JAKARTA
(wartamerdeka.com) - Luar biasa memang. Hanya untuk biaya pendampingan dan
pembinaan BLP (Bantuan Langsung Pupuk), Subsidi Benih dan BLBU (Bantuan
Langsung Benih Unggul) yang dihabiskan kedua perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) ini mencapai Rp. 57.649.220.000,-. Tapi anehnya,
para petani tak kunjung sejahtera. Bahkan, apa yang didampingi dan dibina dalam
prakteknya, rasanya tak pernah jelas dan transparan dilakukan. Yang didampingi dan
siapa dibina dan kapan, serta dimana, sangat sulit diakui sebagai pekerjaan
yang jujur dilakukan untuk rakyat.
Jelas saja hal ini membuat
logika berpikir masyarakat menjadi terganggu, karena nilainya cukup fantastis. Karena
dapat dibayangkan, jika pemborosan itu diberikan sebagian ke rakyat miskin,
akan banyak yang terbantu. Bahkan sebagian kalangan menilai, jangan-jangan
dijadikan banca’an pihak-pihak tertentu, yang ditengarai sebagai ‘drakula’.
Bagaimana tidak!
Kementerian Pertanian RI, telah menggelontorkan anggaran total senilai Rp.
1.305.988. 974.000,- untuk Program Subsidi Pupuk tahun 2009 bagi masyarakat
tani, melalui PT Pertani (Persero) dan PT Sang Hyang Seri (Persero), tapi buktinya,
para petani masih saja menjerit dan miskin. Bahkan anehnya, beras imporpun
makin lama makin meningkat masuk dari Thailand .
Setidaknya, itulah hasil
investigasi Tim Investigasi SNP, menindaklanjuti perbincangan masyarakat, yang
belakangan ramai dibicarakan pasca reshuffle.
Menanggapi hal tersebut,
D. Pantas HS, Direktur Eksekutif Lespek (Lembaga Studi dan Pengkajian Ekonomi
Kerakyatan) Indonesia, mengatakan, masuk akal, jika ada anggapan bahwa anggaran
sebesar itu, bisa jadi ikut disedot ‘drakula’.
Menurutnya, sangat
ironis, jika masih ada praktek-praktek curang yang ‘mengemplang’ uang rakyat, dan
dilegalkan regulasi secara terstruktur. Padahal, perusahaan BUMN, seharusnya
menjalankan tanggungjawab sosial yang berorientasi pada rakyat
Tak urung, pemerhati
ekonomi kerakyatan ini menilai, agar terhadap PT Pertani dan PT SHS dilakukan
audit sistem dan implementasi program, oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Negara
BUMN, bahkan bila perlu Dewan Perwakilan Rakyat RI.
“Saya kira kedua perusahaan itu perlu diaudit.
Bukan lagi audit BPK. Tapi audit sistem dan program, agar akuntabilitasnya diketahui
secara jelas,” tandasnya.
Sebab jika tidak,
praktek seperti ini akan terus-menerus terpelihara, dan anggaran tersebut tetap
tidak akan pernah efektif dan menjadi efisien, sekalipun jumlah anggaran makin
besar di tahun-tahun berikutnya.
Khusus
BLP
Diketahui, dari total
anggaran pendampingan dan pembinaan tersebut, Rp 26.714. 417.000,- khusus dialokasikan
untuk anggaran pendampingan dan pembinaan BLP. Sedangkan dari jumlah, PT
Pertani kebagian Rp. 15. 819.821.000,-, dan PT SHS hanya menikmati Rp.
10.894.586.000,-.
Selain itu, untuk biaya
Subsidi Benih, ada lagi biaya pendampingan dan pembinaan sebesar Rp. 13,1
miliar. Belum lagi untuk sarana prasarana dan monitoring sebesar Rp. 18 miliar.
Belum lagi untuk
pengawasan subsidi pupuk, menelan biaya Rp. 19.138.935.000,- untuk program
subsudi pupuk di tahun yang sama.
Sedangkan untuk Subsidi
Benih dan BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul), biaya pembinaan dan
pendampingan sebesar Rp. 17,7 miliar.
Adapun besarnya Belanja
Subsidi Pupuk BLP melalui PT Pertani sebesar Rp. 536. 970.438.000,- dan PT SHS
kebagian Rp. 398.135.357.000,-, dengan perhitungan total menjadi Rp.
935.105.795.000,-.
Menyinggung hal
tersebut, Ir. Anang Prihantoro, anggota DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah RI),
yang juga Ketua Umum Sertani (Serikat Tani Indonesia), dalam sebuah wawancara
mengatakan, demikian besarnya biaya yang digelontorkan Pemerintah untuk
membantu masyarakat tani, tapi masyarakat petani tetap saja melarat dan miskin.
Menurut Anang, orang
yang melakukan pendampingan dan pembinaan, justru perlu dimonitor. “Justru
mereka yang katanya ditugaskan melakukan pendampingan dan pembinaan, perlu
dimonitor dan diperiksa kinerjanya,” tegasnya.
Sebab, kabar yang beredar, praktek pendampingan dan pembinaan bisa saja dilakukan secara
sampling, tanpa harus bersusah payah dan keluar biaya untuk daerah lainnya.
Sementara untuk jatah daerah lainnya, masuk kantong pihak tertentu.
“Logikanya bisa saja
khan? Sebab kalaupun hasil pendampingan didokumentasikan atau difoto, toh tidak
ada yang pernah tahu persis, dimana itu dilakukan. Yang penting dibuat berita
acaranya. Khan gitu,” pungkas Anang setengah selidik.
Yang pasti, biaya
pendampingan dan pembinaan yang fantastic tersebut, dalam rangkaian kegiatannya,
ada yang terintegrasi dalam satu lokasi dan satu momen. Tapi, biaya
dialokasikan secara utuh dan sendiri-sendiri, sehingga juga terindikasi
pemborosan uang rakyat. (DANS)