Guru Besar IPDN Prof Djohermansyah Djohan: Bupati Merauke Frederikus Gebze Contoh Pemimpin Negarawan


JAKARTA (wartamerdeka.info) -  Guru besar IPDN, Prof Djohermansyah Djohan mengapresiasi sikap negarawan Bupati Merauke Frederikus Gebze  yang tetap berbesar hati, meskipun dicopot sebagai Ketua DPD Nasdem Kabupaten Merauke.

Peristiwa yang dialami oleh Bupati Merauke yang dicopot dari jabatannya sebagai ketua partai, jadi perhatian masyarakat dan menimbulkan kemarahan publik warga Merauke.  Dan di tengah suasana politik yang panas itu, Freddy, panggilan akrab Bupati Merauke tersebut, tampil tenang dan menghimbau pendukung dan simpatisannya agar tetap tenang dan menjaga situasi agar tetap kondusif.

"Pemimpin seperti itu patut disebut negarawan. Negarawan itu orang yang interesnya adalah kepada bangsa dan negara, lebih memikirkan kepentingan daerah bukan pada kepentingan kapitalis, bukan pada kelompok kecil. Negarawan membela kepentingan masyarakat, kepentingan daerah dan negara, bukan membela segelintir orang bahkan dirinya," kata mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri ini.

"Dia (Frederikus Gebze) interesnya kan untuk membela kepentingan daerah, agar daerah bisa maju. Dia menjaga potensi alamnya agar jangan sampai diobral, dijaga dengan baik, dan juga memikirkan pembangunan berkelanjutan, bukan pembangunan sekarang tetapi untuk anak cucu masyarakat Merauke, itu ciri-ciri negarawan yang baik," tambahnya.

Meski dicopot sebagai pimpinan partai politik, Bupati Merauke tetap mengajak dan mengeluarkan seruan yang simpatik, itu karena dia memikirkan kepentingan masyarakat lebih utama dibandingkan kepentingan dirinya sendiri.

"Kalau dia provokatif maka akan merugikan orang banyak, jadi dia menghimbau pengikutnya supaya tenang dan tidak melakukan tindakan anarkis dalam membela dirinya, dan diselesaikan dengan cara normal dalam kehidupan bernegara dengan baik," kuncinya.

Prof Djo, demikian pakar ilmu politik penerintahan ini biasa disapa, juga mendorong perlunya perubahan undang-undang kepartaian yang menganut sistem sentralisasi. Dimana kebijakan pengurus partai di tingkat daerah masih diatur oleh pengurus di tingkat pusat atau nasional.

Mantan Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri (2010-2014) itu mengatakan bahwa partai politik di Indonesia masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan. Terutama terkait dengan relasi, hubungan relasi antara partai di tingkat nasional dengan pengurus tingkat lokal.

Menurutnya, pengurus partai di tingkat lokal kurang diberi kepercayaan oleh pengurus partai di tingkat nasional. Hal tersebut dikarenakan sistem kepartaian di Indonesia masih menganut corak yang sentralistik. Sementara bidang pemerintahan antara pusat dan daerah sudah maju menggunakan corak desentralisasi sedangkan partai politik masih bercorak sentralisasi.

Sistem tersebut menimbulkan fenomena di setiap momen pemilu dalam menentukan pemimpin nasional maupun daerah. Dimana pengurus partai ditingkat pusat masih memegang kendali atas kebijakan partai di daerah, berbeda dengan pemerintahan, Pemda sudah mulai ada desentralisasi yakni melimpahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah, sehingga kemudian daerah menjadi kreatif dan inovatif, bisa membangun.

"Kalau di kepartaian, yang berlaku sekarang sistem sentralisasi, ini menjadi problem sistem kepartaian kita semua ditentukan oleh DPP bukan di DPD. Contohnya pengangkatan para pengurus partai, contoh lagi dalam penetapan pasangan calon Kepala daerah, itu semua di tangan DPP di pusat," katanya dalam wawancara khusus, Jumat 17 Juli.

Prof Djohermansya juga menyebutkan bahwa ruang demokrasi di tingkat DPP juga masih kurang, sehingga sistem tersebut harus diperbaiki kedepannya. Partai harus melakukan disentralisasi kewenangan kepada pengurus di daerah.

"Di setiap kepengurusan kan kan ada forum, ada musda, rapat-rapat partai, berilah ruang gerak agar mereka bisa berlatih bagaimana apa yang terbaik untuk partai di daerah itu. Jangan pusat kemudian mengacak-acak partai di daerah atau pusat mengintervensi padahal aspirasi ditingkat nasional berbeda dengan aspirasi yang berkembang di daerah," katanya.

Salah satu pemicu terjadinya konflik di internal partai jika salah satu kepemimpinan elit parpol ditingkat DPP ada yang belum dewasa (berdemokrasi). Partai akan selalu diwarnai oleh konflik antara pengurus di daerah dengan pusat.

"Seperti fenomena kasus di Kabupaten Merauke, pencopotan Bupati Merauke sebagai Ketua DPD partai merupakan cerminan dari sentralisasi keputusan DPP. Untungnya ada kepengurusan partai yang kebetulan juga jadi Bupati di sana yang bijaksana, sehingga tidak frontal menghadapi tuntutan pendukung partainya, tetapi dia bisa menenangkan pengikutnya, menenangkan masyarakatnya," katanya.

Konflik internal parpol tersebut jika tidak ditangani dengan baik dan menimbulkan perlawanan bisa saja terjadi keos di Kabupaten Merauke antar simpatisan. Hal tersebut kata dia dapat mengganggu stabilitas di tanah Papua sendiri, pasalnya, kabupaten Merauke merupakan salah satu daerah center of power di Papua.

"Papua itu ada Jayapura dan Papua Selatan ada Merauke, dan itu harus dijaga dengan baik. Kalau ada masalah harus duduk bersama, di Papua itu ada cara berunding namanya duduk di Para-para kalau bahasa Jakarta namanya duduk di balai-balai, duduk bersama membahas apa persoalannya, di DPP melihat apa masalahnya kemudian DPD menjelaskan, dan melakukan perbaikan kedepannya, nah kalau memang rasanya tidak ada alasan kuat maka lebih baik dilakukan rekonsiliasi sehingga nanti partai tidak merugi ketika masuk Pilkada atau Pemilu," ungkapnya.

Pakar otonomi daerah Indonesia itu juga menyarankan jika dalam internal partai politik terjadi konflik dan ada kebijakan pusat yang harus dikoreksi dan dijalankan oleh pengurus daerah harus diselesaikan bersama-sama.

Bupati Merauke Frederikus Gebze

"Lebih daripada itu undang-undang kepartaian kita harus di lperbaiki, keputusan di daerah baiknya diputuskan oleh daerah secara demokrasi jadi DPP tinggal melantik dan melegalisasi. Pengurus yang memiliki suara terbanyak dan terbaik, merekalah yang menjadi pengurus partai, dengan begitu akan lebih membuka ruang bagi daerah seperti halnya otonomi daerah," sarannya.

Di Indonesia, pengurus partai di daerah bergantung pada keputusan pengurus pusat. Ketergantungan jika terus dipelihara tidak baik bagi Partai, Partai di tingkat daerah sudah harus latihan diberikan kesempatan dan peluang kemandirian memilih calonnya sendiri yang terbaik buat mereka, setiap kebijakan dan keputusan jika sejalan dengan aturan organisasi pengurus DPP hanya merestui.

"Paradigma kepartaian kedepannya harus dilakukan, persoalan jabatan partai itu, kan mereka juga mengangkat jabatan kepala daerah sehingga posisi pengurus partai sangat strategis,  jadi untuk menempatkan pengurus di partai itu juga harus ditimbang juga posisinya di pemerintahan daerah. dijaga kewibawaannya, kalau tidak akan tidak nyaman di mata masyarakatnya, masyarakatnya juga fanatik memperjuangkan dia, jadi dampaknya partai akan merugi," urainya lagi

"Kebijakan dan keputusan baiknya jangan terpusat di pengurus tingkat nasional, tetapi harus mulai pelimpahan kewenangan ke daerah termasuk dalam memilih pemimpin partai. Kalaupun dipilih harus ada musda daerah, kalaupun ada apa-apa harus juga ada hak pembelaan diri, itu sistem partai modern," sambungnya.

Partai kata dia harus dibuat modern, sama halnya sistem pemerintahan yang menganut undang-undang otonomi daerah, jangan bersifat tradisional. (Ar)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama