
Novel Qosdus Sabil
FB. Qosdus Sabil
Ig. qosdus.s
Penulis dapat dihubungi melalui email: qosdussabil@gmail.com
Biasa dipanggil Gus Bill
Santri Pinggiran Muhammadiyah
Editor: W. Masykar
Babak Keenambelas
"Jangan Stupid"
"Terima kasih Pak Amien. Kami memang masih bodoh. Makanya kami kuliah. Kalau sudah pinter pasti kami-kami ini yang menjadi dosennya.
Bagi Pak Amien, itu mungkin cuma sindiran halus, tetapi terasa menohok ke dalam hati setiap mahasiswa pemberontak seperti kami.
Teguran terhadap mahasiswa yang memang rada-rada kurang cerdas diajak diskusi. Mungkin baru ini terjadi dalam sejarah, ada ketua Yayasan sebuah Universitas yang menyediakan fasilitas perjalanan para pendemonya. "Ahmad, ajak kawan-kawanmu masuk ke ruangan saya. Kita diskusikan apa tuntutan kalian sebenarnya?"
"Jangan banyak-banyak ya?" PInta Pak Mul.
"Ya secukupnya kursi yang tersedia ya Pak".
"Oke kalo begitu ".
"Nahh kawan-kawan semua, ini kita sudah diterima oleh Pak Mul. Monggo yang mau menyampaikan uneg-unegnya disilakan".
Beberapa pandangan dan keluhan mahasiswa disampaikan. Hingga akhirnya Pak Mul bertanya kepada kami: "kamu pengen Pak Mul mundur seperti Pak Iqnak mundur dari Rektor kan?". "Iya apa tidak?". "Saya terserah Pimpinan Pusat Muhammadiyah saja".
"Assalamualaikum... ada yang bisa kami bantu? " ujar suara di seberang sana.
"Wa alaikum salam. Ini saya Pak Mulyono Unmuh Jember minta tolong dihubungkan dengan Mas Amien Rais".
"Baik Pak Mul".
"Assalamulaikum Pak Mul. Apa kabar?" terdengar suara nyaring Pak Amien.
"Ini Mas Amien, Ahmad dan kanca-kancanya ini lagi mendemo saya supaya turun dari Ketua Yayasan Unmuh Jember".
"Mereka ingin menghadap kepada Mas Amien. Kapan Ahmad cs bisa ketemu Jenengan di Yogya?"
"Baik Pak Mul, besok ba'da sholat jumat saya terima Ahmad dkk di ruang Rektor UMY."
"Sudah kalian dengar sendiri tadi. Silakan kalian ada yang menghadap Bu Syemim BAU, minta SPPD ke Yogya. Kalian boleh memakai mobil kijang yang baru".
"Cukup begitu Ahmad?"
"Cukup Pak Mul. Maturnuwun".
Sampai disini sebenarnya Pak Mul sudah nyaris kami lengserkan. Namun, Beliau masih menggunakan jurus "pangkon" jawa, yang mematikan huruf yang dipangku.
Jurusan pangkon ini justru sudah saya lakukan terhadap Pak Mul. Seorang Profesor pendidikan yang lugas dan cemerlang pemikirannya. Hanya dalam tempo 5 tahun, Unmuh Jember sudah memiliki kampus Terpadu. UMM apalagi UMY belum ada yang memiliki kampus semegah dan sekeren Unmuh Jember.
Pak Amien membaca dengan seksama dua lembar surat pernyataan mahasiswa yang kususun secermat mungkin.
"Teradu jangkrik?"
"Ini kosa kata yang menarik. Menyimbolkan konflik di kampus kalian ada yang mengkilikitik alias memprovokasi dari luar".
"Penyusun naskah pernyataan ini orang yang cerdik." Siapa yang menyusun? You Ahmad?"
Aku hanya mengangguk pelan dan sedikit tersenyum. Harapanku Pak Amien bersedia memberikan jawaban yang solutif untuk kasus yang terjadi di kampus Unmuh Jember.
Dalam pertemuan kurang lebih 40 menit itu Pak Amien menyatakan beberapa sikap atas nama PP Muhammadiyah.
PP Muhammadiyah akan segera menurunkan team tujuh untuk penyelesaian masalah di Unmuh Jember, yang diketuai oleh Pak Malik Fadjar.
Tiga puluh tahun kemudian, aku kembali merasa begitu bodohnya. Kembali menjadi stupid, setelah mengetahui akan kedalaman sebuah disiplin ilmu.Aku terpaksa bertanya kepada AI untuk mengingatkanku terkait paper-paper ekonomi pemenang hadiah Nobel yang dibahas oleh Professor kami, adalah sebagai berikut:
Model dinamis terapan untuk analisis proses ekonomi oleh Ragnar Frisch, Teori ekonomi statis dan dinamis oleh Paul Samuelson Interpretasi pertumbuhan ekonomi secara empiris oleh Simon Kuznets Ekonomi perilaku oleh Richard Thaler Ekonomi kesejahteraan dan teori pilihan sosial oleh Amartya Sen Ekonometrika dan statistik oleh Guido Imbens Pembangunan ekonomi jangka panjang, ekonomi politik, dan keuangan perusahaan oleh Simon Johnson
Usai sholat isya' serangan efek makan nikmat mulai menyerbu. Diriku dan sebagian besar presenter makalah mulai mengantuk berat. Melihat para presenter sudah tinggal lima watt, akupun tidak mau tinggal diam.
Saat itu adalah kelompoknya Lalu Sholihin dan kawan-kawan yang tampil membahas tentang fenomena transaction cost. Para penyajinya sudah tak bersemangat, dan sudah hampir dikembalikan ke pembimbing, Pak Fauzi.
Secara umum, untuk memudahkan memahami fenomena transaction cost atau teori biaya transaksi adalah teori ekonomi yang membahas biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan transaksi.
Biaya transaksi ini di luar biaya produk atau layanan yang dipertukarkan. Prinsip-prinsip teori biaya transaksi, antara lain: Biaya transaksi timbul ketika meminta orang lain melakukan sesuatu.
Biaya transaksi dapat berupa biaya tenaga kerja, waktu, upaya, dan sumber daya. Biaya transaksi dapat berupa persentase dari jumlah transaksi atau jumlah dolar tetap.
Biaya transaksi yang tinggi dapat menyebabkan kegiatan yang tersebar.
Biaya transaksi yang rendah dapat meningkatkan perdagangan antar lokasi.
Teori biaya transaksi dikembangkan oleh ekonom Inggris Ronald Coase pada tahun 1937.
"Boleh saya nimbrung terkait teori transaction cost ini?" Tanyaku ke moderator
"Baik silakan Mas Ahmad".
"Jadi, begini... ini pembahasan yang sangat menarik. Apalagi pemikiran ini bisa mendapatkan hadiah Nobel tentu bukan kaleng-kaleng kan".
"Saya kira, sepanjang perjalanan dari Bogor hingga tiba di Carita ini ada banyak model Transaction Cost yang unik dan menarik. Ini juga bisa dikembangkan lebih jauh mengapa transaction cost yang melibatkan ibu-ibu sering berakhir gagal karena bertahan pada asumsi harganya sendiri.
Emak-emak relatif tidak peduli untuk seberapa besar menawar harga suatu produk. Bagi emak-emak dapat membeli barang dengan harga yang murah tentu menjadi harapan".
"Berbeda dengan bapak-bapak yang tidak terlalu kaku dalam bertransaksi. Yang penting bersama transaksi tersebut dibangunnya sebuah sikap saling percaya dan menjaga kepuasan pelanggan".
"Jadi, saat di Karangantu saya melihat fenomena transaction cost antara Kosasih dan Koswara. Demikian juga transaction cost antara Kosman dengan Kosim bisa kita lihat nanti pemodelannya. Atau model transaksi cost antara Engkos Saidi dengan Engkos Saleh.... "
"Saya kira begitu sederhana kita asal dapat memastikan siapakah nama Engkos-engkos yang lain... "
"Hancoorrr... kacau dah. Kirain serius. Ternyata. Mas Ahmad bisa ngelucu juga ya" ... komentar Tono, calon Dirjen Tanaman Pangan yang akan datang
"Tidak hanya itu bro, akupun sekarang sudah memiliki lisensi untuk boleh lupa..."
Semakin dalam ilmu yang kita pelajari, maka rasanya semakin bodoh diri kita ini. Ibarat padi. Makin berisi makin merunduk. Sedangkan alang-alang akan tegak menyombongkan diri sembari menunjukkan kebodohannya.
Begitulah kami. Disaat serius pun masih bisa bercanda. Sersan. Serius tapi santai...
Keesokan harinya, kami berjalan di pinggiran pantai. Air laut masih tinggi ombaknya. Sehingga, kami hanya foto-foto saja.
"Saya ini dari keluarga besar Aisyiyah Solo lho Mas", terang Bu Ari kepadaku.
"Oh iya? Kayaknya Panjenengan ini termasuk penggede Keraton keluarga Pakubuwono njih?"
"Enggak kok Mas. Kami ini hanya rakyat jelata yang berlindung di bawah bendera Sang Surya".
"Wahhh sama dong kita...Ayo kita menyanyikan Mars Muhammadiyah "...
Sang Surya telah bersinar
Syahadat dua melingkar
Warna yang hijau berseri
Membuatku rela hati....
Kamipun lantas kembali ke cottage kami masing-masing. Bebersih badan. Lalu bersiap untuk pulang.
Antara Anyer dan Jakarta
Kita jatuh cinta...
Itulah sepenggal lagu ciptaan Oddie Agam.
Antara Anyer dan Panarukan
Adalah jalan pos yang dibangun sejak masa Daendels berkuasa.
Ribuan nyawa berguguran
Demi terwujudnya jalan pos tersebut. Infrastruktur jalan menjadi sangat vital. Apalagi jalan tersebut merupakan jalur utama pengiriman komoditas penting dari Indonesia.
Lewat jalan Daendels kita tak perlu membayar lagi. Karena dulu kita sudah membayar dengan nyawa leluhur kita.
Namun, anehnya sekarang lebih diarahkan numpang lewat tol supaya jalan raya pantura Jawa lancar. Kita naik tol mesti bayar. Dan tidak murah. Terkadang masuk tol bahkan untuk ikut bermacet ria...Angel angel.... Hujan seharian....Alhamdulillah! (*)