Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Idul Fitri, sebagai puncak dari bulan suci Ramadhan, membawa makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar perayaan kemenangan. Selain sebagai momen kebersamaan dan refleksi spiritual, hari raya ini juga menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan bagaimana kita dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan selama Ramadhan untuk membangun masyarakat dan bangsa. Dalam konteks Indonesia yang sedang menghadapi berbagai tantangan, pelajaran yang kita ambil dari bulan suci ini bisa menjadi tonggak penting untuk membawa perubahan positif.
Sebagai negara yang memiliki keragaman budaya dan agama, Indonesia memiliki potensi besar menjadi contoh negara yang inklusif dan berkeadilan. Namun, untuk mencapai itu, diperlukan komitmen kuat untuk memperbaiki diri dan lingkungan, serta melibatkan semua elemen masyarakat dalam proses perubahan. Salah satu aspek yang sering kali hilang dalam perjalanan bangsa ini adalah keteladanan.
Sebagaimana ditegaskan oleh banyak pemikir dan tokoh, keteladanan adalah kunci untuk membangun masyarakat yang sehat dan berkeadilan. Dalam bukunya The Leader’s Way: The Art of Making the Right Decisions in Our Careers, Our Lives, and Our World, Bennis dan Nanus (2007) menekankan pemimpin yang sukses adalah mereka yang memiliki integritas tinggi dan dapat memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks Indonesia, keteladanan ini sangat diperlukan mengingat banyaknya praktik korupsi, ketidakadilan, dan rendahnya kepercayaan publik terhadap para pemimpin.
Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dalam wawancara yang diterbitkan oleh Kompas.com (2 April 2025), menyatakan bahwa hilangnya keteladanan di kalangan pemimpin Indonesia adalah salah satu akar masalah yang menghambat kemajuan negara.
Ia menyoroti negara ini pernah memiliki tokoh-tokoh besar seperti Mohammad Hatta dan Agus Salim yang dikenal akan integritas dan komitmen mereka terhadap negara. Namun, kini kita menghadapi tantangan besar di mana pemimpin justru terlibat dalam praktek-praktek yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan transparansi.
Fathul mengingatkan “ketika tingkat kepercayaan turun, kita akan kesulitan untuk mempercayai siapa lagi yang layak menjadi teladan” (Kompas.com, 2 April 2025).
Kehilangan teladan ini berdampak pada seluruh lapisan masyarakat, dari sektor pemerintahan hingga dunia pendidikan dan ekonomi. Hal ini menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan serius jika Indonesia ingin kembali ke jalur yang benar.
Pendidikan merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk membentuk generasi yang lebih baik, yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan integritas. Sebagaimana diungkapkan David Kolb dalam teori pembelajaran eksperiensialnya (Kolb, 1984), pembelajaran yang efektif bukan hanya berasal dari pengajaran di kelas, tetapi juga dari pengalaman yang memperkaya nilai-nilai pribadi dan etika.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, ini berarti pendidikan harus lebih dari sekadar transfer pengetahuan; ia harus membentuk karakter dan moralitas siswa agar mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berintegritas.
Namun, di banyak perguruan tinggi, terutama yang sudah terinfeksi oleh kepentingan kapitalis, pendidikan semakin terkomersialisasi. Seperti dikemukakan Mark C. Taylor dalam bukunya The Decline of the University and the Rise of the Corporate University (2010), dunia pendidikan saat ini semakin dipengaruhi oleh kepentingan bisnis yang memprioritaskan keuntungan ketimbang pengembangan karakter dan moral. Hal ini dapat terlihat dalam tingginya biaya pendidikan yang semakin membebani kalangan masyarakat yang kurang mampu.
Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral, integritas, dan kejujuran, serta menekankan pada pentingnya keadilan sosial, akan melahirkan generasi yang mampu menjadi pemimpin dan anggota masyarakat yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa sistem pendidikan di Indonesia tidak hanya berorientasi pada hasil ujian atau peringkat, tetapi juga pada pembentukan karakter yang kokoh.
Integritas bukan hanya soal melakukan yang benar ketika tidak ada yang mengawasi, tetapi tentang konsistensi antara kata dan perbuatan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kepemimpinan publik. Dalam bukunya The Ethics of Leadership (2005), Joanne B. Ciulla menyatakan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang dapat menginspirasi pengikutnya melalui teladan yang mereka berikan, bukan hanya melalui pidato atau janji-janji kosong.
Ketika kita berbicara tentang perubahan bangsa, penting untuk mengingat bahwa perubahan dimulai dari setiap individu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Maxwell dalam The 21 Irrefutable Laws of Leadership (1998), seorang pemimpin harus menjadi contoh yang dapat diikuti oleh orang lain. Oleh karena itu, Idul Fitri, sebagai momen refleksi dan pembaruan diri, bisa menjadi titik awal bagi setiap individu, terutama para pemimpin, untuk memperbaiki diri dan kembali pada nilai-nilai kebaikan.
Dalam konteks Indonesia yang semakin kompleks, tidak ada jalan pintas untuk memperbaiki masalah yang ada. Namun, kita bisa memulai dari hal-hal kecil yang bersifat pribadi dan kemudian meluas ke masyarakat dan negara. Ramadhan mengajarkan kita untuk memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan sesama, serta untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Momen Idul Fitri mengingatkan kita akan pentingnya memperbaharui komitmen untuk menjalani kehidupan dengan penuh integritas.
Keteladanan, pendidikan yang berkualitas, dan komitmen untuk menjaga integritas di semua aspek kehidupan adalah kunci untuk membangun bangsa yang lebih baik. Seperti yang disebutkan oleh Fathul Wahid (Kompas.com, 2 April 2025), jika kita dapat mengembalikan keteladanan dan integritas, maka Indonesia akan bisa keluar dari permasalahan yang ada dan menuju masa depan yang lebih baik.
Idul Fitri merupakan momen untuk merayakan kemenangan pribadi, tetapi juga merupakan saat yang tepat untuk merenung dan berkomitmen untuk membuat perubahan positif dalam kehidupan kita dan masyarakat. Semoga dengan mengingat ajaran Ramadhan, kita semua dapat memperbaiki diri, menjadi teladan bagi orang lain, dan berperan aktif dalam membangun Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera.(*)
1. Bennis, W., & Nanus, B. (2007). The Leader’s Way: The Art of Making the Right Decisions in Our Careers, Our Lives, and Our World. New York: Pearson Education.
2. Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
3. Taylor, M. C. (2010). The Decline of the University and the Rise of the Corporate University. New York: Oxford University Press.
4. Ciulla, J. B. (2005). The Ethics of Leadership. Belmont, CA: Wadsworth.
5. Maxwell, J. C. (1998). The 21 Irrefutable Laws of Leadership: Follow Them and People Will Follow You. Nashville, TN: Thomas Nelson.(*)