Kejahatan 21 Orang Pejabat Dan Mantan Pejabat Bank BoII Tergolong Perkara Berat

Terdakwa Ningsih Sutjiati, mantan Direktur Bank BoII 
JAKARTA (wartamerdeka.info) - Perkara 21 terdakwa kasus Perbankan pejabat dan mantan pejabat Bank of India Indonesia (BoII), yang disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata kasus besar.

Sejak dua pekan silam perkara terdakwa Ningsih Sutjiati, mantan Direktur Bank BoII telah disidangkan.

Ningsih adalah terpidana 4 tahun penjara dalam putusan kasasi pembobolan Bank Yudha Bhakti yang pernah dipimpinnya. Dan wanita berusia 67 tahun ini menurut sebuah sumber masih berstatus tersangka pembobolan bank Yudha Bhakti Rp 480 Miliar berdasarkan Laporan Polisi: LP No.3448/VII/2018/PMJ/Ditreskrimsus Tanggal 3 Juli 2018, atas nama pelapor Edward Sinambela.

Sementara di perkara lain Ningsih dengan debitur Salwinder Sigh Cs (10 tersangka) dimana 3 terdakwanya sudah dihukum di tingkat kasasi antara 5 tahun sampai 7 tahun penjara.

Menurut sumber di Kejaksaan dan seorang pengamat hukum, kasus BoII adalah perkara besar dan terancam hukuman berat.

Seorang yang menjadi direktur atau komisaris bank itu tidak boleh tersangkut dalam perkara pidana apapun. Jadi kalau misalnya dia mendapatkan status tersangka, itu wajib ditinggal oleh bank tersebut dan dilapor ke OJK karena dia sudah melanggar fid and proper. Enggak boleh menyalahi aturan itu, harus bersih, berintegritas. Engga boleh terlibat dalam satu masalah pidana. Apalagi ini ada direktur atau komisaris aktif, secara ketentuan hukumnya  harus berhenti. Kenapa, karena mengurangi kredibilitas dia sebagai pejabat bank. Apalagi banknya bank publik yang mengelola bank masyarakat.

Terus, aturan paling penting yang kita bicarakan dalam kasus BoII terkait 21 orang terdakwa. Persoalan tersebut kategorinya masuk kasus besar. Karena biasanya kejahatan bank itu dilakukan satu dua orang tapi ini dilapor 21 orang dalam waktu kurun tertentu. Artinya ini kasus besar. Kasus besarnya adalah bahwa mengarah kepada kejahatan koorporasi. Kenapa kita kategorikan begitu? Karena ada kepentingan antara yang menjual jaminan dengan yang membeli jaminan.

Obyek jaminan kredit dalam kasus ini dijual/lelang Rp 6,3 Miliar. Setelah dibeli lelang, oleh yang beli, masuk ke jaminan di Bank Panin Rp 25 Miliar. Artinya empat kali lipat. Disatu pihak tadi kita bicara kejahatan koorporasi berarti itu pelakunya lebih dari satu.

Kenapa kita masukkan ke dalam kejahatan koorporasi karena treatmen dengan pelanggaran yang melibatkan banyak orang seperti itu, itu tidak lazim. Tidak lazim dalam arti bahwa kalaupun ada perlakuan dari bank kepada debitur itu ada beberapa opsi.

Opsi pertama, restruktur,  kedua, Ayda, asset yang diserahkan ke bank, ketiga, Cessi (pengalihan hak piutang), ke empat, Lelang. Kelima, bisa juga inovasi yang artinya ganti debiturnya. Misalkan, A punya hutang digantikan si-B.

Nah..., khusus perlakuan terhadap PT Ratu Kharisma ini memang agak berbeda karena mungkin yang macet macet di BoII ini banyak. Tapi engga semua orang dilakukan lelang dengan dibawah harga pasar. Pertanyaannya, ada agenda apa sih sehingga harus si debitur ini dilelang dengan harga murah? Sementara ada debitur debitur lain jumlah hutangnya lebih besar, kemacetan kreditnya lebih parah tapi engga dilelang oleh bank. Jadi ada pertanyaan besar. Cuma mengapa yang membuat kisruh itu karena Bank of India Indonesia membuat catatan admin kredit yang dilaporkan ke BI dan kemudian ke OJK yang namanya Side (Sistem Informasi Debitur). Dalam Side itu bank melaporkan ada hutang kredit Rp 10,5 Miliar. Ada hak tanggung Rp 11,5 Miliar. Ada nilai asset jaminan Rp 15,3 Miliar. Itu yang dilaporkan ke BI melalui Side. Tetapi ternyata apa yang dilaporkan itu tidak sesuai dengan faktualnya. Faktanya hutangnya Rp 10,5 Miliar, jaminan dijual Rp 6,5 Miliar. Sedangkan permasalahan baru timbul karena masih ada sisa hutang yang ditagih pihak bank ke debitur padahal dilaporkan di Side itu nol (lunas).

Atas dasar ini maka terhadap terdakwa dikenakan Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan karena bank melaporkan setelah melelang Rp 6,5 Miliar itu utang nasabah/debitur lunas tapi faktualnya masih ditagih. "Ya kita enggak tahu apa arahnya kesana tetapi saya melihat sebagai pengamat, kita lihat masalah ini cukup berat karena melibatkan mantan Dirut, dan direktur. Tetapi pihak bank sepertinya sudah tidak mengurus lagi pejabat pejabat dalam kategori mantan," kata pengamat yang tidak mau disebut namanya.

Informasinya, pengacara Prakash Sugani (keluarga pemilik BoII lokal), Hotman Paris Hutapea. Tapi terdakwa lain belum tahu siapa. Sedang penasihat hukum  Ningsih Sutjiati pengacara baru, Fransisca Indah Sari, SH dan Haris Fabian, SH. Mungkin juga keduanya pengacara yang lain. Namun dipastikan pengacara tersebut belum mencerna masalah kliennya dalam tempo singkat karena perkara ini rumit dan kasus berat yang tersangkanya 21 orang. Antara satu tersangka dengan tersangka lain kita belum tahu perannya seperti apa. Tapi yang pasti akan saling salah menyalahkan yang bertanggung jawab ialah pejabat atasan.

Diprediksi juga pejabat aktif dengan mantan pejabat tersebut saling menyalahkan karena mantan pejabat tidak diurus BoII. Sebab itu mantan pejabat akan menyalahkan pejabat aktif.

Seperti diberitakan, dimulai pada 2008 saat pelapor Rita Kishore mewakili PT Ratu Kharisma selaku pemberi kuasa mengambil kredit dari pihak PT Bank Swadesi Jakarta, yang sekarang menjadi PT BoII.

Ketika itu penerima kuasa diwakili Ningsih Suciati (selaku direktur).

Rita Kishore menggunakan jaminan kredit berupa sebidang tanah seluas 1.520 M2, berikut Bangunan seluas 1.160 M2 terletak di Jalan Dewi Saraswati III No. 9 RK, Seminyak Bali sekarang Jl. Kunti Utara No. 9 RK, Seminyak, Kuta, (Bali). Saat pengambilan kredit itu di 2008, nilai taksasi jaminan sebesar Rp 15,31 miliar.

PT Ratu Kharisma mengambil kredit sebanyak dua kali dengan nilai Rp 6,5 miliar dan Rp 4 miliar, sehingga total kredit Rp10,5 miliar. Perusahaan telah membayar kredit sebagai bukti keseriusan sebesar Rp 3,5 miliar sehingga sisa hutang sebesar Rp 7 miliar. Dalam perkembangannya PT Ratu Kharisma  mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit, namun debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit dilakukan restrukturisasi.

Namun, PT BoII menolak pemohonan restrukturisasi yang diajukan berkali-kali oleh PT Ratu Kharisma tanpa melalui/melakukan pengkajian permohonan tersebut berdasarkan ketentuan Bank Indonesia.

Di tahun 2009, PT BoII menganggap PT Ratu Kharisma gagal membayar kredit dan mengambil tindakan melelang aset jaminan berupa tanah dan bangunan di Denpasar - Bali.
Jaminan tersebut laku terjual sebesar Rp 6,3 miliar pada lelang kelima.

Merasa tidak puas dengan tindakan sepihak PT BoII, PT Ratu Kharisma melalui Rita KP melaporkan tindak penipuan perbankan itu ke Polda Bali tertanggal 25 Juni 2011 dengan laporan bernomor LP/233/VI/2011/Bali/Ditreskrim.

Dalam prosesnya Polda Bali menghentikan kasus itu dengan mengeluarkan surat ketetapan tentang penghentian penyidikan nomor S.Tap/242b/VI/2014/Ditreskrimsus tertangal 4 Juni 2014.

Merasa tidak puas, manajeman PT Ratu Kharisma melakukan pra peradilan di Pengadilan Negeri Denpasar. PN Denpasar tertanggal 29 Maret 2016 menetapkan SP3 Polda Bali tertanggal 4 Juni 2014 tidak sah dan kasusnya wajib dilanjutkan kembali. Sehingga, pada 20 Juli 2018 kasus tersebut kemudian dialihkan ke Mabes Polri. Selanjutnya, berdasarkan surat Bareskrim Polri tertanggal 12 Mei 2020, perihal pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) disampaikan jika kepolisian telah melakukan penyerahan tersangka Ningsih Suciati dan barang bukti ke pihak kejaksaan.

Selain itu, Mabes Polri telah menetapkan 20 tersangka baru selain Ningsih.(dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama