Pilkada Lamongan, Pergeseran Perilaku Politik Pemilih


LAMONGAN (wartamerdeka.info) - Pilkada yang akan digelar pada 2020 ini, merupakan Pilkada serentak kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015.
Ada sebanyak 270 daerah  yang akan menggelar helatan pemilihan kepala daerah, rinciannya ada sebanyak 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.  Seharusnya diikuti 269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.

Nah, salah satu dari jumlah itu, kabupaten Lamongan. Meski suhu politik tidaklah terlampau drastis berhembus, namun pelan tapi pasti grafiknya semakin menaik. Apalagi, belakangan ini, sudah muncul rumor bahkan berseliweran pasangan kandidat yang sudah dipasangkan.

Apakah itu baru sebatas wacana politik atau memang sudah mendapat restu dari partai politik pengusung, tingkat kebenarannya juga masih belum seratus persen, sebab masih banyak kemungkinan terjadi dalam kurun waktu sampai masa pendaftaran pasangan calon. Terkait dengan pelaksanaan pilkada Lamongan ini, ada sejumlah hal yang cukup menarik untuk dicermati.

Pertama, Pilkada 2020 di Lamongan, tidak lagi ada petahana, termasuk soal politik dinasty, sehingga jika kemudian persoalan itu dibesar besarkan sangat tidak logis.

Kedua, oleh karena tidak ada petahana, maka semua Bacalon menjadi sejajar dan memiliki kesempatan yang sama.

Ketiga, kekuatan ketokohan Bacalon, baik bupati maupun wakil bupati (Paslon). Bahwa pergeseran sudah mulai terjadi sejak pemilu sepuluh tahun silam atau pilkada sebelumnya. Bahwa kekuatan ketokohan calon mampu menggeser dominasi parpol untuk mempengaruhi pemilih.

(Tapi bukan berarti Paslon independen mampu melaju cepat). Karena, peran parpol tetap dominan dalam kaitannya dengan rekomendasi. Sekaligus menandaskan bahwa diatas kertas parpol tetap dominan dan berkomitmen kuat untuk memenangkan sang calon yang diusung. Namun, diluar itu, nanti dulu, karena selain dihadapkan pada soal jumlah kursi di parlemen (DPRD) sehingga tidak serta merta harus bisa mendaftarkan sang calon, kalau tidak berkoalisi dengan parpol lain. Sampai disini, belum lagi saat kampanye, mesin partai biasanya kurang optimal dalam bekerja dan merebut hati para calon pemilih. Mau tidak mau, Paslon harus berjibaku sendiri.

Oleh karena itu,. Parpol dengan segala pengaruh dan kekuatannya akan terus mantau perkembangan calon atau paslon yang akan diusungnya. Kalau calon/Paslon dinilai tidak memiliki kans pengaruh terhadap pemilih atau tidak running, buat apa parpol akan memberikan rekomendasinya.

Itu sebabnya, soal coat-tail effect atau efek ekor jas, pada pilkada tidak serta merta bisa disamakan dengan pemilu. Pengaruh figur atau ketokohan calon akan memiliki posisi tersendiri dalam perebutan pemilih pada Pilkada (Lamongan). Apalagi, tokoh bersangkutan sudah pernah berada dilingkar kekuasaan dan memiliki reputasi dan prestasi akan memiliki pengaruh lebih besar untuk dipilih, jika dibandingkan dengan yang belum go publik ( terkenal).

Tak heran, jika banyak Bacalon bupati wakil bupati, yang kerap berfoto dengan tokoh tokoh nasional. Ada yang berfoto dengan wapres, ada yang berfoto dengan mantan presiden, ada yang berfoto dengan gubernur sampai tokoh Ormas, agar muncul kesan, kelas ketokohan.

Pun, demikian, hampir semua kandidat juga senang bahkan kalau bisa berfoto dengan warga masyarakat biasa mulai anak anak, emak emak, petani, nelayan sampai pada para kyai dan ustadz. Setidaknya agar dikesankan merakyat dan grapyak, dikenal hampir disemua lapis masyarakat.

Keempat, secara kuantitatif tingginya pemilih (pemula) melalui perangkat digital yang kemudian dimanfaatkan oleh para kandidat untuk mengupdate isu isu (politik) penting setiap saat. Perangkat digital, yang sudah tidak lagi mengenal batas geografis dan demografis, sehingga bukan sekadar soal elektoral, tapi bahkan pada pertarungan ide dan isu. Pada titik ini, pendekatan (kampanye) atau cara mengenalkan sang calon akan menemukan hasilnya.

Sebaliknya, Medsos juga bisa menggerogoti popularizas dan elektabitas calon, ketika, pertarungan ide dan isu politik terkait program dan janji, yang kemudian dinilai tidak masuk akal.(W. Masykar)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama