Pilkada Serentak (Lamongan), Terperangkap Bias Cara Berfikir?


Oleh: W. Masykar

"Pemimpin harus praktis dan realistis, namun harus berbicara bahasa visioner dan idealis." - Eric Hoffer

Tak ada pemimpin  yang sempurna, disinilah pentingnya memilih pemimpin yang lebih baik dari yang baik.

Plato memberi masukan dalam memilih pemimpin atas dasar kebaikan dan kearifan, yang melebihi kharismanya, yang mempunyai keunggulan intelektual.

Bahkan, Aristoteles sangat percaya kepemimpinan adalah keunggulan karakter, atau kebajikan moral, yang lahir dan datang dan terbangun dari kebiasaan dan perilaku yang dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan kesehariannya.

 Merek tidak akan memiliki imajinasi moral dan pengalaman hidup yang dibutuhkan untuk melahirkan (perasaan) sensitivitas moral dan empati (kesetiakawanan sosial) yang dapat mendorong untuk bertindak mewujudkan keadilan bagi semua. Jika tidak memiliki kebiasaan hidup, berjalan, bekerja, mendengar, bermain, bergaul dengan rakyat (warga masyarakat).

Tapi, Aristoteles,  memilih pemimpin tidak hanya yang memiliki kebajikan moral, akan tetapi, yang mewakili kita, bagian dari kita dan salah satu dari kita. 

Memilih pemimpin juga untuk membangkitkan imajinasi moral kita, mengasah ketajaman rasa sensitivitas moral kita,  perasaan empati, dan mampu menerjemahkannya ke dalam  perilaku nyata sehari-hari.

Tidak ada pemimpin yang sempurna di dunia ini. Namun, yang ada pemimpin yang lebih baik dari yang baik. 

Bagi kita, yang lebih beruntung secara intelektual dan mungkin ekonomi, misalnya, tidak ada pilihan lain selain mendengarkan apa yang dirasakan oleh mereka yang tidak seberuntung kita. Jika kita tidak sensitif terhadap kebutuhan dan keinginan mereka (rakyat/warga) maka, hampir pasti pilihan kita akan salah.

Untuk dapat memilih pemimpin yang baik saat pemilu, atau pilkada seperti saat ini, kita harus menyadari akan selalu ada bias kognitif, atau kesalahan sistematis dalam cara berpikir. Bias kognitif dapat mengaburkan penilaian kita, ketika membuat keputusan untuk memilih pemimpin.

Sebagai contoh, munculnya kecenderungan seseorang untuk mencari bukti-bukti yang sesuai dengan pendapat pribadinya tanpa mencari bukti-bukti yang menegasikannya disaat menilai seseorang. Kesalahan berpikir semacam ini seringkali terjadi pada kita. Contoh lain, apabila kita menyukai salah satu calon bupati, misalnya maka kita akan mencari kebaikan-kebaikan yang ada dalam diri sang calon, dan tidak diimbangi dengan menggali kekurangan atau kelemahan yang juga di miliki. Intinya, fokus kita lebih pada mencari informasi berdasarkan apa yang kita yakini dan apa yang kita sukai, dan cenderung menolak informasi yang sebaliknya. 

Kita selalu mengelu elukan kepala daerah yang menurut kita baik, karena kebetulan kita mendukung dia.  Sebaliknya, seberapa sering kita langsung membenci mereka juga hanya karena mereka sekali saja membuat kesalahan?

Memberi predikat baik atau buruk kepada seseorang hanya karena kesan pertama kita dengan orang. 

efek Halo dan Horns, sangat berbahaya karena cara kita menilai seseorang tidak adil, tidak seimbang.

Efek Halo dan Horns ini dapat membuat kita memilih orang yang salah! karena kita sudah terlanjur menanamkan rasa suka yang berlebihan atau sebaliknya terlanjur membenci yang berlebihan.

Sudut pandang lain, misalnya sang Calon pemimpin itu memiliki muka yang terlihat sabar, akan langsung didefinisikan sebagai orang baik. Walau kalimat tersebut mungkin saja benar berdasar pengalaman kita, tidak tertutup kemungkinan juga kalimat tersebut salah! Dan pada titik ini, kita terperangkap pada bias asosiasi ketika menilai atau memandang seseorang (kandidat calon pemimpin).

Dalam masa kampanye pemilihan kepala daerah, seperti saat ini, kita mungkin saja menemukan opini atau mendengar kabar atau mendapat informasi yang mendiskreditkan seseorang politikus (kandidat) tertentu yang secara kebetulan kandidat tersebut adalah pilihan kita disaat waktu pencoblosan, sementara pada waktu yang sama,  mengagungkan politikus yang tidak kita sukai.

Maka, ketika itu terjadi, jangan cepat untuk marah! Opini atau berita tersebut memang mungkin saja ditulis untuk menyerang seseorang atau mendiskreditkan seseorang. Adanya disinformasi yang menjadikan kita tak jarang langsung meyakini dan menelan mentah mentah informasi yang sepihak. 

Dan, pada titik ini akan memudahkan kita terperangkap pada menjatuhkan pilihan yang (hampir) salah!.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama