Sekilas Sejarah Tomakaka Berdaulat di Wilayah Afdeling Mandar

YM. Muhammad Idris DP, Tomakaka Adaq Ulumanda (Sekprov. Sulbar). YM. Sjahrir Tamsi, Tomakaka Adaq Jambu. YM. Andi Ilham La Mattulada, Wakil Arajang Binuang

Oleh : YM. Sjahrir Tamsi 

1. Latar Belakang Afdeling Mandar

Afdeling Mandar merupakan salah satu wilayah administratif pada masa Hindia Belanda yang meliputi wilayah Sulawesi Barat, khususnya Mandar. Afdeling adalah satuan pemerintahan setingkat kabupaten yang terdiri dari beberapa onderafdeling (setingkat kecamatan). Pada masa kolonial, Afdeling Mandar mencakup beberapa kerajaan tradisional yang berdaulat, termasuk kerajaan-kerajaan lokal seperti Binuang, Balanipa, Banggae, Pamboang, Sendana dan lain-lain.

Sebagai pusat dari Afdeling Mandar, wilayah ini dikenal karena tatanan politik dan sosialnya yang unik, yang tetap mempertahankan kedaulatan dan struktur kekuasaan tradisional meskipun berada di bawah pengaruh kekuasaan kolonial. Salah satu unsur utama dalam struktur ini adalah Tomakaka, yang memegang peran penting dalam pengaturan kehidupan masyarakat.

2. Pengertian dan Peran Tomakaka

Berdasarkan keterangan para sesepuh berumur 100 tahun yang masih hidup sampai sekarang, To Makaka berasal dari "Bahasa Dinri" (Bahasa Asli Kerajaan Binuang, kala itu).

To berarti Orang atau Manusia. Sementara Kaka berarti Kompeten, Cakap, Bijak, atau yang dituakan menjadi Panutan.

Dalam Aksara Dinri kata yang berawalan "Ma" menujukkan kata kerja : To Ma-kaka berarti Orang yang sedang dituakan atau orang yang dihormati menjadi panutan di suatu komunitas/wilayah. Juga dapat berarti Orang yang Sedang menjalankan kebijakan, ataupun Orang yang memiliki kecakapan dalam bertugas. (Andi Afrasing La Mattulada, 2023).

Di Mandar, "To" artinya orang, sementara "Maka" yang memiliki kompeten atau mampu seperti "maka kedzona", "maka pau-paunna" "maka gau'na" dapat berarti Orang yang mempunyai kompetensi atau kecakapan yang baik perilakunya, santun dalam bertutur kata, dan sopan dan bijak dalam bertindak. (Andi Muhammad Ilyas Paloncongi, 2023).

Kata To itu sendiri aslinya berasal dari "Bahasa Dinri" yang mirip dengan Bahasa Enrekang Kuno, Sulawesi Selatan. Mereka menggunakan kata To bukan "Tau" yang berarti Orang/manusia. 

Seorang Tomakaka memiliki fungsi sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas pemerintahan lokal, hukum adat, serta upaya menjaga kesejahteraan masyarakatnya.

Tomakaka tidak hanya dianggap sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual yang memiliki legitimasi dari adat istiadat serta warisan turun-temurun. Kekuatan seorang Tomakaka tidak hanya diukur dari kekuasaan administratif, melainkan dari kemampuannya untuk mengayomi dan menyatukan masyarakatnya berdasarkan nilai-nilai adat dan kepercayaan lokal.

Sementara Tomakaka sesungguhnya adalah Pimpinan kaum yang disebut Kepala Suku. Peran Tomakaka adalah pengayom yang berkewajiban memberi perlindungan kepada warganya. Ia wajib menegakkan keadilan sosial dan memberi rasa aman serta menjamin situasi dan kondisi masyarakat tetap harmonis.

Pada mulanya adalah kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Ketua suku yang bergelar "Tomakaka" dan belakangan dikenal sebagai Tomakaka (H. Hasan Dalle. 2023).

Keberadaan Tomakaka-Tomakaka itulah yang kemudian menata diri dan membentuk kerajaan di tanah Mandar yang terdiri dari :

7 kerajaan hulu yang disebut “Pitu Ulunna Salu”, 

7 kerajaan muara yang disebut “Pitu ba’bana binanga” dan ada 3 kerajaan yang tidak bergabung pada kedua wilayah tersebut (wilayah netral), dinamakan “Kakaruanna Tiparittiqna Uhai” atau sering juga disebut “Karua Babana Minanga”.

Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga adalah aliansi beberapa kerajaan di wilayah Mandar, berdiri abad ke-16.

Kerjaan-kerajaan ini awalnya terbentuk sekitar akhir abad ke-15 (sekitar tahun 1580) setelah persekutuan kerajaan-kerajaan Bocco Tellu dan Appe Banua Kaiyyang, dan berakhir sekitar abad ke-18 (sekitar tahun 1860) setelah Belanda mulai masuk dan menjajah satu persatu kerajaan. Kerajaan-kerajaan ini juga pernah jadi wilayah Vasal dari kekuasaan kerajaan Gowa-Tallo sekitar tahun 1612 – 1667, dan kerajaan Bone menanamkan pengaruh dan hegemoni sekitar tahun 1672 – 1737.

Semua kerajaan-kerajaan di Mandar ini saling menghormati pada bagian wilayah masing-masing dan saling membantu seakan-akan mereka sebenarnya satu wilayah layaknya satu negara kesatuan, karenanya beberapa ahli sejarah Mandar berpendapat bahwa kerajaan di Mandar tidak berbentuk kerajaan layaknya kerajaan lain yang memerintah dan berdaulat di daerah sendiri tapi melainkan Satu Kesatuan Wilayah yang saling menghormati.

Jelas sebelum empat belas kerajaan ini dikenal,  di daerah pantai terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang satu dengan lainnya sudah memiliki hubungan.  Bahkan tersebutlah kerajaan yang paling besar dan menonjol ialah Kerajaan Passokkorang di Mapilli Polewali Mamasa (Polmas) sekarang Polman atau dingkatan dari Polewali Mandar. Kerajaan Baras di Mamuju dan Kerajaan Talotu di Malunda.

Selain itu di wilayah pantai dikenal pula kerajaan-kerajaan yang eksis jauh sebelum keberadaan kerajaan Balanipa. Bahkan dianggap "Cikal Bakal" berdirinya kerajaan Balanipa yang dipimpin oleh raja pertamanya, "Todilaling" atau "I  Manyambungi."

Menurut penelitian W.J. Leids, jauh sebelum kerajaan-kerajaan ini terbentuk, telah ada Model Kepemimpinan yang eksis kala itu disebut "Tomakaka" yang tersebar di pantai dan pegunungan yang kemudian lebih dikenal dengan Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. 

Tujuh kerajaan yang tergabung dalam wilayah Persekutuan Pitu Ulunna Salu adalah:
1 Kerajaan Rante Bulahang, raja bergelar Indo Lembang,
2 Kerajaan Aralle, raja bergelar Indo Kadaneneq,
3 Kerajaan Tabulahan, raja bergelar Indo Litaq,
4 Kerajaan Mambi
5 Kerajaan Matangnga, raja bergelar Indo Lembang,
6 Kerajaan Tabang, raja bergelar Indo Lembang,
7 Kerajaan Bambang, raja bergelar Indo Lembang.
Tujuh kerajaan yang tergabung dalam wilayah Persekutuan Pitu Ba'bana Binanga adalah:
1 Kerajaan Balanipa, raja bergelar Arayang
2 Kerajaan Sendana, raja bergelar Arayang,
3 Kerajaan Banggae, raja bergelar Mara'dia,
4 Kerajaan Pamboang, raja bergelar Mara'dia,
5 Kerajaan Tapalang, raja bergelar Mara'dika,
6 Kerajaan Mamuju, raja bergelar Mara'dika,
7 Kerajaan Benuang, raja bergelar Arung dan/atau Arajang (YM. Andi Ilham La Mattulada. 2024).

Kerajaan yang bergelar Kakaruanna Tiparittiqna Uhai atau wilayah Lembang Mappi adalah sebagai berikut:
1. Kerajaan Allu
2. Kerajaan Tuqbi
3. Kerajaan Taramanuq
Arajang Binuang, Pj. Gubernur Sulbar, Tomakaka Adaq Jambu Kerajaan Binuang

3. Kedaulatan Tomakaka di Wilayah Mandar.

Meskipun Afdeling Mandar berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, para Tomakaka tetap mempertahankan kedaulatan mereka dalam berbagai urusan internal, termasuk pemerintahan adat, hukum, dan penyelesaian konflik lokal. Sistem pemerintahan adat ini meliputi wilayah-wilayah kerajaan di Mandar, di mana para Tomakaka bekerja sama dengan raja-raja setempat untuk menjaga ketertiban sosial dan politik.

Kedaulatan para Tomakaka diakui baik oleh masyarakat lokal maupun oleh kekuasaan kolonial. Belanda sering kali tidak ikut campur dalam urusan internal yang diatur oleh para Tomakaka, selama mereka tidak mengancam kepentingan kolonial. Hal ini memungkinkan Tomakaka untuk menjalankan otonomi yang luas dalam mengelola wilayahnya.

4. Struktur Pemerintahan Tomakaka

Secara tradisional, struktur pemerintahan Tomakaka di wilayah Mandar terhubung erat dengan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di tanah Mandar. Setiap kerajaan memiliki Tomakaka yang berfungsi sebagai penasehat raja, serta sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antar masyarakat. 

Arajang Binuang : Kerajaan Tersohor di Timur Afdeling Mandar.

Arajang Binuang merupakan salah satu kerajaan tersohor dan disegani di wilayah timur Afdeling Mandar. Kerajaan ini memiliki posisi strategis dan menjadi pusat kekuatan politik serta adat yang sangat berpengaruh di wilayah Mandar. Arajang Binuang terkenal bukan hanya karena kekuasaan politiknya, akan tetapi juga karena sistem pemerintahan yang komprehensif yang diterapkan di bawah kepemimpinan para Tomakaka.

Kerajaan Binuang menggunakan Sistem Pemerintahan yang disebut "Tallu Bate", yang secara harfiah berarti "Tiga Pilar." Sistem ini merupakan tatanan pemerintahan yang sangat terstruktur dan unik, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu : 1. Ulu Bate. Bagian pertama atau hulu dari "Sistem Tallu Bate", yang bertanggung jawab bersama ketiga Bate lainnya atas kebijakan tertinggi serta dalam pengambilan keputusan strategis yang akan mempengaruhi dan dijalankan oleh kerajaan secara keseluruhan; 2. Tangnga Bate. Bagian kedua atau tengah dari Sistem pemerintahan "Tallu Bate", yang berperan sebagai penghubung antara Ulu Bate dan Cappa Bate serta lapisan masyarakat di bawahnya. Tangnga Bate bertanggung jawab atas implementasi kebijakan dan memastikan keberlangsungan pemerintahan berjalan sesuai dengan aturan adat; dan 3. Cappa Bate. Bagian ketiga atau penghujung yang bertugas menjaga stabilitas dan penegakan keadilan di tingkat kerajaan hingga paling bawah masyarakat. Cappa Bate berfungsi sebagai penegak hukum adat dan penyelesai konflik internal, menjamin harmoni diantara rakyat kerajaan.

Ketiga unsur dalam "Tallu Bate" dipimpin oleh Tomakaka Adaq Dara' Cappa Bate, yang memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan dalam pemerintahan Arajang Binuang. Tomakaka ini tidak hanya bertanggung jawab atas tatanan pemerintahan adat, akan tetapi juga berperan dalam memastikan bahwa kebijakan kerajaan tetap berpihak kepada kesejahteraan rakyat dan tetap sejalan dengan nilai-nilai adat yang diwariskan secara turun-temurun.

Sistem "Tallu Bate" di Arajang Binuang dirumuskan dengan sangat komprehensif oleh para pemimpin adat "Tallu Bate" dan dijalankan oleh Arung dan/atau Arajang (Raja) di Binuang. Sistem ini memastikan bahwa pemerintahan di kerajaan berjalan dengan efisien dan adil, serta mampu bertahan dalam berbagai perubahan politik dan sosial yang terjadi di wilayah Mandar dan sekitarnya. Kekuatan sistem ini juga menjadi salah satu alasan mengapa Arajang Binuang menjadi kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga.

Arajang Binuang dan sistem Tallu Bate ini tidak hanya menjadi simbol kedaulatan lokal, akan tetapi juga cermin dari kemampuan masyarakat Mandar dalam menjaga harmoni sosial-politik melalui tatanan adat yang kuat.

Perihal Keunikan Kerajaan Binuang berbeda dengan Kerajaan di Ba'bana Binanga. Sebab, Kerajaan Binuang mempunyai dua gelar dikarenakan Binuanglah ysng mencukupi Persekutuan Kerajaan wilayah Ba'bana Binanga menjadi Pitu Ba"bana Binanga dari aliansi bugis bergelar awalnya "Arung Binuang", namun setelah masuk Persekutuan Pitu Ba'bana Binanga dan hadir pada peristiwa allamungan batu di Luyo, maka resmilah Kerajaan Binuang masuk aliansi Mandar dan Rajanya bergelar Arajang. (YM. Andi Ilham La Mattulada, dari Andi Tenriadji, 1971).

5. Hubungan dengan Pemerintah Kolonial

Walaupun Belanda berkuasa di Sulawesi, sistem adat dan kekuasaan Tomakaka tetap bertahan. Hal ini dikarenakan kebijakan kolonial yang cenderung pragmatis dalam hal pemerintahan lokal. Belanda lebih memilih untuk bekerja sama dengan pemimpin adat setempat daripada menggantikan mereka, asalkan mereka tidak mengganggu stabilitas dan kepentingan kolonial.

Banyak Tomakaka yang memiliki hubungan baik dengan administrasi kolonial, sehingga mereka mendapatkan ruang untuk tetap menjalankan tugas-tugas adat tanpa banyak gangguan. Dalam beberapa kasus, para Tomakaka bahkan digunakan oleh pemerintah kolonial untuk menjaga ketertiban dan mengatur masyarakat setempat.

6. Warisan Tomakaka dalam Masyarakat Mandar Modern

Meskipun kekuasaan politik Tomakaka tidak lagi seperti masa lalu, warisan mereka tetap hidup dalam kehidupan adat dan budaya di tanah Mandar. Tradisi kepemimpinan Tomakaka yang bijaksana, mengayomi, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat masih dijunjung tinggi di banyak komunitas adat. Sejumlah acara adat dan perayaan budaya sering kali masih melibatkan peran simbolis dari Tomakaka sebagai penjaga tradisi.

Sejarah Tomakaka dalam Afdeling Mandar menunjukkan kekuatan tradisional yang tetap relevan di tengah arus perubahan dan kolonialisme, mengingatkan akan pentingnya peran adat dalam membentuk karakter dan keberlanjutan sebuah wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. 

Referensi :
1. Abdurrahman, Muh. Sejarah Pemerintahan Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Makassar : Balai Pustaka, 1985.
2. Andaya, Leonard Y. The Heritage of Arung Palakka : A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: Martinus Nijhoff, 1981.
3. Noorduyn, J. The Sultanate of Bima. Leiden: KITLV Press, 2000.
4. Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis. New Haven: Yale University Press, 1993.
5. Wolters, O.W. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Ithaca: Cornell University, 1999.
6. Rahmat Hasanuddin : Dari Afdeling Mandar ke Provinsi Sulawesi Barat.
7. Sjahrir Tamsi : Memaknai Peran Kakak Kepada Adiknya Dan Tomakaka Sebagai Panutan Dalam Masyarakat Pattae. Wartamerdeka.Info;
8. Sjahrir Tamsi : To-Makaka Dalam Diskursus Dunia. Wartamerdeka.Info;
9. WordPress.com : Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia. 
Editor : W. Masykar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama