![]() |
Oleh: Danny PH Siagian, SE., MM (Pemerhati Sosial Masyarakat dan Politik/ Dosen) |
Jika
seorang polisi, yang sudah disumpah dalam jabatan dan tanggungjawabnya sebagai
abdi Negara, terbukti sebagai tersangka tindak pidana, apalagi terkena pasal
pembunuhan berencana, bukankah seharusnya polisi tersebut sudah layak dipecat?
Lantas, apakah nantinya dapat selaras dengan sanksi berat dari Komisi Sidang
Kode Etik Profesi?
Dalam
kasus pembunuhan Alm. Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat alias Brigadir J,
yang tak lain adalah ajudan Kadiv. Propam Mabes Polri, Irjen Pol. Ferdy Sambo,
S.H., S.I.K., M.H, di rumah dinasnya sendiri, pada 8 Juli 2022, di Kompleks Polri,
Duren Tiga, Jakarta Selatan, jelas-jelas sudah melanggar Kode Etik Profesi.
Sebab
pembunuhan ini justru direncanakan oleh sang Kadiv. Propam, yang diketahui
memerintahkan ajudan lainnya, yaitu Bharada E (Bharada Eliezer) untuk menembak
Brigadir J, dibantu tersangka lainnya, Bripka Ricky Rizal, alias RR, dan
Asisten Rumah Tangga, Kuwat Ma’ruf. Bahkan menurut Bharada E dalam pengakuannya
di hadapan penyidik, Ferdy Sambo juga menembak 2 (dua) kali ajudannya Brigadir
J itu.
Dari segi tindak kriminal yang dilakukan, Ferdy
Sambo, bersama 3 (tiga) anak buahnya itu, telah dikenai ancaman Pasal 340
subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan hukuman pidana
maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, dan 20 tahun perjara. Tentu proses
hukum ini akan dilanjutkan nantinya ke pengadilan.
Jika kita membaca Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 340 KUHP mengatakan: Barang siapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama 20 tahun. Sedangkan pasal 338 KUHP berbunyi: Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Sedangkan pasal 55 dan 56 KUHP, tertuang dalam
Bab V tentang Penyertaan dalam Pidana, dikatakan di pasal 55: mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
dan pasal 56: mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Artinya, Ferdy Sambo dan kawan-kawannya telah
melakukan tindak kriminal, dengan ukuran kejahatan tingkat tinggi, dengan
hukuman berat. Tentu, hal ini akan menjadi pertimbangan terhadap pelanggaran
Kode Etik di tingkat Internal Polri.
Sebagaimana diketahui, Peraturan Kapolri No 7
Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik, dimana Perpol Nomor
7 Tahun 2022 merupakan gabungan Perkap Nomor 4 Tahun 2011 dan Perkap Nomor 19
Tahun 2012, merupakan peraturan yang menilai dan memberikan berbagi tingkatan
sanksi bagi para polisi yang melakukan pelanggaran etik.
Adapun Kode Etik Profesi Polri ini merupakan
norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis yang menjadi
pedoman sikap, perilaku, dan perbuatan pejabat Kepolisian dalam menjalankan
tugas, wewenang, tanggung jawab, serta kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa ruang lingkup dalam Kode Etik
Profesi Polri, yakni mencakup: (1). Etika Kenegaraan; (2). Etika Kelembagaan; (3).
Etika Kemasyarakatan; dan (4). Etika Kepribadian. Dalam kode etik ini memuat
sejumlah larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh anggota polisi.
Ditilik dari segi tingkat kejahatannya, hampir
seluruh unsur yang dilarang dalam Kode Etik, sudah dilanggar. Namun, apakah
masih ada celah bagi Ferdy sambo untuk dapat meringankan hukuman etik yang akan
dia terima.
Sementara proses yang dilakukan dalam Komisi
Etik akan dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan Sidang
yang terdiri atas: (1). Sidang KKEP; (2). Sidang KKEP Banding; dan/atau; (3).
Sidang KKEP PK. Baru kemudian Komisi Etik nantinya akan menetapkan Sanksi terhadap
Pelanggar Kode Etik.
Yang menjadi pertanyaan, apakah Ferdy Sambo
khususnya, akan mungkin melakukan banding, mengingat prestasinya yang turut
dalam penanganan Bom Sarinah, dan lain-lain? Dan apakah pertimbangan Komisi
Etik nantinya juga akan membuka peluang untuk itu?
Dari jenis sanksi yang diberikan, ini
tergantung pada skala pelanggaran kode etik yang dilakukan. Beberapa putusan
sidang diantaranya bisa berupa sanksi etika pembinaan rohani, mental dan pengetahuan
profesi; sedangkan sanksi administratif, bisa berupa mutasi bersifat demosi,
penundaan kenaikan pangkat dan penundaan pendidikan.
Pelanggaran kode etik bisa juga diberikan sanksi
yang paling tinggi, berupa penempatan di tempat khusus hingga pemberhentian
tidak dengan hormat atau PTDH, alias Dipecat. Terhadap terduga pelanggar yang
diancam dengan sanksi PTDH ini diberikan kesempatan untuk mengajukan
pengunduran diri dari dinas Polri atas dasar pertimbangan tertentu sebelum
pelaksanaan sidang kode etik.
Nah, ini yang justru masih akan kita lihat
perkembangannya, apakah Ferdy Sambo akan mengajukan pengunduran diri atau
tidak? Kendati, Ferdy Sambo mengundurkan diri, apakah pengunduran dirinya akan
direstui Kapolri? Dan, apakah Sidang Komisi Etik tidak akan memproses dirinya?
Seyogiyanya, untuk tetap menegakkan citra
kepolisian, Komisi Etik mestinya tetap menjalankan agendanya, dan memberikan
sikap dengan keputusan tetap. Supaya ada ketegasan yang diberikan melalui
sanksi, kendati dikatakan Ferdy Sambo mengajukan pengunduran diri. Komisi Etik
selayaknya pantas memecat Sang Irjen sadis itu.
Tentu, bukan bermaksud selalu memojokkan Sang
Irjen yang juga sudah mencatatkan prestasinya itu. Namun untuk memberikan
kepastian hukum dan keadilan, dari sisi persidangan Etik Polri, yang tidak
lepas dari payung hukumnya yaitu Undang-undang No.2 Tahun 2022 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Demikian juga secara berjenjang, terhadap 35
orang anggota polisi yang diduga melanggar kode etik profesi, dari 97 yang telah
diperiksa. Dari 35 personil tersebut sesuai dengan pangkat dan tingkat pidananya,
ada Irjen Pol 1 orang, Brigjen Pol 3 orang, Kombes Pol 6 orang, AKBP 7 orang,
Kompol 4, AKP 5, Iptu 2, Ipda 1, Bripka 1, Brigadir Polisi 1, Briptu 2 dan
Bharada 2 orang.
Maka sesuai dengan harapan Presiden Jokowi dan seluruh
elemen masyarakat yang masih menaruh harapan terhadap eksistensi Polri, dapat
melihat hukum ditegakkan dan berkeadilan. Baik dari segi pemberian sanksi
Etiknya, maupun sanksi pidana nantinya di pengadilan.
Dengan demikian pula, kepolisian akan kembali
dipercaya masyarakat sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat. Tentu,
dengan berbagai reformasi yang harus dilakukan di tubuh Polri, yang telah diberikan
banyak pihak. (Jakarta, 25/08/2022)
Editor: Aris Kuncoro