Jenderal Polisi (Purn.) Suroyo Bimantoro dan Makna Penting 1 Juli

UNTUK pria yang dilahirkan pada 3 November 1946 di Prembun, Kebumen (Jateng) ini, setiap tanggal 1 Juli memiliki makna yang sangat penting dalam sepanjang hidupnya. Betapa tidak! Suroyo Bimantoro, yang akhirnya memilih karir hidupnya sebagai seorang Polisi dan bisa mencapai karir tertingginya sebagai Kapolri, telah menjadikan tanggal 1 Juli sebagai hari lahir Polri atau Bhayangkara.

Sejak Bimantoro diterima di Akabri bagian Kepolisian  pada 1970, sudah tentu momentum 1 Juli adalah salah satu hari terpenting yang harus diperingati penuh khidmat. Tapi ia pun tak bisa memungkiri, bahwa pada 1 Juli 2001 jugalah, di saat menjabat sebagai orang nomor satu di Polri, justru dirinya diberhentikan oleh Presiden Abdurahman Wahid dalam suasana yang kurang bersahabat. Mengapa?

Bimantoro yang menjabat Kapolri ke-16 sejak September 2000, di masa itu kondisi stabilitas keamanan di dalam negeri sedang carut-marut. Suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Habibie telah menimbulkan banyak implikasi sosial-politik yang membuat suasana konflik horizontal antar masyarakat tertentu di satu sisi, serta antara masyarakat dengan aparat keamanan seperti Polri-TNI di sisi lain.

Posisi Polri ketika itu juga baru saja terlepas dari TNI, dan berada langsung di bawah Presiden. Sehingga siapapun Kapolri di masa tersebut, tentu memiliki pekerjaan rumah yang ektsra berat, baik ke dalam maupun keluar. Di saat Bimantoro sebagai Kapolri, kepemimpinan nasional juga baru saja berganti lagi dari Presiden Habibie ke Abdurahman Wahid.

Kemudian dalam perjalanannya, ternyata hubungan Presiden Abdurahman Wahid dengan Kapolri Bimantoro berjalan tidak mulus. Salah satu sebabnya adalah ketika posisi Presiden yang terjepit akibat beberapa skandal seperti Bruneigate, Buloggate, yang menempatkan posisinya menjadi lemah dihadapan Legislatif (DPR), dan ingin memberlakukan Dekrit.

Bimantoro ternyata tidak ingin mendukung Presiden dengan memberlakukan Dekrit. Tentunya ada alasan mengapa Kapolri sampai tidak mendukung. Alasannya sederhana, kondisi kamdagri yang tidak kondusif, justru akan membuat menjadi tidak menentu bila Dekrit Presiden diberlakukan. Juga karena situasi nasional yang agak membaik, itu hanya terjadi pada tingkat memilih Presiden dengan DPR, tetapi belum berpengaruh secara signifikan terhadap situasi keamanan nasional secara keseluruhan. Hal senada sebenarnya juga dilakukan oleh Pimpinan TNI yang menolak pemberlakukan Dekrit.

Tentu saja, sikap penolakan Bimantoro dianggap pembangkangan kepada Presiden. Itu sebabnya, pada 1 Juni 2001, Bimantoro dinon-aktifkan selaku Kapolri. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Menkopolkam, pun ikut di non-aktifkan oleh Presiden bersamaan dengan Bimantoro. Sebulan kemudian, ketika peringatan hari Bhayangkara 1 Juli 2001 di Mabes Polri, Presiden Abdurahman Wahid selaku Inspektur Upacara memberhentikan Bimantoro dari jabatan Kapolri serta menawarkan posisi baru sebagai Duta Besar RI di Malaysia.  Sebagai penggantinya, Presiden memilih Letjen Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Jabatan Sementara Kapolri, yang sebelumnya sudah diangkat sebagai Wakapolri mendampingi Bimantoro sebagai Kapolri.

Sikap Presiden yang menon-aktifkan Kapolri, Menkopolkam, kemudian memberhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR seperti ketentuan yang berlaku pada masa itu, kian menambah panjang daftar kesalahan Presiden yang di mata publik justru membuat citra Presiden tambah merosot.

Berbeda dengan pencopotan Menkopolkam SBY diganti oleh Agum Gumelar yang merupakan hak prerogatif Presiden, maka untuk jabatan Kapolri/Panglima TNI, mesti melalui mekanisme persetujuan dari DPR terlebih dahulu. Oleh karenanya, ketika Bimantoro diberhentikan, suara perlawanan kepada Presiden begitu tinggi, bukan hanya dari tubuh institusi Polri, tapi juga dari mayoritas DPR, serta tokoh masyarakat lainnya.

Sikap Bimantoro tetap tegas menolak, ketika diberhentikan dengan hormat oleh Presiden pada 1 Juli.  Penolakannya kemudian disampaikan melalui jumpa pers yang didampingi oleh para asistennya dan seluruh Kapolda se-Indonesia. Sikap keras dan tegas Bimantoro juga menuai kritik dari dalam tubuh Polri, di mana ada delapan Perwira Menengah (Pamen) Polri. Namun ini sangat kecil dan tidak berdampak politik apapun. Persatuan Purnawirawan Polri turut mendukung sikap Bimantoro juga.
Menghadapi tantangan dari Polri di bawah kendali Bimantoro, ternyata tidak pula  membuat sikap Presiden Abdurahman Wahid untuk melakukan introspeksi tentang kebijakannya yang keliru. 

Presiden malahan mengancam akan segera memberlakukan Dekrit untuk memperkokoh kekuasaannya. Upaya rekonsiliasi dengan jalan diplomasi ternyata buntu.
Situasi politik yang mencekam tersebut akhirnya ditentukan oleh sikap Presiden sendiri yang mengeluarkan Dekritnya pada 22 Juli. Isi dekrit diantaranya pembubaran DPR dan Golkar. Tetapi karena dukungan politik terhadap Presiden sangat lemah dan kecil, maka hanya berselang satu hari, hampir seluruh anggota DPR (tanpa PKB), melakukan Sidang Istimewa MPR. Hasil dari SI MPR ini adalah mayoritas menyetujui memberhentikan Presiden Abdurahman Wahid karena dinilai telah banyak melakukan pelanggaran.

Jatuhnya Abdurahman Wahid sekaligus memberikan jalan bagi Wapres Megawati Soekarno Putri untuk menggantikannya sebagai Presiden berikutnya. Terpilihnya Megawati, dengan sendirinya mengakhiri suasana tegang Polri dengan Presiden. Posisi non aktif Bimantoro kemudian dipulihkan dengan mengangkatkan kembali secara yuridis formal sebagai Kapolri.

Tentu saja momentum 1 Juli 2001 menjadi suatu hal yang sangat istimewa sekali khususnya bagi Bimantoro, serta institusi Polri umumnya. Dirgahayu Polri. (mab)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama