Pilkada Serentak Pagelaran Klasik Politik Uang


TANGERANG (wartamerdeka.info) -Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar Rabu, 9 Desember 2020, di 270 daerah berpotensi terjadi kecurangan.

Tidak kurang dari 715 calon kepala daerah di sembilan provinsi, 31 kota dan 224 kabupaten, akan melakukan berbagai macam cara untuk memperoleh kemenangan.

“Semua elemen masyarakat, terutama lembaga pengawas (Bawaslu) agar lebih jeli dan kritis mengawasi setiap gerakan pelaksanaan pilkada di semua sisi,” kata Uten Sutendy, Presiden Banten Club, pada acara diskusi ngopi bareng, Minggu (6/12/2020) di salah satu Cafe Kota Tangerang.

Uten menjelaskan, potensi kecurangan sangat klasik dan selalu terjadi setiap digelarnya pesta demokrasi.

"Potensi kecurangannya gak akan jauh dari persoalan klasik, yakni money politic (politik uang)," kata Uten.

Seperti di Banten, lanjut Uten, money politic dalam Pilkada sudah menjadi tradisi lama yang terus menerus dipertahan dan polanya mudah terbaca.

Biasanya uang yang diberikan di dalam amplop pada pagi hari, yang dikenal dengan serangan fajar, atau dilakukan dengan cara door to door (pintu ke pintu).

"Mungkin sekarang caranya sudah bisa lebih canggih lagi. Bisa lewat transfer e-banking mengatasnamakan pihak lain," kata Uten.

Pertanyaannya, kenapa money politic masih dianggap potensial di setiap kegiatan Pilkada.

"Ya, sederhana saja, klasik juga alasannya. Sebagian besar peserta pilkada kan orientasinya meraih atau mempertahankan jabatan, bukan ingin membangun daerah atau membangun kota,” kata Uten.

Pada akhirnya, Uten menegaskan, uang menjadi modal utama para calon atau jaringan kekuasaan, bukannya modal gagasan atau modal karya untuk membangun.

Alasan lain, menurut Uten, lemahnya kontrol sosial dari masyarakat dan dari lembaga-lembaga pengawas seperti Bawaslu atau Panwas, dan lainnya.

Bahkan, sudah terpatri di kalangan masyarakat bahwa pilkada identik dengan money politic itu sendiri. 
"Nah kalau sudah begini apa yang bisa dilakukan oleh lembaga kontrol dan pengawas pilkada?" kata Uten.

Kenyataan ini, lanjutnya, sangat memprihatinkan jika lembaga pengawas dan masyarakat belum merubah mindsetnya atau cara pandang terhadap pelaksanaan pilkada.

Pada akhirnya, pilkada hanya menjadi ajang menebar uang yang nilainya miliaran rupiah.

Ini tentu menjadi pagelaran yang tidak dapat diandalkan untuk melahirkan pemimpin baru yang berkualitas dan berintegritas. Selain itu, secara langsung membunuh kualitas demokrasi.

 "Selamanya demokrasi kita hanya akan jadi demokrasi perut kosong atau demokrasi prosedural, bukan demokrasi sebagai media untuk melahirkan pemimpin harapan rakyat," tegas Uten .

Menurut Uten, tak ada cara lain untuk mengurangi kecenderungan money politic di musim pilkada, selain para penegak hukum harus lebih pro aktif dan tegas memberikan hukuman yang keras bagi para pelanggar.

Bila perlu, lanjut Uten, sekali-kali ada calon gubernur, bupati dan walikota yang didiskualifikasi karena money politic.

"Itu bisa seru. Tapi belum pernah ada kan? seperti Pilkada di Banten yang didiskualifikasi!?..hehhe," kata Uten sedikit menyindir.(jsp)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama