Tim PH : JPU Salah Menghadapkan Terdakwa Ke PN Jaktim


JAKARTA (wartamerdeka.info) - Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Advokat Indonesia (DPC Peradi) Jakarta Timur yang dipimpin ketuanya Jhon SE Panggabean, SH, MH, tampil sebagai tim penasihat hukum anggotanya yaitu terdakwa RHS, SH, MH, di Pengadilan Jakarta Timur (PN Jaktim).

RHS diadili oleh majelis hakim pimpinan Nun Suhaini SH, MH, karena didakwa melanggar Pasal 263 (1) dan Pasal 263 (2) KUHP.

Pada sidang kemarin, Kamis (20/2/2020) majelis hakim menyidangkan terdakwa RHS, dengan acara mendengar eksepsi tim penasihat hukum.

Inti dari eksepsi penasihat hukum
memohon agar putusan sela majelis hakim nanti  membatalkan surat dakwaan  Jaksa Penuntut Umum (JPU) demi hukum,  karena tidak jelas (obscuur libel).

Eksepsi tim penasihat hukum dibacakan secara bergilir. Dimulai Jhon S.E Panggabean SH, MH lalu oleh rekannya Ernawati SH, Daance Yohanes SH, Togap L Panggabean SH, Nuria Roma Manurung SH, Astanaria Ginting SH, MH, Ganti Lumbantoruan SH, Cun Cun, SH, MH, Poltak Maruli Tua Silaban SH, Rikardo Lumbanraja SH, dan H Mery Yanto SH.

Majelis hakim dimohon juga supaya  menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak berwenang mengadili perkara aquo, memulihkan harkat martabat dan nama baik terdakwa,  serta membebankan biaya perkara kepada negara.

Menurut ketua tim penasihat hukum Jhon,  terdakwa adalah seorang advokat yang tunduk kepada UU advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia. Karenanya, setiap pelanggaran pelanggaran yang dilakukan terdakwa selaku advokat yang berkaitan dengan menjalankan profesi, haruslah terlebih dahulu dilaporkan kepda Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (DKOA). Apalagi seperti dalam perkara ini yang berpekara adalah sesama Advokat.

Faktanya,  pelapor sama sekali tidak pernah melaporkan ke DKOA Peradi. Bahkan sebelum melakukan pelaporan atas dperkara aquo di Kepolisian, Pelapor sama sekali juga tidak pernah memgkofirmasikan surat perjanjian kerja sama penanganan perkara tanggal 17 Januari 2017 yang diduga dipalsukan oleh terdakwa selaku sesama rekan advokat yang mensyaratkan harus saling menghargai sebagainama diatur dalam pasal 5 huruf (a) Kode Etik Avokat Indonesia (KEAI) yang mengatakan; hubungan antara teman sejawat advokat harus dilandasi dengan sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling  mempercayai.

Dalam penyidikan, terdakwa secara tegas mengatakan bahwa surat perjanjian kerjasama penanganan perkara tanggal 17 Januari 2017 yang diduga dipalsukan sama sekali tidak pernah dibuat oleh terdakwa ataupun digunakan oleh terdakwa.

Bahkan sebelumnya  terdakwa tidak pernah melihat, surat perjanjian itu kecuali setelah dierlihatkan oleh penyidik.

"Kami sangat menyesalkan saksi pelapor yang tidak menyelesaikan kasus ini secara UU Advokat. Kan tidak baik sesama advokat langsung lapor ke Polisi. Harusnya lapor organisasi dulu. Lagi pula klien kami tidak pernah menggunakan surat perjanjian dimaksud dan tidak ada kerugian saksi pelapor. Ini yang kami sesalkan," kata Jhon SE Panggabean kepada wartawan.

Pada eksepsi itu dipersoalkan surat dakwaan Jaksa menyatakan, terdakwa RHS pada hari Selasa tanggal  17 Januari 2017 atau setidak tidaknya pada suatu waktu tertentu pada bulan Januari tahun 2017 bertempat di Polda Metro Jaya yang terletak di jalan Jenderal Sudirman No: 55 Jakarta Selatan.

Atas fakta ini berarti tempat kejadian (locus declitie) adalah di Jakarta Selatan. Karen itu tim Penasihat hukum terdakwa menyatakan kewenangan mengadili terdakwa adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sebagaimana Pasal 84 (1) KUHAP.

"Agumentasi Jaksa yang hanya menyebut alasan motifasi pasal 184 (2) KUHAP tanpa secara jelas, cermat menyebutkan tempat tinggal para saksi dalam isi surat dakwaan, baik mngenai pasal/norma hukum, maupun fakta fakta hukum serta saksi sebagai alat bukti, maka argumentasi pasal 84 (2) KUHAP yang diajukan oleh Jaksa tidak cukup meyakinkan, sehinga demi hukum haruslah ditolak setidak tidaknya dikesampingkan," kata pengacara H Mery Yanto.

Tegasnya menurut tim penasihat hukum surat dakwaan Jaksa  kepada terdakawa , ditemukan fakta fakta yuridis, yaitu tidak cermat, jelas dan lengkap atau kabur dengan alasan, dalam surat dakwaan sama sekali tidak menguraikan bagaimana cara  terdakwa melakukan dugaan tindak pidana yang didakwaan dan dimana terdakwa membuat surat perjanjian kerja sama penanganan perkara tanggal 17  Januari 2017 tahun 2017 yang menjadi dasar dakwaan, sehingga menjadi tidak jelas perbuatan apa yang membuat terdakwa didakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan terebut.

Sidang ditunda sepekan, dan dibuka lagi Senin (24/2/2020) dengan acara mendengar tanggapan JPU atas eksepsi penasihat hukum. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama