Laporkan Tiga Hakim PN Jakarta Selatan Ke KY, MA Dan KPT DKI Jakarta Sejak September 2020 Pelapor Belum Dapat Penjelasan

Majelis hakim PN Jakarta Selatan yang dilaporkan ke KY oleh Herman Tandrin.

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Pengaduan Herman Tandrin ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) tentang tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan laporan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH), sejauh ini belum mendapat kejelasan dari KY.

Ketika dikonfirmasi tentang pengaduannya itu, melalui WA Kamis (25/2/2021) Herman Tandrin mengatakan dipanggil secara langsung belum pernah, tetapi diminta Syarat Bukti Pendukung sudah pernah dilakukan KY.

Apakah bapak Herman Tandrin pernah tanya ke KY sejauh mana respon pengaduannya (sdh diproses KY apa blm)? kejar wartawan. "Sudah direspons oleh KY tapi masuh belum ada progress sejauh ini," jawabnya.

Menurut pengusaha ini, perkembangan terahir pengaduannya terhadap KY dan MA itu telah dilengkapi dengan bukti dan keterangan sebagaimana permintaan KY untuk melengkapi pengaduan  dengan menambahkan bukti pemberitaan media Online dan  keterangan bermaterai dari orang tertentu.

Pengaduan Herman Tandrin yang menjabat Dirut PT Graha Prima Energi (GPE), terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pimpinan Dr Florensani S Kendenan SH MH ke KY dan Ketua MA atau Ketua Muda Bidang Pengawasan MA dan Pembinaan (Tuada Wasbin), Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan ke Hakim Pengawas Daerah (Hawasda), setelah lama tidak terdengar pekan ini viral lagi.

Herman Tandrin ini juga nyerempet dua hakim anggota majelis hakim Dr Florensani S Kendenan, yakni Arlandi Triyogo SH MH dan Toto Ridarto SH MH dengan penyimpangan KEPPH dalan pengaduan tersebut.

Menambahkan keterangannya, Herman Tandrin mengatakan benar, melaporkan tiga hakim itu ke KY, pada Senin 28 September 2020 lalu. 

"Saya berharap KY dan MA menindaklanjutinya sesuai prosedur hukum yang berlaku,”kata Herman.

Laporannya ke KY mengadukan putusan majelis hakim pimpinan Florensani yang dinilai janggal dalam kasus penipuan dan penggelapan yang dilaporkannya, dengan terdakwa Robianto Idup, (Komisaris PT Dian Bara Genoyang/DBG). Majelis hakim dalam kasus ini memutuskan Robianto Idup tidak melakukan tindak kejahatan penipuan dan penggelapan, padahal dalam kasus yang sama telah menghukum Ir Iman Setiabudi, selaku Dirut PT DBG, di pengadilan yang sama yakni PN Jakarta Selatan juga.

"Gara-gara vonis onzlagh terhadap Robianto Idup tersebut, terjadi perbedaan atau pertentangan putusan PN Jakarta Selatan untuk satu kasus penipuan dan penggelapan. Irman Setiabudi yang dijatuhi hukuman satu tahun penjara, bahkan perkara telah berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan perkara Iman Setiabudi disebutkan pula bahwa Iman Setiabudi bersama-sama dengan Robianto Idup telah melakukan tindak kejahatan yang merugikan Herman Tandrin, Dirut PT GPE, 74 miliar rupiah,” jelasnya.

Selain itu, Herman Tandrin menyebutkan sejak awal persidangan kasus itu, telah banyak kejanggalan sehingga memunculkan tanda tanya bagi dirinya. Misalnya jadwal sidang tidak menentu hingga pernah berlangsung sampai larut malam, hingga pukul 22.30 WIB. Majelis hakim tampak juga begitu segan melihat tim penasihat hukum terdakwa bahkan terkesan keberpihakan.

"Ada yang janggal-janggal selama persidangan itu. Tidak pernah dibahas dan dipermasalahkan perjanjian pekerjaan penambangan batubara, namun putusan majelis hakim menyebutkan perbuatan yang menurut jaksa sebagai tindak pidana penipuan dan penggelapan menjadi perdata karena dilakukan pada masa berlaku perjanjian,”tambah Herman Tandrin.

Herman Tandrin selaku saksi pelapor yang juga korban penipuan dan penggelapan ini, menduga majelis hakim tersebut telah melanggar Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY No 02/PB/MA/IX/2012 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, khususnya pasal 5 ayat 2 huruf e dan pasal 11.

Pasal 5 ayat (2) huruf b berbunyi: hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Sedangkan pasal 5 ayat (3) huruf a juga mengisyaratkan: hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan.

Tidak itu saja, kata Herman dalam pasal 14 ayat (1) dan (2) juga mengisyaratkan; profesional bermakna suatu sikap yang dilandasi oleh tekat untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, ketrampilan dan wawasan luas. 

Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.

"Perbuatan melanggar KEPPH dapat merusak citra lembaga peradilan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan dan mewujudkan kewibawaan dan martabat lembaga peradilan, saya selaku pelapor berharap KY dan MA menindaklanjuti pengaduan ini sesuai prosedur yang berlaku,”tandas Herman Tandrin. 

Perkara penipuan dan penggelapan ini terkait pengolahan tambang batu bara di Kalimantan Timur antara  Komisaris PT DGB Robianto Idup dan Dirut PT DBG Imam Setiabudi, dengan Herman Tandrin.

Robianto Idup dan Imam Setiabudi diadili di PN Jakarta Selatan  didakwa tidak membayar kontraktor PT GPE milik Herman Tandrin senilai Rp 74 Miliar dalam pengelolaan tambang batu bara tersebut. Imam Setiabudi divonis bersalah dengan hukuman satu tahun penjara. Sedangkan Robianto Idup divonis onslagh. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama