Dosen UKI Dr Marina Silalahi, SPd MSi Dilantik Jadi Profesor Ilmu Etnobotani

Dr Marina Silalahi, SPd MSi (kanan) saat menerima SK sebagai Profesor

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Dr Marina Silalahi, SPd MSi,  dosen Program Studi (Prodi) Pendidikan Biologi pada FKIP  Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta dilantik sebagai Guru Besar (Profesor), Kamis (21/1/2021).

Pelantikan ini berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 143021/MPK/KP/2020 tanggal 10 Agustus 2020 tentang Kenaikan Jabatan Akademik Fungsional Dosen sebagai Profesor atas nama Dr Marina Silalahi SPd MSi dalam bidang ilmu Etnobotani.

Penyerahan Surat Keputusan Pengangkatan Profesor ini berlangsung Ruang Ratulangu, Kantor LLDIKTI Wilayah III, Jakarta Timur

Dr Marina adalah lulusan S3 Ilmu Biologi Universitas Indonesia dengan disertasi berjudul "Etnomedisin Tumbuhan Obat pada Etnis Batak Sumatera Utara dan Perspektif Konservasinya".  

Penulis utama buku berjudul "Tumbuhan Obat Sumatera Utara Jilid I: Monokotiledon" dan  "Tumbuhan Obat Sumatera Utara Jilid II: Dikotiledon" ini  memang dikenal cukup intens mendalami dan mengembangkan ilmu Etnobotani.

Kepada wartamerdeka.info, hari ini, Prof Dr Marina mengemukakan,  secara empirik, masyarakat lokal di Indonesia maupun di negara lain telah lama memanfaatkan keanekaragaman lingkungan sekitar untuk menunjang kehidupannya. Namun catatan tertulis mengenai pemanfaatannya belum banyak ditemukan terutama pada saat ilmu dan teknologi belum berkembang dengan baik. Salah satu yang dianggap cukup representatif merekam tetumbuhan dalam lanskap Jawa adalah relief pada susunan batu yang membentuk kaki terbenam candi Borobudur.

Di Indonesia secara fisik etnobotani sebagai ilmu ada sejak tahun 1983, dengan diresmikannya Museum Etnobotani di Herbarium Bogoriense yang berlokasi di Bogor dan berhadapan dengan Kebun Raya Bogor. 

Dalam museum tersebut disimpan berbagai koleksi yang berhubungan dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati, khususnya tumbuhan dari masa ke masa. 

Dalam berbagai museum juga sebenarnya banyak ditemukan berbagai kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan tumbuhan. 

Salah satu yang pernah dia kunjungi adalah museum T.B. Silalahi Center di Sumatera Utara. Pada museum tersebut disimpan berbagai material berupa alat masak, alat pertanian, manuskrip pengobatan, bahan tenun, dan lainnya yang mengungkapkan kekayaan pengetahuan masyarakat lokal khususnya etnis Batak. 

Dalam prakteknya etnobotani menekankan bagaimana mengungkap keterkaitan budaya masyarakat (antropologi) dengan sumber daya tumbuhan (botani) di lingkunganya secara langsung ataupun tidak langsung. 

Hal tersebut mengutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tumbuhan dalam lingkup hidupnya. 

"Disiplin ilmu etnobotani berasosiasi sangat erat dengan ketergantungan manusia pada tumbuh-tumbuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya," ujarnya.

Filosofi yang mendasari pemikiran ahli etnobotani tentu bagaimana cara pandang seorang ahli tumbuh-tumbuhan (botanis) berlaku sebagai seorang etnograf dan sebaliknya seorang etnolog mampu memahami tumbuhan, bagaikan seorang ahli botani. 

Etnobotani harus mampu mengungkapkan keterkaitan hubungan budaya masyarakat, terutama tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam memahami sumber daya nabati di lingkungan dimana mereka bermukim.  

Pemaparan etnobotani harus diungkapkan “tempatan” (emik) untuk kemudian secara taat asas dibuktikan dari latar belakang ilmiah (etik).  Pendekatan emik adalah pendekatan berdasarkan sudut pandang masyarakat,  sedangkan pendekatan etik adalah pendekatan berdasarkan sudut pandang ilmu pengetahuan. 

Pendekatan emik bertujuan untuk memperoleh data mengenai pengetahuan masyarakat tentang objek yang sedang diamati menurut kacamata dan bahasa mereka, tanpa harus diuji kebenarannya.

Saat ini, tambahnya, perkembangan penelitian etnobotani mengalami kemajuan di seluruh dunia, namun fokusnya bervariasi.  

Penelitian etnobotani di Asia lebih diarahkan pada pendokumentasian pengetahuan tumbuhan obat, sedangkan di Afrika lebih diarahkan pada pengetahuan pertanian tradisional yang dipadukan dengan program pengembangan wilayah pedalaman. 

"Walaupun demikian bila ditelusur dari publikasi yang ada, kemajuan penelitian etnobotani paling banyak terjadi di Amerika. Lebih dari 50% publikasi penelitian yang dihasilkan berasal dari Benua Amerika sisanya berasal dari wilayah lain," ungkapnya. 

Hal tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa penelitian di negara kita (Indonesia) masih tertinggal dari negara lainnya, padahal sejak jaman dahulu Indonesia terkenal dengan tanaman rempah dan jamu-jamuan, serta keragaman bahan pangan lokal.  

Karena itulah Prof Dr Marina bertekad untuk terus mengembangkan ilmu etnobotani ini di Indonesia.

Terlebih dia juga melihat, masyarakat lokal yang selama ini bermukim di pinggiran hutan dan menggantungkan diri ke hutan mulai meninggalkan berbagai kearifan lokal tentang pemanfaatan tumbuhan. 

Penggalian pemanfaatan tumbuhan mulai tertinggalkan, dan kebudayaan lokal digantikan dengan moderisasi. 

"Hal tersebut menjadi warning bagi kita semua bahwa kita harus secepatnya mendokumentasikan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh ratusan etnis di Indonesia sebelum pengetahuan itu menjadi lenyap," tandasnya. 

Peneliti-peneliti etnobotani atau etmomedisin merupakan jawaban utama masalah ini. "Diharapkan akan lahir etnobotanis-etnobotanis baru dari mahasiswa yang berkolborasi dengan peneliti dibidang Kedokteran, Pembudidaya Tanaman, Farmasi, Pertanian sehingga hasil pengembangan pengetahuan lokal etnis-etnis di Indonesia dapat dirasakan secepatnya," pungkasnya. (Aris)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama