Fraksi PKS: Upaya Pemakzulan Terhadap Gubernur NA Melalui Pansus Hak Angket Permainan Elit Politik Di Jakarta


MAKASSAR (wartamerdeka.info) - Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulsel, Aryadi Arsal mengakui bahwa pembentukan Pansus Hak Angket DPRD memang sangat dipaksakan.

"Dasar-dasar untuk pembentukan pansus ini sangat sumir. Tidak ada pelanggaran hukum atau undang-undang yang dilakukan oleh Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah," ujarnya kepada wartawan, di kantornya, Selasa (6/8/2019).

Diungkapkannya pula bahwa pembentukan Pansus Hak Angket ini, makin jelas mengarah kepada upaya pemakzulan Gubernur NA. Dan ini sebuah gerakan yang dikomando dari pusat (Jakarta).

Jadi, tambah Aryadi Arsal, ini tidak murni gerakan politik lokal di Sulsel. Tapi permainan elit politik di Jakarta atau pusat.

Ketika Hak Angket akan digulirkan oleh rekan-rekannya dari fraksi lain, terutama Fraksi Golkar, Aryadi Arsal sudah melihat ada yang tidak beres.

Aryadi Arsal mengatakan, usulan tersebut dimunculkan ketika ada pelantikan pejabat dalam jumlah cukup besar yakni 193 pejabat oleh Wakil Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman. Pelantikan itu berdasarkan SK yang ditandatangani Wakil Gubenur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman.

"Tapi itu sebenarnya sudah selesai. Sudah turun dari Kementerian Dalam Negeri, Dirjan Otda bahkan dari Komisi ASN dan Kementerian PANRB juga sudah meganggap itu selesai," jelasnya.

Ketika wacana itu didorong di rapat pimpinan, Aryadi Arsal mengaku melihat bahwa dokumen tersebut sangat sumir dan sangat dipaksakan. Dirinya melihat, tidak selayaknya sebagaimana sebuah usulan untuk penggunaan hak angket.

"Saya sempat menyebut bahwa dokumennya seperti sampah. Teman-teman memang tersinggung saat saya bilang seperti itu. Sempat ramai saat itu karena saya sebut dokumen itu seperti sampah. Bagi saya, kalau dokumen itu tidak layak dan hendak diangket-kan, ya saya anggap sampah. Bahkan dua kali hendak diparipurnakan, tetapi tidak jadi," terangnya.

Lebih jauh Aryadi Arsal menjelaskan, di DPRD sebenarnya tidak semua setuju ada hak angket. Hanya, katanya, karena itu politis dan kemudian dilakukan pendekatan dan mereka sepakat dengan arahan dan targetnya adalah  perbaikan hubungan antara DPRD dengan pemerintah.

"Itu adalah titik temu berbagai fraksi waktu itu di luar PKS dan PDIP. Ada satu orang dari PKS waktu itu yang membangkang perintah partai dan langsung dapat teguran keras dan dicopot dari jabatannya. Pak Jafar Sodik," jelas Aryadi Arsal.

Sebenarnya ide awalnya adalah interpelasi. Kalau interpelasi, kata Aryadi Arsal PKS dan PDIP juga tidak akan permasalahkan. "Makanya saya sempat pertanyakan, kenapa harus angket. Sampai pimpinan DPR pun ragu-ragu awalnya. Hanya akhirnya kami menangkap ada pergerakan besar yang memaksakan angket," paparnya.

Diceritakan oleh Aryadi Arsal, bahwa dirinya sempat bertemu dengan Gubernur Nurdin Abdullah bulan puasa lalu. "Saya katakan, ini serius. Teman-teman DPR adakan hak angket dan harus mendapat perhatian. Jadi, saya sampaikan, teman-teman di DPR menangkap, ada suasana berbeda antara gubenur sebelumnya dengan gubernur yang sekarang," cerita Aryadi Arsal.

Diakui Aryadi Arsal yang memang memiliki hubungan cukup dekat dengan Nurdin Abdullah. Terlebih ketika menjabat sebagai Bupati Bantaeng, PKS-lah sebagai pengusung utamanya.

"Memang karakter beliau beda dengan Pak Syahrul (Syahrul Yasin Limpo, gubernur Sulsel sebelumnya). Kalau Pak Syahrul kan memang sering ngopi sama-sama dan nongkrong. Tapi kan Pak Prof (NA) kan lain gayanya. Programnya jalan. Nggak bisa disamakan. Jadi, ini sebenarnya bisa selesai dengan interpelasi," jelasnya.

Aryadi Arsal mengatakan, akhirnya hak angket pun digulirkan. Dia mengaku bahwa dirinya, awalnya tak menyadari bahwa ternyata ada bergerakan besar berskala nasional di balik hak angket tersebut.

"Ternyata ada pergerakan secara nasional. Ada dorongan dari Jakarta. Seandainya hanya tingkat lokal di Sulsel saja, mungkin tidak akan kuorum. Ternyata ada perintah partai di luar PKS dan PDIP. Meski sebagai pengusung PAN pun banyak yang condong ke hak angket karena alasan kedekatan dengan keluarga Yasin Limpo (Ichsan Yasin Limpo) yang menjadi rival Nurdin Abdullah di Pilkada," paparnya.

Terlepas dari itu semua, kata Aryadi Arsal, memang ada pergerakan nasional (dari pusat) untuk menekan Gubernur Nurdin Abdullah.

Padahal dia menilai, kiberja dan gerakan pembangunan di bawah kepemimpinan Nurdin Abdullah, luar biasa.

"Bahkan ada anggota dari fraksi lain yang sakit dan tidak sewajarnya menghadiri paripurna, dipaksakan datang. Karena kan syarat untuk jadi angket kan berat, harus dihadiri 3/4 anggota DPR. Jadi seolah ada perintah dari DPP yang mau tidak mau harus dihadiri anggota. Sehingga akhirnya rapat paripurna mencapai kuorum, dan terjadilah pembentukan pansus Hak Angket," jelasnya.

Ketika ditanya, siapa yang diuntungkan jika Gubernur dilengserkan, dia menjawab, ya tentu saja Wakil Gubernur yang diuntungkan, karena otomatis naik jadi gubernur.  Tapi kalau "satu paket" gubernur-wakil gubernur yang dilengserkan, yang diuntungkan ya lawannya saat pilkada lalu, karena tahun 2020 bisa dilakukan Pilgub lagi.

Namun, bisa saja yang dimakzulkan Wakil Gubernur karena pemicu penggunaan hak angket ini SK mutasi, yang ditandatangani oleh Wakil Gubernur.


"Tapi, rekomendasi dari Pansus Hak Angket, bisa saja bukan pemakzulan. Tapi sekedar evaluasi untuk perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah," ujarnya.

Tapi, diakuinya, tidak mudah seandainya mereka yang ngotot menggulirkan Hak Angket tersebut mau memaksanakan pemakzulan terhadap Gubernur NA. Masih ada beberapa tahap, di antaranya penggunaan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) yang prosesnya serupa dengan proses penggunaan Hak Angket. (Ar)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama