Dari Kongres Ke Kongres Dan Tokoh-tokoh Muda Potensial HMI


Oleh: Imam Suhardjo HM

(Mantan Ketua PBHMI, Anggota Lembaga Sensor Film {LSF} dan Anggota FP3 DPR-RI 1997-1999, 2004-2009)


Banyak hal bisa ditulis tentang Kongres HMI dan tokoh-tokohnya. Mulai dari Kongres ke XIII di Ujung Pandang tahun 1979. Ketika itu 9 orang mewakili 9 Badko terpilih menjadi Presidium Kongres. Dari Badko Sumbagut Hamzah AR, Sumbar-Riau dr. Suhasril (almarhum), Sumbagsel (maaf saya lupa namanya), Jawa bagian Barat Moh. Roem Alim, Jawa Tengah DIY Muchlis Noor (almarhum), Jawa Timur Imam Suhardjo HM, Bali Nusa Tenggara Ahmad Mudjur, Indonesia Timur (lupa namanya, kelak belIau berkarier sebagai dosen/Guru Besar di UIN Alauddin, dan dari Kalimantan (juga lupa namanya). Kala itu HMI memang hanya mempunyai semilan (9) Badan Koordinasi. 

Di luar masalah-masalah strategis organisasi. 

Kongres ini memilih Abdullah Hehamahua sebagai Ketua Umum, mengalahkan Erwin Syahril (almarhum) dan Laode M Kamaluddin. Pemilihan berjalan cukup panas. Hujan protes dan interupsi terjadi. Menjelang pemilihan mede formatur ke 8 orang presidium sudah kebagian memimpin sidang, tinggal saya yang belum. Maka –tak bisa tidak—saya harus tampil memimpin sidang di tengah suasana yang demikian panas itu.  Saya mencari kiat bagaimana agar sidang bisa tenang dan berjalan lancar. Sesudah sidang dibuka dengan resmi, saya buka dengan pengantar kurang lebih begini:

“Dalam sejarahnya, PKI dan antek-anteknya sangat ingin membubarkan HMI. Tetapi militansi HMI luar bisa. Semakin dikekang, semakin ditekan, HMI akan semakin bangkit melawan. Tak akan ada pihak mana pun bisa membubarkan HMI. HMI hanya bisa bubar kalau HMI sendiri yang mau membubarkan dirinya sendiri.”

Lalu saya angkat palu ke atas sambil berkata dengan lantang: 

“Saudara2, apakah saudara2 setuju jika HMI kita bubarkan?”

“Tidaaaakkkk!” jawaban peserta serentak menggelegar.

“Jika tidak, mari kita lanjutkan sidang dengan tertib dan tenang”, lanjut saya. 

Kemudian saya minta peserta dari Pontianak (yang membaca Alquran dengan indah waktu pembukaan) untuk membaca beberapa ayat Alquran. 

Provokasi saya berhasil. Itulah HMI. Sekeras-kerasnya mereka, jika dilantunkan ayat Alquran, hati mereka luluh, tunduk. Sidang pun berjalan dengan tenang dan lancar. Terpilihlah dua orang Mede Formatur yaitu Edy Yuwono Slamet (Ketua Umum Badko Jatim) dan Uki Kustaman (Ketum Cabang Bandung), mendampingi Ketua Formatur Abdullah Hehamahua. Chumaidi Syarif Romas Ketua Umum sebelumnya (produk Kongres ke XII Semarang) berhasil mengantarkan Sekjennya yaitu Abdullah sebagai Ketua Umum PB berikutnya. 

Ada hal unik dari Kongres Ujung Pandang ini. Kongres berlangsung bersamaan dengan pulangnya Imam Chomeini dari pengasingan ke negerinya: Iran. Turunnya Chumaidi sebagai Ketua Umum dan pulangnya Chomeini menjadi berita di salah satu media cetak dengan judul menarik: CHUMAIDI PERGI, CHOMEINI DATANG. Ada-ada saja. 

Kami pulang dengan kapal laut ke Surabaya. Banyak teman yang di kongres belum sempat akrab menjadi akrab di kapal dalam perjalanan dua hari dua malam itu. 

Kira-kira dua minggu sepulang dari Ujung Pandang ada surat dari PB HMI dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh Sekretaris PB HMI Monang Jihado Harahap. Isinya adalah SK Tim Formatur tentang kepengurusan PB HMI. Di SK itu saya ditetapkan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal. Hah? Padahal tak pernah ada pembicaraan saya akan menjadi PB HMI. Dari Jawa Timur ada tiga nama lagi yaitu Sofwan (Ketua Umum Cabang Surabaya) yang ditunjuk sebagai Ketua, Ario Jatmoko (Bendahara Umum) dan Zainuddin Maliki sebagai Departemen Kader. Tim Formatur menunjuk Ahmad Zacky sebagai Sekretaris Jenderal. Dari Jakarta ada Tony Ardi (Ketua), Syaiful Bahri dan Monang sebagi Sekretaris, Ghozy H Yusuf di Departemen Kemahasiswaan. Teman-teman lain yang masuk kepengurusan periode itu adalah teman-teman dari Bandung: Uki Kustaman (Ketua), Erni Sulle, Muhyidin Abdullah, Mulyadi Basri (Bendahara), Irfan Anshori. Tiga nama terakhir telah mendahului kita. Dari Yogya ada B. Aritonang, Zainal Abidin Anwar, Sudirman Nang (dua nama terakhir sudah almarhum). 

Kami berangkat ke Jakarta untuk memulai tugas sebagai PB HMI. Buyarlah rencana pindah kuliah ke Malang. Berjalan satu semester Sofwan diterima bekerja di sebuah instansi pemerintah (kelak Sofwan meninggalkan tugas itu dan memilih berkarier di Angkatan Laut dengan pangkat terkahir Letnan Kolonel). Dalam resufle pertama saya menggantikan Sofwan sebagai Ketua Bidang Intern. Mendampingi saya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal adalah Harry Azhar Azis. 

Kongres ke XIV Bandung, datang dan perginya tokoh muda potensial HMI.

Kepengurusan periode 1979-1981 berakhir. Sidang Pleno PB HMI menetapkan kongres akan diselenggarakan di Bandung. Ada sedikit insiden ketika Kongres yang akan dibuka di Gedung Sate oleh Wapres Adam Malik itu  tidak segera dibuka karena di barisan undangan ada seorang alumni penandatangan Petisi Lima Puluh. Negosiasi berjalan cukup alot. Tapi entah bagaimana negosiasi berlangsung, akhirnya kongres dapat dibuka dengan aman. 

Dalam bahasan materi Kongres ada hal cukup krusial yaitu tentang eksistensi KAHMI. Dalam kongres sebelumnya –kalau tak salah di Kongres XI Bogor-- KAHMI tidak lagi merupakan kepanjangan dari Korps Alumni HMI tetapi berganti menjadi Keluarga Alumni HMI. Penggantian tersebut didasari pemikiran bahwa suatu saat KAHMI akan menjadi sangat powerfull dan akan sangat mengganggu independensi HMI sebagai organisasi. Banyak alumni keberatan dengan menjadikan KAHMI hanya sebagai organisasi kekeluargaan, setingkat lebih tinggi dari paguyuban. Pada Kongres XIII Ujung Pandang ada upaya untuk mengembalikan KAHMI sebagai Korps Alumni bukan Keluarga Alumni, tapi tidak berhasil. Di Bandung, upaya itu berhasil sehingga KAHMI kembali menjadi Korps Alumni HMI.

Dalam pemilihan Ketua Umum dua kandidat maju yaitu Achmad Zacky Sang Sekjen dan Muhammad Zaidun, Ketua Umum Badko Jawa Timur. Ahmad Zacky memenangkan pemilihan. Zaidun kembali ke Jawa Timur. Kelak tokoh ini dikenal sebagai lawyer handal dan Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 

Karena sering menangani perkaderan, sejak di Cabang saya suka mengamati potensi tokok-tokoh muda yang kelak dapat diharap melanjutkan estafeta kepemimpin HMI. Di Kongres Bandung ada tokoh muda menarik perhatian saya yaitu M. Saleh Khalid, Ketua Umum Cabang Bogor. Pembawaannya tenang, bicara lancar dan argumentatif. Diam-diam saya berharap anak muda ini masuk ke dalam jajaran PB HMI. Rupanya pengamatan saya tak jauh beda dengan Tim Formatur. Saya tidak tahu bagaimana prosesnya, ternyata Saleh masuk ke jajaran PB HMI sebagai Wakil Sekjen. Sedang posisi Sekjen diberikan kepada Harry Azhar Azis, Wakil Sekjen periode sebelumnya. Selain Harry ada nama Nitra Firdaus Arsyad sebagai Ketua Bidang Kemahasiswaan. 

Mahasiswa Universitas Indonesia ini tak kalah menarik. Cerdas, selalu tampil keren, hanya terlalu pendiam, tidak agresif.

Sementara itu ‘rombongan’ Jawa Timur di periode sebelumnya sudah berkurang dua orang yaiu Sofwan dan Ario Jatmoko yang terkena resufle. Saya ingin mengurus kuliah yang tak jadi pindah ke Malang. Zainuddin Maliki menemui saya meminta saran, andaikata dirinya tak masuk jajaran PB HMI. Melihat potensinya, saya berharap dia masuk di jajaran Pengurus Harian PB. Ternyata Zainuddin tidak masuk, sementara saya yang tak berharap apa-apa justru masuk sebagai Ketua persis pada urutan di bawah Ketua Umum. Saya dikontak Zaidun, meminta saya tidak menolak, dan sangat berharap mewakili Jawa Timur yang ‘kecewa’ karena tokohnya tak terpilih. Dilemmatis bagi saya. Saya sadar usia saya sudah di atas 30 tahun, lebih tua dari Ketua Umum. Tapi Ketua Umum pun meminta saya memperkuat kepengurusannya. 

Kembali ke Zainuddin, karena jelas tidak masuk di kepengurusan, menjadi persoalan baginya, apakah akan tetap di Jakarta atau pulang ke Jawa Timur.  Jika tetap di Jakarta, mau ngapain? Tapi beberapa hari kemudian dia menambahkan infomasi, bahwa testing dia sebagai calon PNS di Kanwil Depag Jatim dengan basis ijazah sarjana muda, berhasil lulus. Maka saya sarankan dia untuk pulang ke Jatim, meniti karier sebagai PNS dan meneruskan kuliahnya di IAIN Sunan Ampel, walaupun sebenarnya ia ingin tetap di Jakarta, yang baru dua tahun dihuninya. Gemerlap ibu kota dengan berjuta kemungkinannya menarik minatnya. Tapi dengan serius kukatakan: “pilihlah yang pasti, tinggalkan yang belum pasti”. Jawaban saya normaif saja sebenarnya. Tapi diam-diam saya memang melihat potensi akademis anak muda ini. Selama dua tahun di PB HMI, ada tulisan-tulisannya di beberapa media yang cukup menjanjikan. Analisisnya tajam dan jernih. Bahkan dalam diskusi-diskusi informal di Dipo, pikirannya cukup cemerlang. Erwin Syahril almarhum pernah bilang, Zainuddin itu suka mengkritisi pikiran-pikiran Cak Nur, tidak sebagaimana banyak tokoh mengkritisi Cak Nur. Itu sebabnya kenapa saya dorong dia selesaikan kuliah, daripada tetap di Jakarta tanpa kepastian. Kuingat kata-kataku: “Daripada kau menjadi gelandangan politik, nanti.”

Mungkin termakan saranku, dia akhirnya memilih pulang ke Jatim. Dijalaninya tugasnya sebagai PNS Kandepag Probolinggo sambil terus berupaya menyelesaikan S-1nya. Alhamdulillah, bukan hanya S-1, bahkan S-2 dan S-3 pun diselesaikannya dengan baik. Di kemudian hari dia dikenal sebagai Guru Besar dan pernah menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah di sana. Kini lewat Partai Amanat Nasional dia menjadi Anggota DPR RI periode 2019-2024. Kalau dulu dia ingin tetap di Jakarta mungkin karena ingin membina karier politik, kini obsesi itu tercapai. Tapi setelah malang melintang di dunia akademik dengan embel-embel Professor Doktor.

Kepergian Zainuddin dari Dipo mendapat ganti Saleh Khalid. Saya diminta Zacky membidangi urusan Kepemudaan dan Kelompok Cipayung, dan Wakil Sekjen yang mendampingi saya adalah Saleh Khalid, anak muda yang saya amati punya potensi. Kami sering diskusi tentang banyak hal. Setiap akan ada pertemuan kelompok Cipayung saya wanti-wanti agar dia bisa ikut. Dan dia selalu siap, bukan hanya siap datang tapi siap dengan gagasan dan pikiran-pikiran cerdasnya. Menjadi tradisi, dalam setiap pertemuan kelompok Cipayung, pihak tuan rumah pertemuan harus menyiapkan bahan diskusi, yang tema atau topiknya telah disepakati bersama dalam pertemuan sebelumnya. Suatu kali dalam sebuah pertemuan, Saleh menyatakan kecewa karena pertemuan ditunda. “Padahal saya sudah siap banget, mas!”, katanya. 

Kongres XV Medan dan Kongres XVI Padang, pemilihan di tengah issu asas tunggal

Menjelang Kongres Medan ada issu nasional yang harus siap dihadapi yaitu akan diterapkannya asas tunggal oleh rezim. Sementara itu kasak-kusuk siapa bakal Calon Ketum sudah berseliweran. Dua kongres sebelumnya dua Sekjen (Abdullah dan Zacky) naik menjadi Ketua Umum. Jika Sekjen Harry yang berasal dari Cabang Jakarta, maju sebagai calon --walaupun sah-sah saja-- tentu bukan hal istimewa. Timbul juga wacana, setelah Ridwan Saidi, UI belum tampil sebagai calon Ketua Umum. Ada juga yang berharap Nitra F Arsyad akan tampil. Jika harus dari Cabang Jakarta, kenapa tidak Nitra? Tapi ternyata Nitra mendukung Harry. 

Jika saya berharap Saleh Khalid tampil sebagi calon ada beberapa argument. Pertama, dia sangat muda. Jika terpilih pada Kongres 1983 itu usianya baru 25 tahun, lebih muda satu tahun dibanding Akbar Tanjung yang terpilih di Kongres Palembang pada usia 26 tahun. Kedua, untuk pertama kalinya seorang Wakil Sekjen tampil. Jajaran Ketua menjadi Caketum seperti terjadi pada Akbar, Ridwan dan Chumaidi, sudah biasa. Sekjen menjadi Caketum juga demikian seperti terjadi pada Abdullah dan Zacky. Tapi jika Wakil Sekjen tampil, itu baru luar biasa. Dan benar, akhirnya Caketum mengerucut pada Harry dan Saleh Khalid. Sebagai mana diketahui Harry tampil sebagai pemenang. Saleh Khalid tidak masuk dalam jajaran kepengurusan PB HMI tapi menjadi Anggota MPK, lagi-lagi bersama saya dan tentu tokoh-tokoh lain dari seluruh Indonesia. 

Dalam beberapa kali Sidang MPK dan Sidang Pleno di masa kepemimpinan Harry muncul lagi tokoh potensial. Kali ini dari Sumbagut yaitu Abidin Syah Siregar yang menjabat sebagai Ketum Badko. Sebagai orang yang senang mengamati potensi kader, saya melihat Abidin sangat pantas menjadi Caketum berikutnya. Dan menjelang Kongres ke XVI saya menjabat tangan Abidin menyatakan dukungan padanya untuk menjadi Caketum. 

Dua hari sebelum pemlihan sidang-sidang MPK sudah selesai. Saleh Khalid mengajak saya jalan-jalan ke Bukittinggi mengisi waktu. Kami pergi dari pagi dengan kendaraan umum dan pulang dari Bukittinggi lepas Isya. Dalam perjalanan itu Saleh menyatakan niatnya menjadi Caketum. Saya bilang: 

“Waktumu sudah lewat. Kan sudah nyalon di Medan kemarin,” kata saya.

“Tapi kan saya masih punya hak untuk maju. Mas Imam kan mendukung saya waktu di Medan, masak gak mau dukung kalau saya maju?” jawabnya. 

“Waduh, saya sudah menjabat tangan Abidin untuk maju. Coba jauh-jauh hari bicara, akan lain soalnya,” jawab saya.

Di perjalanan pulang diskusi terus berlangsung. Sampai di lembah Anai, mobil yang kami tumpangi pecah ban. Sialnya di mobil itu tak ada dongkrak. Mobil lain yang disetop tak satu pun mau berhenti. Maklum di tempat gelap menjelang tengah malam pula. Akhirnya kami para penumpang ramai-ramai mengangkat badan mobil supaya bisa ganti ban serep. Alhamdulillah berhasil. Kami meneruskan perjalanan ke kota Padang dan sampai di penginapan lewat tengah malam. Paginya saya pulang ke Jakarta, terus ke kantor saya di Maya Indah Building Kramat Raya. Sorenya teman-teman menyodorkan Koran Sinar Harapan yang memang terbit sore, memberitakan terpilihnya Saleh Khalid sebagai Ketua Umum. Untuk pertama kalinya seorang Anggota MPK terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI. Dan andaikata Saleh terpilih di Kongres Medan, itu menjadi yang pertama kalinya pula seorang Wakil Sekjen menjadi Ketua umum PB HMI. Abidin Syah Siregar kembali ke Medan dan meneruskan tugasnya sebagai dokter. Di kemudian hari Abidin menjadi Pejabat Tinggi di BKKBN. Itulah catatan saya tentang kisah-kisah seputar Kongres HMI dan tokoh-tokoh muda di jajaran elite HMI. 

Saleh Khalid menyelesaikan kepemimpinannya dengan baik. Pada Pemilu 1992 Saleh menjadi Caleg PPP dari Daerah Pemilihan Jawa Timur dan terpilih menjadi Anggota DPR. Begitu juga pada Pemilu 1997, masih dari Dapil Jawa Timur. Itulah kiprahnya terakhir di DPR, untuk kemudian menjadi Anggota KPKPN bersama Abdullah Hehamahua. Seminggu lalu, adinda kita itu telah berangkat mendahului kita. Selamat jalan adikku. Insyaallah kau wafat dalam husnul khatimah. Aamin . 


Bekasi, seminggu setelah wafatnya M. Saleh Khalid.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama