Sehan Salim Landjar: Inmendagri Ancam Pecat Kepala Daerah, Bisa Dipolitisir untuk Jatuhkan Lawan Politik

Calon Wakil Gubernur Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar

BOLTIM
(wartamerdeka.info) - Calon Wakil Gubernur Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar mengkritisi Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Covid-19 yang mengancam pencopotan kepala daerah.

Menurutnya, sanksi pemberhentian bagi kepala daerah yang tidak menegakkan protokol kesehatan Covid-19, tidak dapat dilakukan sepihak oleh pemerintah pusat. 

"Instruksi ini terkesan sebagai emosional, gelagapan, panik dan akhirnya mengalami jalan buntu. Kemudian memaksakan diri dan ini menjadi masalah. Sampai kepala daerah diancam. Nantinya bisa ditunggangi, dipolitisir dan ini sangat berbahaya," ujar Bupati Boltim non aktif kepada otonominews, Kamis (18/11/2020).

Misalnya, dia mencontohkan di daerahnya  aman lalu datang pada acara perkawinan, mengadakan kunjungan dan rakyat yang mencintainya lalu mengerubungi. Tiga hari kemudian ada yang memainkan bahwa ada yang positif Covid akibat ada bupati di kerumunan itu. 

"Terlalu mudah untuk menjatuhkan seorang bupati kalau peraturan ini salah penerapannya. Makanya saya kira jangan kelihatan panik, gelagapan dan buntu. Jangan sampai berujung ada pemecatan. Enak sekali para lawan politik memainkan. Bisa saja getahnya kena kepala daerah yang kebetulan berada disitu," ucap Sehan yang dua kali terpilih jadi Bupati Boltim 

"Kalau rakyat yang berkerumun bagaimana ? Kalau itu masalah orang berkerumun mengapa di pasar dibiarkan?. Namanya kerumunan pimpinan daerah turun kemudian rakyat mengerubuti masa dilarang. Kepala daerah diundang hajatan lalu datang apa ditulis di undangan hanya 50 orang, bapak no 50. Saya khawatir aturan ini sebentar akan mentah lagi," sambungnya.

Menurutnya keputusan tersebut tanpa kajian yang benar kalau sampai ada kepala daerah yang diberi sanksi pencopotan. Dia juga mempertanyakan apakah dalam uu tentang wabah, uu kesehatan, uu karantina ada sanksi sampai seberat itu. 

"Belum ada di negara manapun sampai memberikan sanksi kepada kepala daerah atau pejabat negara seperti itu. Ini sangat berbahaya sekali. Karena ini bisa saja dipolitisir kemudian menjatuhkan lawan politik. Namanya di Indonesia saling menjatuhkan dalam politik sangat tinggi sekali. Bisa saja direkayasa dsb," katanya.

Maka, dia mengingatkan, perlu kajian yang mendalam membuat aturan. Karena ini bisa menimbulkan permasalahan baru kalau salah menetapkan aturan dan penerapannya. 

"Jadi saya kira perlu ada kajian mendalam. Bayangkan kepala daerah yang mendapatkan jabatan dengan susah payah tapi karena kebetulan  ada datang orang berkerumun langsung dicopot," cetusnya.

Sehan khawatir kalau sampai terjadi dibuat aturan itu bisa jadi tunggangan politik banyak yang jadi korban. Bisa saja terjadi seperti itu memilih milih kepala daerah yang harus diberi sanksi. Di Indonesia, katanya, banyak yang tidak salah bisa disalahkan bukan memperbaiki kesalahan orang. Orang yang tidak bersalah saja disalahkan apalagi yang tidak satu paham.

 "Itu saja ada uang negara di kementerian yang mangkrak tidak berjalan dengan benar. Dananya diam saja itu persoalan juga jika dibanding kepala daerah yang tidak menghindari dari kerumunan langsung diberi sanksi pemecatan," tukasnya.

Dia berharap jangan membuat aturan yang membuka peluang orang yang suka mencari-cari kesalahan. Kalau aturan ini turun bisa saja orang yang jahil yang suka menyalahkan orang yang senang orang menderita itu pasti punya ruang untuk memainkan.

"Saya memohon kepada bapak menteri dan anggota DPR hati-hati dalam membuat aturan. Karena kita di negara yang banyak aturan akhirnya tumpang tindih. Aturan tidak efektif akhirnya menjadi masalah. Kepala daerah sudah berdarah darah dalam menangani Covid-19, dengan anggaran yang minim karena dipotong. Saya sudah 20 hari berkeliling alhamdulillah daerah saya masih aman. Jadi kepala daerah ditengah kerumunan sulit dihindari," ungkapnya..

Sehan menerangkan, Indonesia sudah 75 tahun merdeka tapi masih bereksperimen terus dalam membuat undang-undang karena tidak pernah melakukan kajian secara komprehensif yang matang, semuanya serba terburu-buru. 

Panggil para pakar sejauh mana bahayanya. Suruh ahli virus dan ahli bakteri suruh bicara sejauh mana berbahayanya, bagaimana cara menghindari dan kalau terkena bagaimana cara mengatasi.

"Kita harus banyak belajar dari kegagalan aturan yang dicabut karena tidak efektif justru menimbulkan masalah. Uu itu kan berlaku holistik bahaya uu ini kalau tidak diproteksi secara baik," ujarnya.

Dia berpesan kepada pihak yang berkompeten untuk hati-hati membuat aturan. Jangan sampai terlalu banyak aturan akhirnya bukan menjadi solusi tapi justru menjadi masalah. Apalagi kita berupaya jangan sampai penanggulangan  Covid ini hilang. 

"Paling tidak kekebalan tubuh lebih kuat daripada Covid-19. Ekonomi diperkuat biar kita sehat. Namanya juga penyebaran virus sejak nenek moyang tidak hilang. Cuma yang terjadi imun kita jadi kuat. Kedisplinan saja yang diterapkan," katanya.

"Tanya ke presiden dan menkes yang mati karena jantung sejak Maret berapa banyak? Lebih dari 200 ribu. Yang mati karena kanker, dbd, ginjal itu sudah ratusan ribu ketimbang mati karena Covid sebanyak 15.500 orang meninggal. Untuk DKI Jakarta sebelum Covid yang meninggal 3364 orang tiap bulan. Sedang Covid baru 2000 setelah 8 bulan," terangnya.

Akhirnya, sambungnya, karena gaduh jadi bisnis mau impor vaksin puluhan triliun. Karena stigma Covid-19 membuat orang pada ketakutan. "Jangan bikin ketakutan rakyat. Akhirnya kelihatan sekarang ini semuanya mau beli dari China," tukasnya.

Sehan mengatakan pemerintah tidak terbuka. WHO yang jadi panutan kita tidak ada standar Covid-19. Hanya menerka bahwa virus bisa lemah jika pakai sabun mati, alkohol 70 persen mati, di tempat terbuka di atas 10 derajat mati. Hindari droplet. 

"Kenapa yang mati divonis Covid, padahal dia tidak bersin dan batuk. Sudah disemprot 7 kali tidak boleh keluarga ambil. Padahal mandikan saja pakai sabun," pungkasnya.

Menurutnya ini salah pemerintah sejak awal. Ketika Anies Baswedan pada bulan Maret sudah minta waspada sejak bulan Februari, menkes bicaranya berbeda kemudian presiden memujinya. 

"Begitu Covid menyerang dan Menhub terkena, pemerintah bilang tidak boleh memakai masker selain masker N95. Sebulan kemudian yang penting pakai masker. Ini kan pemerintah sendiri plin plan. Celakanya bukan ahli kemudian bicara tentang penyakit," katanya. (A)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama