SPIRITUALITAS EKONOMI; Penyelamat Yang Terpendam


Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia SSos MBA

(Sekretaris Bidang Kajian Ekonomi dan Industri PP KBPII)


Dampak pandemi covid-19 terhadap sektor ekonomi terbilang dramatis. Bahkan, negara-negara maju yang sejatinya memiliki kekuatan ekonomi besar, hari ini mulai bertumbangan satu demi satu. Amerika, Jerman, Prancis, Jepang, Korea Selatan hingga Singapura yang selama ini gagah-digdaya rupanya kedodoran dalam mencegah diri mereka masuk ke jurang krisis. 

Pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut sudah berada di titik minus. Sebagai contoh, pada kuartal 2 kemarin, pertumbuhan ekonomi Jerman minus 10,1%. Bahkan, Amerika minus 32,9% di kuartal yang sama.

Bagaimana dengan Indonesia? Mengapa pertumbuhan ekonomi bangsa ini tidak se-anjlok Amerika, Jerman dan yang lainnya? Disinilah pertanyaan menariknya. Sebagian besar ekonom sepakat bahwa bangsa ini memiliki dewi fortuna yang selama ini berkontribusi menjaga pertumbuhan ekonomi, baik dalam kondisi stabil maupun krisis. 

Berkah tersebut adalah kekuatan konsumsi rumah tangga yang besar. Fortune ini tidak semuanya dimiliki oleh negara-negara maju sekalipun.

Kita mengetahui bahwa variabel konsumsi adalah faktor penyumbang PDB (dengan pendekatan pengeluaran), selain variabel investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor. Faktanya, selama ini konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang paling signifikan ekonomi bangsa ini. Meski dalam dua kuartal terakhir mengalami penurunan, namun realitasnya tidak se-anjlok negara-negara lain. 

Di saat variabel investasi dan ekspor jatuh terperosok, variabel konsumsi tidak mengalami kejatuhan yang terlalu curam. Variabel konsumsi memang mengalami penurunan saat pemberlakuan PSBB di berbagai wilayah. Namun, penuruan itu hanya bersifat sementara, karena penurunan tersebut di luar “fitrah” perilaku konsumsi masyarakat. Cepat atau lambat “bandul” konsumsi itu akan kembali kepada posisi moderatnya.

Saya ingin memfokuskan tulisan ini pada “sisi lain” dari variabel konsumsi tersebut.

Tulisan ini berbasis pada pemikiran dan pendapat saya bahwa separah-parahnya krisis ekonomi yang terjadi akibat force majeure sekalipun, konsumsi rumah tangga Indonesia sesungguhnya memiliki fondasi spiritual yang tidak mudah hancur, karena ia telah menjadi belief system yang mengendap dalam kesadaran manusia Indonesia dalam tempo yang tidak singkat. 

Perilaku konsumsi rumah tangga masyarakat Indonesia tidak semata-mata bersifat rasional (rational choice), melainkan juga spiritual. Jadi, meskipun faktor eksternal (pandemi, dll) berkontribusi pada penurunan konsumsi, namun penurunan tersebut hanya bersifat temporary dan ia memiliki batas bawah (bottom line) yang moderat. Kejatuhannya tidak akan terlalu ekstrem.  

Saya menamakan kekuatan terpendam tersebut sebagai “spiritualitas ekonomi”. Saya meyakini bahwa sejatinya ekonomi itu tetap berpusat pada kesadaran dan perilaku manusia. Sebagaimana asal bahasanya, oikos (rumah tangga) dan nomos (aturan), maka sejatinya seperti apa kondisi ekonomi akan sangat ditentukan oleh keputusan manusia dalam berkonsumsi. Untuk itu, kita perlu menaruh perhatian besar terhadap kesadaran dan motivasi konsumsi manusia/masyarakat di sebuah negara.

Menurut saya, setidaknya ada empat dimensi dari spiritualitas ekonomi yang dimiliki oleh manusia Indonesia. 

Pertama, dimensi virtue, yakni keyakinan bahwa dalam setiap kegiatan konsumsi (transaksi jual-beli) terdapat unsur “membantu” orang lain.

Kedua, dimensi giving, yakni keyakinan spiritual bahwa dalam kegiatan memberi sedekah/derma akan menghasilkan penambahan rejeki yang lebih besar.

Ketiga, dimensi confidence, yakni keyakinan positif (optimisme) akan kemampuan diri untuk tetap berpenghasilan di masa depan. Hal ini didukung pula oleh ketersediaan peluang sumber-sumber penghasilan non-formal yang terbuka.

Keempat, dimensi existence, yakni kebanggaan dan kebahagiaan eksistensial dalam setiap perilaku konsumsi. 

Keempat dimensi tersebut (akan saya eksplorasi lebih dalam di tulisan lain) menjadi fondasi sekaligus rasionalitas dari kekuatan konsumsi rumah tangga Indonesia yang selama ini berjasa besar dalam menciptakan stabilitas ekonomi bangsa ini. Analisis kualitatif ini juga barangkali dapat menjelaskan mengapa kegiatan konsumsi di masyarakat masih relatif hidup di tengah-tengah pandemi yang menakutkan.

Spiritualitas ekonomi ini bukanlah kontribusi dari negara, melainkan kontribusi dari institusi-institusi teologis dan kebajikan lokal yang selama ini menanamkan kesadaran dan keinsyafan pada manusia Indonesia akan makna dari kehidupan ekonomi. 

Spiritualitas ini seyogianya disadari oleh semua pihak, dan menjadi tanggungjawab bersama untuk menjaganya. Anggap saja ini menjadi “good news” bagi ekonomi Indonesia. Tapi, bukan berarti fondasi spiritual tersebut impossible untuk jebol. It is strong, but still possible to be broken!(Sudono Syueb/Mas).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama