Lanjutan Sidang NA; Dari Pemeriksaan Saksi Tidak Terbukti NA Terima Suap Dan Gratifikasi

MAKASSAR (wartamerdeka.info)  - Sidang perkara gratifikasi dan penyuapan dengan terdakwa Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) nonaktif Nurdin Abdullah  kembali digelar dengan menghadirkan sejumlah saksi dari pihak pengusaha (kontraktor) dan pejabat Bank Sulselbar.

Seperti sidang-sidang sebelumnya, dari pemeriksaan para saksi,  Jaksa masih belum bisa membuktikan secara hukum bahwa NA telah menerima gratifikasi atau suap.

"Bantuan dana pembangunan masjid dan bantuan sosial (bansos) yang jumlahnya mencapai Rp 1 miliar dari para saksi yang diperiksa di pengadilan tidak ada satupun yang bisa dipakai untuk membuktikan bahwa NA telah menerima gratifikasi dan atau suap," ujar Kuasa Hukum NA, Amran Hanis, kepada wartawan, hari ini.

Malah, menurut Direktur Utama Bank Sulselbar, Amri Mauraga di hadapan Hakim Ketua, JPU KPK, Kuasa Hukum NA, serta seluruh peserta sidang di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Kamis (5/8/2021), pemberian Dana CSR senilai Rp400 juta untuk pembangunan masjid di Kawasan Pucak Maros telah berjalan sesuai prosedur. 

Ada SK Direksi yang menunjuk suatu tim atau komite yang telah melakukan verifikasi.

“Jadi suatu waktu kami ketemu NA, sekitar November 2020 di Rujab. Dia bilang, apakah masjid memungkinkan menggunakan Dana CSR? Saya jawab memungkinkan sepanjang sesuai dengan ketentuannya,” kata Amri Mauraga.

Amri menyebut, Dana CSR dapat dicairkan jika telah menyetor proposal, RAB, dan disertai tanda tangan pengurus masjid serta nomor rekening yayasan masjid. Setelah itu, barulah tim melakukan verifikasi dan tim sejumlah 4 orang telah melakukan kunjungan lapangan (survei).

Dari RAB senilai Rp950 juta yang diajukan pengurus masjid, Amri mengakui pihak Bank Sulselbar hanya mampu memberikan sebanyak Rp400 juta.

“Pada 8 Desember 2020, kami akhirnya sepakat memberikan Rp400 juta langsung ke yayasan masjid, Saya tidak tahu pasti tim yayasannya, tetapi saya ingat pak Suwardi sebahai ketua,” jelasnya.

Amri melanjutkan, pihaknya mengetahui jika pembangunan masjid tersebut berada di atas tanah NA yang diwakafkan. Apalagi, fasilitas rumah ibadah di desa tersebut sangat terbatas.

“Kami tahu juga lokasinya. Pemukiman warga jauh dengan masjid. Masjid terdekat berjarak sekitar 3 kilometer. Jadi dana CSR ini tidak ada paksaan, murni untuk pembangunan masjid,” tegasnya.

Kuasa Hukum NA, Amran Hanis mengatakan, sudah jelas dari keterangan saksi bahwa uang Rp400 juta murni dari Dana CSR Bank Sulselbar dan telah melalui prosedur yang tepat.

“Ada tim yang ditunjuk, mereka meneliti proposal itu sampai melakukan survei ke lapangan. Setelah dianalisa, kemudian dirapatkan dan diputuskan bersama selurut peserta rapat direksi,” jelasnya.

Arman Hanis juga menekankan, jika pemberian dana langsung ke rekening yayasan, bukan ke Nurdin Abdullah atau ke orang lain. “Kesaksian dan fakta persidangan hari ini sudah sangat jelas,” tandasnya.

Kesaksian Haeruddin

Sedangkan salah seorang pengusaha konstruksi Haeruddin yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang suap dan gratifikasi Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif Nurdin Abdullah mengaku jika sumbangannya sebesar Rp1 miliar untuk masjid murni sedekah tanpa mengharapkan imbal proyek.

"Saya tidak pernah mengerjakan proyek Pemprov Sulsel dan sumbangan ke masjid itu murni sedekah untuk amal, bukan mengharap proyek," ujar Haeruddin di Pengadilan Tipikor Makassar, Kamis.

Ia mengatakan sumbangan pembangunan ke beberapa masjid adalah bentuk sedekah untuk memenuhi kebutuhan sarana ibadah masyarakat setempat.

Haeruddin yang merupakan pemilik PT Lompulle dengan tegas mengaku tidak pernah mengerjakan proyek di lingkup Pemprov Sulsel. Apalagi jika disebut memiliki hubungan bisnis atau utang piutang dengan Nurdin Abdullah.

"Kalau proyek Pemprov tidak pernah, kalau di Soppeng iya pernah. Pada saat itu kan ada lelang dan kami ikut di LPSE. Tidak ada pembicaraan juga sebelumnya dengan Pak NA," katanya.

Haeruddin di hadapan Ketua Majelis Hakim Ibrahim Palino mengaku mengenal satu sama lain dengan Nurdin Abdullah yang sekarang jadi terdakwa.

Tim jaksa penuntut umum (JPU) yang mendengar pengakuan itu pun bertanya kepada saksi, apakah pernah dimintai langsung oleh terdakwa untuk menyumbang pembangunan masjid.

"Betul, saya pernah ketemu dengan pak Nurdin di Pemprov dan itu pertemuan tidak sampai 10 menit kemudian pamit. Pak Nurdin menawarkan saya untuk menyumbang masjid dan saya pun langsung iya kan Rp1 miliar," kata Haeruddin.

Dia menuturkan, uang yang dijanjikan akan disumbangkan untuk pembangunan masjid itu diserahkannya langsung kepada Syamsul Bahri yang tidak lain adalah ajudan dari Nurdin Abdullah.

"Saya serahkan secara tunai kepada Syamsul Bahri. Setelah itu saya tidak konfirmasi lagi karena saya yakin uang itu digunakan untuk masjid," tambahnya.

Sementara itu, terdakwa Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah meluruskan sejumlah keterangan saksi, khususnya terkait pertemuannya dengan Haeruddin di kantor gubernur.

NA menjelaskan, pertemuannya untuk memberikan apresiasi kepada Haeruddin atas pekerjaan yang telah diselesaikan di Kabupaten Soppeng dengan sangat baik.

"Saya tahu Pak Haeruddin adalah orang dermawan dan sosial. Saat itu saya bilang kalau memang ikhlas dan mau beramal. Saya lagi bangun masjid di Kompleks Unhas yang anggarannya mencapai Rp25 miliar. Beliau iya kan," terangnya.

Sebelumnya, Nurdin Abdullah didakwa telah menerima uang suap senilai 150.000 dolar Singapura (sekitar Rp1,596 miliar) dan Rp2,5 miliar dari terdakwa Agung Sucipto.

Nurdin Abdullah selaku pejabat negara diduga menerima suap untuk memuluskan kontraktor Agung Sucipto dalam memenangkan proyek infrastruktur Jalan Palampang-Munte-Botolempangan poros Bulukumba-Sinjai, Sulawesi Selatan.

Pernyataan Jaksa

Sementara itu, terkait pernyataan Jaksa KPK Andri Lesmana seusai persidangan yang menyebut bantuan masjid dari para kontraktor serta bansos pada dasarnya merupakan bagian dari modus gratifikasi Nurdin Abdullah sebagai seorang pejabat, dibantah oleh Arman Hanis .

"Bantuan untuk pembangunan masjid dan bantuan sosial untuk penanggulangan Covid-19 itu tidak bisa dikatakan sebagai pemberian gratifikasi," tandasnya.

Apalagi sudah jelas sesuai fakta persidangan bahwa bantuan itu memang tidak digunakan untuk kepentingan pribadi NA.

Menurut Amran, mestinya NA mendapat apresiasi karena telah berjuang memotivasi para pengusaha agar peduli terhadap kegiatan pembangunan masjid dan kegiatan sosial terkait penanganan covid demi untuk kepentingan masyarakat banyak. (Aris) 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama