Memilih Dengan Cerdas, Bukan Selembar “Kertas” Tapi “Kualitas”

 


Oleh : Fory Armin Naway

(Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UNG 

dan Ketua PGRI Kab. Gorontalo)

LAHIRNYA iklim politik yang sehat di era demokrasi saat ini, menjadi dambaaan dan harapan masyarakat. Menjadi harapan dan dambaan, karena demokrasi yang sehat, sudah pasti akan berdampak terhadap tumbuhnya nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertumpu pada kedamaian, kesejukan dan penuh dengan nuansa saling menghormati dalam perbedaan. 

Demokrasi adalah jalan yang memungkinkan bagi warga negara, menjadi berdaya, bermartabat dan berdaulat. Oleh karena itu, dalam setiap perhelatan demokrasi, hadirnya masyarakat pemilih yang cerdas menjadi sebuah keharusan yang tak terelakkan.  

Pertanyaannya, model masyarakat seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai pemilih cerdas dalam setiap pesta demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, telah banyak para pakar, merumuskan dan mengidentifikasi ciri khas masyarakat yang cerdas dalam memilih, diantaranya adalah kelompok masyarakat atau individu yang selalu mengedepankan aspek rasionalitas dari pada emosional dalam memilih calon pemimpin.  

Model individu yang cerdas dan rasional memiliki ciri-ciri, diantaranya, sebelum menentukan pilihan ia memiliki keinginan yang kuat untuk mengetahui profil calon pemimpinnya berdasarkan latar belakang pendidikan, pekerjaan, rekam jejak dan prestasi calon pemimpin di masyarakat. Selain itu, model individu pemilih yang rasional, adalah mereka yang memiliki keingintahuan yang besar terhadap visi-misi para calon pemimpin. Bahkan tidak hanya sekadar ingin tahu, tapi juga melakukan analisis, kajian dan menelaah, sejauhmana dampak dari visi-misi para calon pemimpin, ketika sang pemimpin itu kelak  duduk di kursi kekuasaan. Mana yang dianggapnya memiliki visi-misi yang terbaik, itulah calon pemimpin yang ia pilih.  

Menurut mantan Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo, seperti dilansir JPNN.com (10/1/2018), ciri-ciri pemilih cerdas adalah, pemilih  yang mampu menggali rekam jejak calon-calon pemimpin yang ada, rajin mencari informasi dan mempelajari program-program, visi-misi yang ditawarkan pada masyarakat.  Menurut Tjahyo Kumolo yang kini menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN/RB), pemilih cerdas adalah pemilih yang tampil obyektif, menilai calon pemimpin berdasarkan rasio dan logika akal sehatnya sebagai warga negara. 

Model pemilih yang cerdas, cenderung tidak melihat calon pemimpin yang dipilihnya berdasarkan suku, agama, ras, keturunan dan sebagainya. Pemilih model seperti ini juga,  memandang kepentingan bangsa, negara atau daerah,  jauh lebih penting ketimbang faktor lainnya. Bahkan ia tidak perduli dengan hubungan kekerabatan sekalipun.  Yang penting bagi individu seperti ini, adalah kapasitas, kemampuan, integritas dan kredibilitas seorang calon pemimpin. 

Ciri khas masyarakat yang cerdas lainnya, yang lebih spesifik dan ideal dalam membangun iklim demokrasi yang sehat,  adalah mereka yang konsisten melawan fenomena “Pragmatisme politik”, yakni  tidak mudah terbuai apalagi mudah dibujuk dengan pemberian uang yang tidak seberapa jumlahnya. Memilih dengan cerdas, salah satu tolak ukurnya adalah memilih bukan karena “kertas” tapi “kualitas” calon pemimpin. 

Logika berpikir masyarakat yang cerdas adalah, jika seorang calon pemimpin  berusaha “membeli” suara rakyat, maka dibalik itu, terdapat indikasi adanya i’tikad yang tidak baik setelah ia kelak jadi pemimpin. Meskipun pemberian itu diterima, namun ia justru tidak akan memilih calon pemimpin tersebut di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bagaimanapun, calon pemimpin yang berusaha membujuk dan membeli suara rakyat pada perhelatan demokrasi, adalah calon pemimpin “transaksional” yang kelak dapat dipastikan, tidak akan maksimal dalam memikirkan rakyatnya, melainkan cenderung berpikir bagaimana “mengembalikan modal” yang telah ia keluarkan dalam proses sebelum meraih kekuasaan.

Ciri khas masyarakat yang cerdas lainnya, adalah, mereka yang tidak mudah terprovokasi, terhasut atau terkontaminasi  oleh manuver-manuver politik yang bernuansa fitnah, saling menjatuhkan, menghujat dan sarat dengan ujaran kebencian. Dalam konteks ini, seorang pemilih yang cerdas, adalah pemilih yang mampu memilah dan membedakan, mana calon pemimpin yang memiliki visi-misi yang jelas, mana calon pemimpin yang lebih cenderung bermanuver dengan cara-cara yang tidak lazim. 

Memilih calon pemimpin bagi masyarakat atau individu  yang cerdas, pada akhirnya adalah menyandingkan, membandingkan dan kemudian menentukan pilihan. Menyandingkan dan membandingkan, berarti melihat dengan logika berpikir yang sehat, mana calon pemimpin yang memiliki “nilai lebih” dari semua deretan calon pemimpin yang ada, baik dari aspek pendidikan, rekam jejak, prestasi, kepribadian dan yang terpenting adalah, kiprah sang calon pemimpin, jasa dan jejak karya dan karsa selama ini di tengah masyarakat. 

Kesimpulannya, bagi masyarakat yang cerdas, memilih calon pemimpin, bukan karena faktor dan tendensi lain yang cenderung emosional, tapi karena memilih atas dasar panggilan dan idealisme bagi kemaslahatan bersama dan bagi masa depan bangsa maupun daerahnya secara menyeluruh. 

Di era demokrasi saat ini, keberadaan individu dan kelompok masyarakat yang cerdas dan rasional dalam memilih calon pemimpin, tidak hanya dibutuhkan dalam proses mewujudkan iklim politik yang sehat dan mencerahkan, tapi lebih dari itu, pemilih yang cerdas sangat penting dalam kerangka mewujudkan kemajuan dan masa depan bangsa atau daerah  ke arah yang lebih baik. 

Indikator kesuksesan suatu pesta demokrasi, tidak hanya sekadar mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bagi daerah dan bangsa ini, tapi lebih dari itu, tolok ukur keberhasilannya, dapat dilihat dari sejauhmana tingkap kualitas, kapasitas dan kapabilitas seorang pemimpin yang dihasilkan yang kelak mampu membangun sebuah perubahan dan kemajuan bagi negara atau daerah yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik. (****)  


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama