"Lakon Santri Mbeling" adalah Novel Perdana karya : Qosdus Sabil
Aktivis Pinggiran Muhammadiyah
Babak Kelima- "Kebun Mawar Kyai Nurbani"
Sinar surya baru saja menyeruak ke ufuk timur langit di atas alun-alun kota mBatu. Aku jalan-jalan pagi sembari melepas kantuk usai diminta membantu team refleksi akhir malam acara Diksuswati I di Masjid At Taqwa. Sebuah acara Pendidikan Khusus Immawati tingkat pertama.
Dini hari itu, saya kebagian tugas untuk memilihkan dan membacakan ayat-ayat al-Qur’an, yang kemudian disaritilawahkan dengan penuh penghayatan oleh Immawati Erry.
Beberapa peserta histeris. Bahkan ada juga yang pingsan. Entahlah apa yang terjadi setelahnya. Rasanya Inoeng, Atun, Anissa, atau Lina yang lebih mengetahuinya.
Terlebih, aku menjadi satu-satunya lelaki yang berada di ruang utama Masjid. Immawan-immawan lain, umumnya hanya membantu pengamanan dengan berjaga di teras atau bersenda gurau di ruangan Takmir Masjid.
“Mas... enaknya kita sarapan ketan aja ya?” ajak Udin kepadaku.
Menikmati ketan pojok yang sangat legendaris di pagi hari adalah pilihan yang cukup mengesankan. Apalagi bagiku yang baru beberapa kali menikmati dini hari di kota mBatu.
“Ehh... ada Mas Joko”.
“Udah dari tadi Mas?” tanya Udin.
“Ayo monggo Mas Udin Dik Ahmad silakan pesen saja. Ini ketan yang paling enak di seantero kota mBatu”, kata Mas Joko.
Kamipun segera dihanyutkan oleh candatawa dan obrolan khas aktivis jalanan.
Mas Joko telah aku kenal cukup lama sejak aku masih di Jember. Sering kami bersama-sama dalam acara DPD IMM Jawa Timur.
Usai menikmati ketan, Mas Joko mengajakku sowan ke rumah Romo Kyai Nurbani Yusuf.
“Dik Ahmad, kita ke dalemnya Mas Kyai Nurbani nggih. Tapi kita ke Masjid At Taqwa dulu ambil kendaraan...”
“Siyappp Mas”.
Sesampainya di Masjid At Taqwa, Mas Joko nampak menghampiri Mbak Astrid.
Mbak Astrid ini adalah tokoh penting Immawati Faperta UMM. Kurang lebih setahun yang lalu kami pernah bertemu dalam sebuah acara reuni sekolah Ibuku. Saya baru tahu ternyata mbak Astrid ini adalah putri bungsu dari Gurunya Ibuku, saat Ibuku menempuh pendidikan di Pendidikan Guru Agama (PGA) Putri Malang.
“Dik... kita berangkat sekarang ya? Sampean mau bareng saya atau gimana?”
“Saya bareng Mas Udin aja Mas”
“Ok. Kalau begitu saya ikut mobilnya Mbak Astrid. Nanti ikuti saja di belakang ya”
Mbak Astrid segera memasuki sedan merah marunnya. Tanpa tolah toleh lagi Mbak Astrid memacu kencang mobil kesayangannya itu menuju kawasan perkampungan kota mBatu.
Usai melewati komplek Perguruan Muhammadiyah Sidomulyo, aku lihat Mobil merah mbak Astrid semakin kencang melaju.
Mendadak mobil berhenti di sebuah pertigaan. Kulihat Mas Joko turun dari mobil lalu menghampiri seorang bapak-bapak penjaga toko.
“Pak, nuwun sewu... leres meniko saget tembus ke arah desa Gunung Sari”, tanya Mas Joko kepada Bapak itu.
“Suwun njih Pak”. Ucap Mas Joko gembira.
Mobilpun kembali melaju. Sesekali kami melewati jalanan berlobang, akibat aspal jalan yang terlalu tipis. Mungkin kontraktornya kebanyakan setor upeti saat memenangkan tender, sehingga dosis aspal dan ketebalan hotmixnya dikurangi.
Aku sangat menikmati panorama perkampungan mBatu yang harum oleh aroma sayur mayur petani.
Terkadang aroma kandang sapi menyeruak menusuk hidungku yang mulai mampet karena dinginnya hawa Pegunungan Kota Batu.
Di atas sepeda motor perjuangannya, Mas Udin sesekali bercerita tentang petualangannya naik gunung-gunung. Ia bercerita dengan menggebu-gebu asyiknya naik gunung di saat bulan purnama. Begitu indah dan Masya Allah.... Subhanallah dehh pokoknya.
Kulihat Mobil Mbak Astrid memasuki sebuah gang dan parkir di sebuah halaman warga.
“Kita parkir disini saja Dik”.
“Lha rumahnya Kyai Nurbani yang mana Mas?”, tanyaku penasaran.
“Itu masih masuk kesitu”.
Kamipun berjalan beriringan menaiki tanjakan yang cukup curam..
“Assalamualaikum...”
Serempak kami mengucap salam saat melihat Kyai Nurbani tengah basah kuyup menggotong seikat besar bunga mawar segar yang dibalut karung.
“Wa alaikum salam.... lha kok tumben ini pagi-pagi. Habis ada acara ya?”.
“Monggo-monggo masuk, maaf agak berantakan. Itu di belakang lagi pada packing mawar”.
“Wahh asyik ini. Enthuk njaluk maware Mas?”, tanya Udin cepat merespon isyarat Mas Kyai Nurbani.
“Iyo wis, njupuko sak karepmu Din”, hahahaaa.
Tawa khas Romo Kyai Nurbani-pun meledak, disertai tawa simpul Mbak Astrid yang malu-malu juga mau minta serangkai bunga mawar yang masih teramat segar itu.
“Lha wis podo sarapan durung?”
“Sampun Mas Kyai Nurbani”..
“Ayo monggo ini tahu susu baru diangkat dari wajan”, suguh istri Mas Kyai Nurbani.
“Eitss ijek sanap tibae”, gelak tawa Kyai Nurbani sembari mengangkat sepotong tahu susu yang ternyata masih panas mengepul..
“Saya sudah tahu siapa sampean Mas. Ada perintah khusus untuk memonitor mahasiswa yang punya kasus seperti sampean”, ujar Kyai Nurbani kepadaku..
Mas Joko, Mbak Astrid, dan Mas Udin-pun tanpa dikomando tertawa ngakak memecah keheningan desa Gunung Sari.
“Mas... kebun Jenengan jauh dari sini?”, tanyaku membuka obrolan pagi itu.
“Sampean kok tahu aja tho Mas apa yang mau kutanyakan”, sela Mbak Astrid.
“Opo’o... awakmu arep syuting film India ta As, yo ndang kono metik mawar sendiri ke kebun”.
Mendengar titah Kyai Nurbani, kamipun segera beranjak berjalan menyusuri pematang.
Sekawanan anak kecil berlarian setengah telanjang. Terlihat mereka begitu girang. Mereka berlompatan mandi dan nyebur di selokan.
Jangan lagi ditanya betapa bening dan segarnya air selokan desa Gunung Sari. Jangan sedikitpun anda membandingkan dengan selokan kota megapolitan Jakarta yang sangat berbau itu.
Mungkin yang paling membedakan adalah terletak pada keberhasilan selokan Jakarta dalam memuluskan jalan terpilihnya seorang Presiden. Setelah sang pinokio masuk ke dalam got, publik terpesona oleh propanganda pencitraan palsu atas kesan sosok calon presiden yang akan bisa bekerja keras untuk rakyat. Ironisnya, kini banyak pendukungnya yang mulai kecewa. Janji manisnya tidak ada yang terbukti.
“Mas... petikin yang itu dong Mas”, tunjuk Mbak Astrid manja kepada Mas Joko.
Melihat adegan itu, akupun dengan lugu bertanya sambil berbisik kepada Udin.
“Lho Mas Joko iki calon suaminya Mbak Astrid tho Mas”.
“Husss... awakmu ini baru mudeng tho Mad”, jawab Udin tersenyum geli.
“Kita ke sebelah sana saja Mad. Kita kasih kesempatan kepada Mas Joko biar nggak sungkan kalau ada kita”....
Udin-pun dengan terampil memetik mawar. Sesekali ia meringis kesakitan terkena duri.
Memang... di balik indahnya sekuntum mawar selalu tersembunyi duri yang melindunginya dari tangan-tangan jahil.
(eeeeaaaaaa 😍)
Selepas Mas Joko dan Mbak Astrid pamit pulang.
Aku dan Udin masih melanjutkan obrolan dengan Kyai Nurbani hingga sore menjelang.
“Mad, nanti kamu antar saya ya?”
“Kemana Sam?”
“Pokoknya nanti kamu antar aja saya. Entah Immawati mana yang akan beruntung mendapatkan serangkai mawar indah ini....”
Tugu Proklamasi,
18 Agustus 2020
1 kata : JosGandos😎👍
BalasHapus