Vonis Robianto Idup Dijadwal Ketua Majelis Hakim Awal September


JAKARTA (wartamerdeka.info) - Pembacaan vonis perkara penipuan atas nama tersangka, Robianto Idup telah ditetapkan ketua majelis hakim, Florensia Kendengan, SH, MH, pada hari Selasa (8/9/2020).

Kepastian vonis tersebut itu dikatakan hakim Florensia, menjawab wartawan, ketika dia bermaksud pulang.

"Tadi Jaksa sudah menyampaikan replik secara lisan  bahwa penuntut umum tetap pada tuntutannya terhadap terdakwa Robianto Idup. Tim penasihat hukum juga menyatakan tetap pada pembelaannya. Jadi tinggal membacakan putusan," kata Florensia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (1/9/2020).

Seperti pemberitaan  berbagai media, terdakwa Robianto Idup, telah dituntut pidana oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Boby Mokoginta, SH, MH dan Marley Sihombing, SH, MH, tiga setengah tahun (42 bulan) penjara karena terbukti menipu saksi Herman Tandrin, berkisar Rp 72 Miliar.

Terdakwa Robianto melakukan penipuan terhadap saksi korban diduga pada tahun 2012, terkait pekerjaan membuka tambang batubara di sebuah desa, Kalimantan Utara.

Robianto Idup adalah pemilik tambang atas nama PT Dian Bara Genoyang (PT DBG). Dia juga adalah komisaris dan pemegang saham mayoritas PT DBG.

Pengerjaan tambang dilakukan kontraktor PT Graha Prima Energy (PT GPE) milik saksi korban Herman Tandrin.

Menurut Herman Tandrin ketika bersaksi dalam persidangan dia mengalami kerugian Rp 72 Miliar dalam kasus ini karena ada dua invoice PT GPE belum dibayar PT DBG.

Seperti diberitakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Boby Mokoginta, SH, MH dan Marle Sihombing, SH, MH, mendakwa Robianto Idup melakukan penipuan dan penggelapan dalam pengelolaan tambang batubara milik PT DBG yang dikerjakan kontraktor PT GPE milik Herman Tandrin. 

Disebut jaksa ada dua invoice PT GPE tidak dibayar PT DBG/Robianto Idup yang nilainya Rp 72 Miliar. Angka ini adalah kerugian PT GPE atau saksi pelapor Herman Tandrin.

Tagihan (Invoice) PT GPE yang tidak dibayar oleh Robianto Idup (PT DBG) : 

1. Invoice sampai dengan bulan Juni 2012 sebesar Rp 22 Miliar.

2. Invoice bulan Juli-Nop 2012 sebesar  Rp 50 Miliar.

Kalaupun perkara tersebut diarahkan ke perdata tetap harus dibayar hak PT GPE, ungkap jaksa.

Dari persidangan terungkap persoalan timbul di bulan Juli 2012 ketika terjadi peristiwa longsor dan tagihan Kontraktor PT GPE  tidak dibayar oleh PT DBG. Lantas kedua pihak  adakan meeting di Hotel  Kempinski. Dalam rapat tersebur  Robianto Idup  meminta PT GPE tetap melanjutkan Kerja Tambang dan menghasilkan batubara dengan janji PT DBG akan bayar Tagihan Invoice GPE.

Faktanya : Tetap tidak dibayar dan proyek di-stop oleh PT DBG !!! 

Sedangkan menurut tim penasihat hukum terdakwa yang terdiri dari Hotma Sitompul, SH, Ditho HF Sitompul, SH, LLM dan Philipus Harapenta Sitepu, SH, MH, perbuatan terdakwa Robianto Idup bukan pidana tapi ranah perdata.

Menurut Ditho, pembelaannya disarikan dari keterangan ahli Dr. Dian Adriman, SH dari Universitas Trisakti.

Pada saat bersaksi, Ahli Adriman yang dihadirkan oleh JPU menyebutkan perkara a quo adalah perkara yang masuk ranah keperdataan. Karena ada perjanjian dan masih dalam konteks perjanjian.  

Kata ahli, sejak awal  ada perjanjian antara PT Graha Prima Energy (PT GPE) dan PT Dian Batara Genoyang (PT DBG), keduanya terikat pada perjanjian tersebut. Dan pada  saat peristiwa perkara a quo masih masuk dalam konteks perjanjian. 

"Terlebih lagi terdakwa adalah komisaris bukan penanggung jawab perusahaan sehingga kami memohon kepada majelis hakim agar membebaskan terdakwa," kata Hotma Sitompul.

yang dalam sidang menyatakan adanya surat perjanjian kerja antara PT DBG dan PT GPE yang berlaku 3 tahun. Selama perjanjian belum habis maka perbuatan tetap perdata karena adanya perjanjian mengukat diantara dua perusahaan ini.

Tim penasihat hukum juga mengklaim bahwa PT DBG dirugikan dalam kerja sama tersebut karena pekerjaan PT GPE tidak memenuhi target dan terjadinya longsor di areal tambang.

Terkait pembelaan tim penasihat hukum di atas, JPU tegaskan bahwa PT DBG mengklaim terjadi keterlambatan kerja atau tidak capai target dan longsor hingga merugikan mereka, tetapi klaim tersebut tidak dapat diterima PT GPE. Sebab, intansi terkait sebelumnya sudah mengisyaratkan bakal terjadi longsor di lokasi sesuai kemiringannya. 

Sedangkan mengenai target tidak tercapai hal itu sepenuhnya disebabkan kandungan batubara tidak sebesar yang diprediksi PT DBG. PT GPE sendiri bekerja sesuai titik-titik yang ditentukan PT DBG. 

Jika kandungan batubara banyak di titik yang ditunjuk tersebut maka batubara yang dihasilkan PT GPE akan melampaui target sebagaimana yang terjadi beberapa kali.  “Jadi, berbagai klaim itu tidak didukung bukti-bukti dokumen sama sekali,” kata jaksa.

Dalam kasus sama telah dihukum Dirut PT DBG Imam Setiabudi. Bahkan putusannya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam putusan itu secara meyakinkan disebutkan Robianto Idup terlibat dalam kasus penipuan sama bahkan diklasifikasikan sebagai aktor intelektual kasus tersebut.(dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama