicatat, bahwa klas menengah perkotaan seperti para tenaga medis, akuntan, notaris, insinyur, pengacara, guru dan dosen yang berpenghasilan relatif tetap akan keberatan dengan gagasan herd immunity. Kelas menengah ini minta semua penduduk tinggal di rumah saja. Stay At Home ! Tapi segera harus diingat ini tidak bisa diterima bagi banyak pekerja dan pedagang dengan penghasilan harian.  Memaksa anak-anak muda berusia produktif Indonesia di zaman bonus demografi ini untuk duduk-duduk di rumah menganggur mengemis BLT tidak saja kebijakan amoral dan mendungukan mereka tapi juga merampas harga diri mereka. Anak2 muda ini hampir pasti akan memilih mati saat bekerja mencari nafkah daripada hidup dungu di rumah.

Jadi kebijakan PSBB setengah hati ini diakhiri saja karena too little too late. Bayangkan angkutan umum dibuka, mall dan pasar dibuka tapi ibadah berjamaah malah sangat dibatasi.  Ini tidak mengherankan karena hampir semua pemerintah di Indonesia memang tidak pernah mengurusi kebutuhan jasmani dan ruhani wong cilik dengan sungguh-sungguh. Lihat saja Data Kependudukan yang dibiarkan tetap amburadul hingga saat ini. Pemerintah lebih suka pamer bagi-bagi kantong bansos ke antrian panjang rakyat kecil, sambil diam-diam tetap terus khusyu' mementingkan urusan investasi asing sekalipun dengan kejar tayang legislasi. Yang satu ini too big to miss.

Sebagai masyarakat kita harus mandiri dan cerdas,  jangan membiarkan diri menjadi korban kemiskinan imajinasi pemerintah dan kebuasan elit global.

Gunung Anyar, 21/5/2020

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama