Berkas Tahap Dua Perkara Penipuan, Penggelapan Dan TPPU Dari Polda Metro Jaya Dan Polres Jakarta Utara Belum Dilimpahkan Ke JPU


JAKARTA (wartamerdeka.info)  - Kinerja penyidik Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Utara dalam menangani perkara penipuan penggelapan dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) terkesan melemah.

Sebab sejumlah kasus penipuan, penggelapan dan  TPPU ysng sedang diangani saat ini terbengkalai atau tak ditindaklanjuti oleh penyidik.

Fatalnya lagi perkara perkara yang disidik itu macet setelah P-21 yang artinya telah memenuhi syarat formiil dan materiil untuk disidangkan. Tapi tetap tidak dilimpahkan ke tahap dua (penyerahan berkas dan tersangka) dari penyidik ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejati atau Kejari setempat.

Sedangkan terpidana yang perkaranya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasti) belum juga dijebloskan ke dalam jeruji besi oleh eksekutor kejaksaan.

Berbagai alasan dikemukakan pihak terkait, sampai sampai disebutkan lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan negara (rutan) enggan menerima tahanan masa pandemic covid-19 saat ini.

Alasannya, narapidana atau tahanan yang baru masuk itu dikhawatirkan menularkan virus corona. Padahal setiap tahanan atau narapidana yang dipindahkan dari lapas satu ke lapas lainnya terlebih dahulu diperiksa kesehatannya. Tentu saja tersangka atau terpidana yang positif corona tidak dimasukkan ke dalam lapas/rutan.

“Saya tidak yakin itu alasan penyidik dan eksekutor untuk tidak menjebloskan ke dalam tahanan terpidana. Demikian juga penyidik, saya yakin alasan tak mentahapduakan seorang tersangka yang perkaranya sudah P-21 bukanlah sepenuhnya karena lapas/rutan menolak. Tetapi karena ada alasan lain yang “abu-abu”,” ujar seorang praktisi hukum yang enggan ditulis jati dirinya kepada Suara Karya.id di Jakarta, Sabtu lalu (20/6/2020).

Saking abu-abunya alasan itu dikaitkanlah dengan penyakit paru-paru. “Paru-paru kan rentan dengan covid-19. Maka dalam surat sakit disebutkanlah penyakit paru-paru diderita tersangka yang hendak ditahapduakan itu.

Karenanya, tersangka kasus penipuan, penggelapan dan TPPU atas nama Robianto Idup, yang sempat mau ditahapduakan Polda Metro Jaya ke penuntut umum Kejati DKI/Kejari Jakarta Selatan, ahirnya ditunda.

Dilayangkan surat dengan sakit paru-paru ke penyidik, alasan sakit ini pula sampai ditunda acara tahap duanya  beberapa pekan dengan pertimbangan pandemi covid 19.

Alasan tersangka Robianto Idup hingga ditunda pentahapduaan pada masa pandemik covid tentu saja kemanusiaan dan keadilan bahkan HAM. Tetapi sesederhana itukah atau hanya satu sisikah keadilan diperhatikan?

Keadilan bahkan tambah kepastian hukum seharusnya diperhatikan pula dari sisi saksi korban, Herman Tandrin. Saksi ini sudah menderita rugi Rp 22,5 miliar lebih masih harus ditawari ketidakpastian hukum. Herman Tandrin sudah pusing tujuh keliling memikirkan nasib karyawannya, mempertahankan perusahaannya yang telah dirugikan Rp 22,5 miliar lebih masih harus dipaksa bersabar dan bersabar lagi untuk tahap dua saja.

Padahal, saksi ini berperan, menangkap tersangka yang sempat melarikan diri, masuk red notice sampai akhirnya Robianto Idup menyerahkan diri di Denhaag (Belanda). Perjuangan saksi bukanlah pekerjaan ringan sebagaimana yang harus dilakukan Herman Tandrin.

Hanya berkat kerja kerasnyalah penanganan kasus tersebut (Robianto Idup) bisa sampai tahap dua. Masihkah akan berlama-lama lagi tahap dua? Tidakkah rasa keadilan dan kepastian hukum juga harus diberikan kepada saksi korban yang juga telah membantu pemerintah dalam hal penyediaan lapangan kerja? Semoga ini diperhatikan pihak terkait sehingga kasus Robianto Idup dapat segera digelar persidangannya di Pe gadilan Negeri Jakarta Selatan.

Rasa keadilan untuk korban penipuan dan demi kepastian hukum juga perlu dikedepankan dalam kasus penipuan dan penggelapan dengan tersangka, Abdullah Nisar Assegaf alias ANA. Kasusnya sudah P-21 di Kejari Jakarta Utara awal 2019 lalu. Namun hingga kini tidak kunjung bisa ditahapduakan. Sebab ketika hendak ditahapduakan ke JPU Teddy dari Kejari Jakarta Utara, ANA tidak memenuhi panggilan penyidik. Demikian pula panggilan berikutnya dan berikutnya lagi sampai akhirnya Polres Metro Jakarta Utara sejak penghujung September 2019 mencantumkan nama  Abdullah Nisar Assegaf sebagai tersangka pelaku penipuan dan penggelapan Rp 3,5 miliar di dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). 

“Polisi hanya bertemu dengan istri tersangka  bernama Fatimah Assegaf. Tersangka ANA tidak didapati di tempat (alamatnya,” ungkap pengacara Hartono Tanuwidjaja SH, MSi, MH, CBL yang menjadi penasihat hukum saksi pelapor.

Bagi saksi korban Deepak Rupo Chugani, tentu saja tak hanya status tersangka dan DPO disematkan kepada tersangka ANA. Selaku saksi korban yang dirugikan Rp 3,5 miliar lebih, Deepak tentu saja sangat berharap hukum yang berkeadilan dan berkepastian. Setelah berkas perkara dan tersangka ANA sendiri ditahapduakan, didakwakan kejahatan kemudian majelis hakim menjatuhkan hukuman keadilan dan kepastian hukum seperti itulah yang diharap saksi Deepak. Kalau memungkinkan dan jika dikabulkan majelis hakim selanjutnya mengajukan gugatan ganti rugi atas perbuatan ANA yang telah merugikan saksi korban.

Kasus tersebut berawal Deepak Rupo Chugani membeli sebidang tanah bersertifikat HGB No.372/Tebet seluas 1.225 m2 atas nama Zainuddin Olie seharga Rp 26,3 miliar terletak di Jl. Supomo, Tebet, Jakarta Selatan, yang sebelumnya milik Ny Samsidar yang dikenal mantan istri Walikota Jakarta Timur.

Tersangka ANA menyatakan siap menerbitkan sertifikat atas nama Deepak Rupo Chugani dengan biaya Rp 4 miliar. Deepak Rupo Chulani percaya kepada ANA, apalagi ANA menyerahkan counter chek Rp 4 miliar (sebagai jaminan). Belakangan ANA minta uang tambahan lagi Rp 3 miliar ke Deepak dan menjanjikan dalam tempo dua bulan sertifikat jadi. Ternyata counter chek ANA kosong, dan sertifikat pun tak kunjung terbit sampai saat ini.

Jika dihitung dengan bunga uang itu sejak diserahterimakan terhadap tersangka ANA, tentu saja yang harus dibayar tidak lagi Rp 3,5 miliar. Tetapi lebih dari itu. Boleh jadi sudah lebih dari Rp 4 miliar atau lebih kalau disesuaikan dengan kurs dolar AS sekarang ini," kata Hartono Tanuwidjaja. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama