Bupati Boalemo Darwis Moridu |
Oleh: Aris
Perkara penganiayaan dengan terdakwa Darwis Moridu (Bupati Boalemo), di
Pengadilan Negeri Gorontalo sudah memasuki babak akhir. Jumat besok
(13/11/2020), Majelis Hakim akan menjatuhkan vonis terkait perkara hukum
yang menarik perhatian warga Boalemo tersebut, karena melibatkan nama
seorang bupati.
Kasus penganiayaan itu sendiri sebenarnya terjadi jauh hari sebelum
Darwis Moridu terpilih jadi Bupati, yakni sekitar 5 Agustus tahun
2010, sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Agus Wirawan dalam
Persidangan
Korban penganiayaan tersebut bernama Awis Idrus.
Menurut Jaksa, korban saat itu sedang melewati gudang jemuran jagung
milik terdakwa Darwis Moridu yang kala itu belum menjabat sebagai Bupati
Boalemo.
Peristiwa penganiayaan itu tepatnya terjadi di Dusun Satu, Desa Kota
Raja, Kecamatan Dulupi, Kabupaten Boalemo. Korban mendatangi terdakwa
yang saat itu berada dalam mobil.
Saat itu terdakwa bermaksud ingin menagih utang kepada korban namun
korban belum punya uang karena masih menanggung anaknya yang sakit.
Mendengar alasan korban, menurut Jaksa, terdakwa emosi dan langsung
membuka pintu mobil ke arah badan korban, sehingga pintu mobil tersebut
mengenai kepala korban.
Tak hanya itu, menurut versi JPU, terdakwa juga sempat menampar dan
menendang paha kedua kaki Korban secara berulang, sehingga Korban
menjerit kesakitan dan minta ampun kepada terdakwa, yang kala itu belum
menjadi Bupati Boalemo.
JPU mendakwa terdakwa Darwis Moridu dengan pidana dalam Pasal 354 ayat 2
KUHP. Subsidiair Pasal 351 Ayat 3 KUHP. Lebih Subsidiair Pasal 354 ayat
1 KUHP. Lebih lebih Subsidiair Pasal 351 ayat 2 KUHP, lebih lebih
Subsidiair lagi Pasal 351 ayat 1 KUHP.
Pasal 354 KUHP:
1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian. yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Pasal 351 KUHP:
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Namun, dalam persidangan, tidak ada saksi yang melihat dengan persis
peristiwa penganiayaan tersebut. Bahkan istri korban, yaitu Ratna Salihi
juga tidak melihat persis penganiayaan yang dilakukan Darwis kepada
suaminya. Ratna hanya mendengar soal terjadinya penganiayaan itu dari
suaminya, sebelum suaminya meninggal karena sakit.
Salah seorang anggota Tim Pengacara terdakwa Darwis, yaitu Inggrid S. Bawias, SH, MH yang ditemui wartawan, hari ini, menyebutkan bahwa
fakta-fakta di persidangan, berdasarkan keterangan saksi-saksi di bawah
sumpah, yaitu: Ratna Salihi, Satari Idrus, Hamuri Sako, Hadiha Sako,
Rico Maliu, dan Hartin Idrus, dan keterangan dokter di bawah sumpah: dr
Rahmawati, dr Dian Ikagustina Tambunan M Kes (Ped), Sp A, dr Shinta
Merina Latulola Sp PD, dr Iwan Judodihardjo Sp PD, dan dr Alexander
Meliangan Sp PD, terungkap bahwa penyakit ambien yang dikeluhkan dan
diderita Awis Idrus sejak lama (sejak masih bujang) sudah termasuk pada
kategori penyakit berat yang dapat menyebabkan Awis tidak dapat
melakukan pekerjaan.
Sehingga menurut Ingrid, berdasarkan keterangan-keterangan saksi, bukti
surat dan fakta-fakta di persidangan, maka dapat disimpulkan:
1. Bahwa terjadinya pemukulan tidak menyebabkan luka berat;
2. Bahwa olehnya unsur Pasal 351 ayat (2) KUHP tentang "Mengakibatkan luka berat" tidak terpenuhi;
3. Bahwa sakit ambien yang diderita oleh Awis Idrus sejak masih bujang menyebabkan dia tidak cakap lagi melakukan pekerjaan;
4. Bahwa dengan demikian tidak cakapnya lagi Awis Idrus dalam melakukan
pekerjaan bukan disebabkan luka berat melainkan karena sakit ambien yang
dideritanya sejak bujang.
Sementara Darwis Moridu sendiri saat diperiksa di bawah sumpah di depan
Hakim, membantah bahwa dirinya menendang-nendang dan menginjak-injak
perut dan paha serta kaki Awis Idrus baik pada saat di Dusun 1 Desa
Kotaraja maupun saat di rumah terdakwa di Dusun III Desa Kotaraja.
JPU sendiri dalam tuntutannya juga menyebut bahwa unsur dalam dakwaan
primair yaitu "melukai berat orang lain" tidak terbukti. Maka, menurut
JPU, "mengakibatkan kenatian tidak perlu kami buktikan lagi dan oleh
karena salah satu unsur dalam dakwaan primair sebagaimana diuraikan di
atas tidak terpenuhi, maka dakwaan primair tidak terbukti.." (halaman 31
dan 32, surat tuntutan JPU).
Namun, anehnya JPU tidak konsisten dengan kesimpulan yang dibuatnya,
karena tetap menggunakan pasal 351 ayat 2 KUHP (yang bunyinya: Jika
perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun).
JPU Kota Gorontalo, seperti diketahui, menuntut 1 tahun penjara dengan 2
tahun masa percobaan kepada terdakwa kasus dugaan penganiaayan Bupati
Boalemo Darwis Moridu.
Tuntutan itu disampaikan jaksa dalam sidang yang digelar di Pengadilan
Negeri Gorontalo, Selasa (20/10/2020). Sidang itu dipimpin majelis hakim
Dwi Hatmodjo yang beranggotakan Pangeran Hotma Hio Putra Sianipar dan
Efendy Kadengkang.
Dalam penyampaian tuntutan, Jaksa menyimpulkan bahwa terdakwa terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan pidana penganiayaan yang
mengakibatkan luka berat, sehingga korban Alwi Idrus tidak bisa
menjalankan aktivitas sampai korban meninggal dunia.
Jaksa menuntut terdakwa dengan pasal 351 ayat 2 KUHP Pidana
undang-undang nomor 8 tahun 1981. "Maka dari itu kami meminta majelis
hakim untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa Darwis Moridu dengan
hukuman penjara satu tahun dengan dua tahun masa percobaan,” tegasnya.
Jaksa menyebutkan pula hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa bersifat
sopan selama persidangan, keluarga korban ataupun saksi telah memaafkan
dan tidak keberatan atas penganiayaan yang dilakukan terdakwa. Keluarga
korban dan terdakwa juga sudah melakukan perdamaian.
"Terdakwa juga sudah memberikan biaya pengobatan dan santunan ke pihak keluarga korban,” jelas jaksa Agus Irawan.
Jaksa Agus saat diwawancarai awak media menjelaskan, maksud dari hukuman
penjara 1 tahun baru akan dijalani jika dalam masa percobaan 2 tahun
terdakwa melakukan suatu tindak pidana lain lagi.
“Apabila dalam masa percobaan 2 tahun, ternyata dia melakukan tindak
pidana lagi, maka terdakwa harus menjalani hukuman 1 tahun penjara.
Tuntutan itu berdasarkan fakta-fakta selama persidangan,” tutur Agus.
Tuntunan ini juga unik. Jika memang jaksa meyakini bahwa dakwaannya
terbukti secara sah dan meyakinkan, kenapa tuntutannya "hanya" hukuman
percobaan?
Ini terkesan Jaksa ragu-ragu terhadap dakwaan yang dia susun. Apalagi
dalam persidangan, JPU juga mengakui bahwa dakwaan primair yang
diajukannya tidak terbukti.
Kasus yang menarik perhatian masyarakat ini memang unik dan kontroversial:
1. Kasus sudah terjadi sekitar 10 tahun lalu.
2. Di awal penyelidikan dan penyidikan kasus ini pada 10 tahun lalu,
kasus yang disangkakan kepada Darwis adalah pasal 351 ayat 1 KUHP, yaitu
penganiayaan ringan. Namun, ketika kasus itu dibuka lagi pada 2018, pasal dakwaan bertambah. Yakni Pasal 351 ayat (1), (2), (3) serta Pasal 354 ayat (2).
3. Terkait kasus itu sudah dilakukan perdamaian antara korban (dan keluarga korban) dengan Darwis
4. Bahwa pada tanggal 27 September 2011 polisi sudah mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena tidak menemukan bukti yang
cukup untuk melanjutkan kasus tersebut.
5. Tapi pada bulan Desember 2018 kasus ini dibuka lagi oleh polisi
berdasarkan putusan Praperadilan tahun 2018, yang memutuskan mencabut
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh polisi. Uniknya lagi
yang mengajukan Praperadilan ini bukan pihak korban (keluarga korban).
Banyak pihak yang menduga kasus ini tidak lagi murni kasus hukum, tapi
sudah terkontaminasi urusan politik. Indikasi yang terlihat, bahwa kasus
ini dibuka lagi setelah Darwis terpilih jadi Bupati. Dan dibukanya
kasus ini bermula dari gugatan LSM yang mengajukan Praperadilan terkait
masalah SP3 kasus ini pada tahun 2018, yakni sekitar 8 tahun lebih,
setelah SP3 ini dikeluarkan pada 30 September 2011.
Kita berharap Majelis Hakim yang menangani kasus ini bisa bertindak
adil, sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan dan jangan
terpengaruh oleh intervensi atau tekanan politik berbagai pihak. Bahkan
jika memang melihat tidak ada bukti yang layak untuk menjerat terdakwa
secara hukum, Majelis Hakim jangan segan-segan membebaskan terdakwa dari
tuntutan hukum.