Sidang Advokat Gugat Presiden Berikut Sembilan Lembaga Negara Ditunda Lagi


JAKARTA (wartamerdeka.info) - Persidangan yang kedua kalinya, gugatan pengacara Alexius Tantrajaya, SH, MHum terhadap Presiden RI dan sembilan Lembahga Negara, ditunda lagi.

Penundaan sidang ini karena sejumlah besar kuasa hukum Tergugat belum hadir di persidangan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/5).

Dari pantauan pers, hanya tiga kuasa hukum yang hadir setelah persidangan dibuka ketua majis hakim Purwanto, SH, MH. Mereka itu adalah kuasa Tergugat II, (DPR RI), Tergugat III (KPK) dan Tergugat V (Komnas HAM).

"Pengadilan sudah memanggil secara patut kepada seluruh Tergugat. Namun beberapa diantaranya tidak ada kabar. Oleh karenanya kita panggil lagi," tutur hakim Purwanto menjelaskan kepada Penggugat Alexius Tantrajaya.

Kemudiqn hakim ketua mengetukkan palunya menutup sidang setelah sebelumnya membuat kesepakatan sidang kembali pada 11 Juni 2016.

Alexius Tantrajaya sendiri terlihat kecewa atas penundaan sidang itu. "Hari ini hanya tiga kuasa Tergugat yang hadir. Tergugat lainnya tidak ada kabar. Jadi sidang ditunda lagi," kata Alexius Tantrajaya.


Seperti berita sebelumnya, advokat senior Alexius Tantrajaya, SH, MHum menggugat Presiden RI dan Sembilan Lembaga Negara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), karena merasa progesinya dilecehkan.


Alexius Tantrajaya mengajukan gugatan terhadap Tergugat I sampai Tergugat X melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap, Penggugat Alexius Tantrajaya. Selain itu mengajukan ganti rugi sebesar Rp 1,1 miliar secara tanggung renteng terhadap para Tergugat.


Adapun yang digugat Alexius: Pemerintah Indonesia (presiden), Ketua DPR, Ketua KPK, Ketua Kompolnas,  Ketua Komnas HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian RI, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Kepala Devisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, dan Ketua Ombudsman selaku turut tergugat.


“Saya gugat ganti rugi sebesar Rp 1,1 miliar, baik sendiri-sendiri maupun patungan (tanggung renteng), harus dibayar tunai, nggak dicicil," kata Alexius kepada wartawan di gedung PN Jakpus, belum lama ini.


Menurut dia, gugatan diajukan lantaran batas kesabarannya sudah habis. Sebagai advokat, dia merasa profesinya dilecehkan oleh para tergugat. “Saya menilai, mereka telah mengingkari sumpah dan janji sebagai penegak hukum,” katanya.



Para tergugat, lanjut Alexius, sebagai penegak hukum tidak dapat melaksanakan secara maksimal Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni: “Negara Indonesia adalah negara hukum dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya,” katanya menjelaskan isi pasal dimaksud.


Secara perundangan, lanjut Alexius, seharusnya para tergugat memberikan perlindungan hukum kepada kliennya, Ny. Maria Magdalena Andriati Hartono (Maria) dan kedua anaknya. Tapi nyatanya, hal itu tidak pernah dilakukan.


Surat permohonan perlindungan hukum yang diajukan kepada para tergugat, diabaikan selama rentang waktu 10 tahun lebih. Tepatnya Sejak tahun 2008 silam.


“Baik kepada presiden, kami juga berkirim surat kepada lembaga-lembaga pemerintah tersebut, yang intinya meminta perlindungan hukum terhadap Maria. Jangankan perlindungan, merespon surat kami saja tak pernah dilakukan. Di mana akhirnya, kasus klien kami menggantung. Padahal batas kadaluarsanya tinggal setahun lebih, di mana laporan pidana Maria akan hangus secara hukum,” papar Alexius.


Sebagai advokat, katanya, dia harus profesional, bertanggung jawab, serta memberikan perlindungan hukum kepada klien. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (2) UU Advokat No. 18 Tahun 2003. 


“Tapi sebagai penegak hukum, saya merasa para tergugat telah melecehkan saya selaku advokat, karena telah mengabaikan surat permohonan perlindungan hukum yang saya kirim kepada mereka. Dan saya beranggapan, mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum. Wajar jika saya menggugat,” ujar Alexius Tantrajaya. 

Kasus Warisan

Menurut Alexius, kasus Maria menyangkut warisan peninggalan mendiang suaminya, Denianto Wirawardhana, yang akan dikuasai oleh keluarga almarhum. Padahal yang berhak atas warisan itu adalah dua anak hasil perkawinannya dengan almarhum, serta seorang anak yang bermukim di Jerman, hasil perkawinan Denianto Wirawardhana sebelumnya dengan wanita warga negara Jerman.



“Perkara klien kami mengendap begitu lama. Bayangkan saja, Maria Magdalena melapor pada tahun 2008, hingga 2019 ini polisi belum memproses. Itu artinya, sudah 10 tahun lebih laporan klien kami digantung. Tidak jelas alasannya seperti apa,” ungkapnya.


Ditegaskan, sesuai Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ancaman pidana di atas 3 tahun lebih masa kadaluarsa perkaranya 12 tahun. Berarti tenggang waktu proses hukum kliennya sedikit sekali. Yakni, tersisa setahun empat bulan ke depan.


“Jika polisi belum juga memproses, berarti laporan klien kami tahun depan sudah hangus. Apakah itu yang diharapkan polisi untuk kasus klien kami? Jika benar, rasa keadilan seorang rakyat bernama Maria Magdalena telah dicabik-cabik. Hak keadilannya telah diperkosa,” tegas Alexius.

Diskriminatif

Advokat senior ini menyatakan, dalam konteks perkara Maria, polisi bersikap diskriminatif. Hal ini bisa dibuktikan, yakni terkait laporan keluarga almarhum Denianto Wirawardhana terhadap kliennya di Polda Metro Jaya pada 16 Nopember 2007, dengan tuduhan Maria Magdalena menguasai warisan almarhum secara sepihak.


“Dalam waktu singkat, laporan keluarga almarhum diproses Polda Metro Jaya, No.Pol : LP/4774/K/XI/2007/SPK UNIT “1” tersebut, dan oleh kejaksaan dilimpahkan ke pengadilan. Maria dijadikan terdakwa. Tapi Tuhan adil, pengadilan menyatakan Maria Magdalena tidak bersalah. Klien kami bebas dari tuntutan hukum,” jelas Alexius.


Setahun kemudian, lanjut Alexius, pada 8 Agustus 2008 kliennya melaporkan keluarga almarhum suaminya ke Mabes Polri dengan laporan No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, perihal dugaan keterangan palsu. Mereka yang dilaporkan di antaranya Lim Kwang Yauw, Kustiadi Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi Suwandinata.


Para terlapor itu, jelasnya, pada 11 Januari 2008 diketahui membuat akta keterangan waris pada Notaris Rohana Frieta yang isinya disebutkan, bahwa almarhum Denianto Wirawardhana tidak pernah menikah, tidak pernah mengadopsi anak, dan tidak pernah mengakui anak di luar nikah.


Menurut dia, kliennya menilai keterangan itu palsu. Tidak dapat dibenarkan. Sebab, dari pernikahan dengan almarhum Denianto Wirawardhana, Maria Magdalena melahirkan dua anak, Randy William dan Cindy William. Semuanya tercatat di kartu keluarga, buku lahir dan akta kelahiran. Secara hukum tidak bisa terbantahkan.


“Bahkan, sebelumnya, almarhum pernah menikah dengan wanita Jerman, Gabriela Gerda Elfriede. Punya satu anak, Thomas Wirawardhana. Mereka menetap di Jerman. Sedangkan pernikahan dengan Maria Magdalena dikaruniai dua anak, yaitu Randy William dan Cindy William,” papar Alexius.


Perlu juga diketahui, tambahnya, ketika Thomas Wirawardhana masih kecil, pengadilan Jerman sudah menjatuhkan putusan bahwa almarhum Denianto Wirawardhana harus memberikan biaya hidup anaknya itu. Jika dikaitkan dengan harta benda peninggalan almarhum, maka secara hukum Thomas berhak sebagai ahli waris.


Dijelaskan, ternyata proses penanganan laporan pidana kliennya itu sangat berliku-liku, terkesan sengaja dibuat mondar-mandir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai kewibawaan penegak hukum. Yang menyedihkan lagi, keluarga almarhum Denianto Wirawardhana berhasil merampas dua unit Ruko dan uang tunai (tabungan) senilai Rp 9,6 miliar yang disimpan di bank.


“Yang saya sesali, sikap diskriminasi polisi terhadap Maria, warga Negara Indonesia yang semestinya mendapat perlindungan hukum, seolah-olah dibiarkan oleh presiden dan lembaga negara lainnya. Padahal kasusnya itu sudah saya jelaskan panjang lebar dalam surat permohonan perlindungan hukum. Hasilnya tak ada. Wajar jika saya kesal, dan mengajukan gugatan,” pungkas Alexius.
 

SPDP


Dengan berlarut larutnya penangakan kasus laporan Ny. Maria ini, rupanya telah dimanfaatkan para terlapor karena  telah berhasil mengambil uang milik Almarhum Denianto Wirawardhana yang tersimpan sebagai deposito di Bank Bumi Arta, Tbk. sebesar Rp9,6 milyar  serta 2  unit Ruko di Jalan Jembatan Dua, Jakarta Utara.

Selain itu   Alexius menjelaskan tentang Surat Pemberitauan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diserahkan kepada hakim pada hakim pada sidang tanggal 8 Februari 2018.

"SPDP yang dimaksud tertanggal 29 Januari 2018 dari Mabes Polri kepada Kejaksan Agung RI. Padahal laporan Polisi dilakukan tanggal 8 Agustus 2008. Jadi laporan ini  mangkrak di kepolisian selama 11  tahun," imbuhnya.

Yang aneh,   beberapa waktu setelah  laporan Polisi ini terjadi,  sudah dilakukan pemeriksaan pemeriksaan,  dan ada juga Berita Acara Pemeriksaan (BAP)-nya. Tapi mengapa SPDP-nya baru dikeluarkan tanggal 29 Januari 2018 lalu. Artinya,  tindakan polisi yang melakukan pemeriksaan sebelumnya terhadap kasus ini,  merupakan tindakan abal-abal, kata Alexius Tantrajaya.(dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama