Tokoh Superman Generasi Baru Biseksual, Etiskah?

Oleh: Hiras Juangga PS

(Mahasiswa Pasca Sarjana UGM/ Konsultan)

Sepekan ini, media diramaikan dengan pemberitaan DC Comics mengkonfirmasi tokoh Superhero favorit banyak orang, Superman sebagai seorang biseksual.  Jonathan Kent merupakan putra semata wayang dari Clark Kent dan Lois Lane yang kini mengemban tugas sebagai Superman penyelamat bumi. 

Adapun Tom Taylor, penulis komik Superman sangat meyakinkan telah mendapat dukungan yang sangat emosional dari negaranya dan negara-negara Eropa termasuk Australia atas identitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dari Superhero DC tersebut. Tom mengingatkan edisi terbaru ini dapat dinikmati November, tahun ini.  Tapi bagaimana menjelaskan hal tersebut kepada banyak anak yang notabene juga penggemar berat Superman?

Etiskah Hal Tersebut di Negeri Kita? 

Etika berkaitan dengan standar moral perorangan dan masyarakat tertentu yang menilai apakah sesuai atau tidak terhadap standar yang diberikan. Oleh karena itu etika bersifat relatif dalam masyarakat. Konsep Diversity pada budaya Barat memandang aspek perlindungan perempuan dan orang cacat harus sejajar dengan aspek perlindungan kaum LGBT. Tentunya konsep Diversity tersebut akan menghadapi tantangan bila ditelan bulat-bulat dan diterapkan pada budaya Timur, khususnya di Indonesia yang kental dengan nilai moral dan agama yang kuat. 

Pemerintah dituntut lebih bijaksana dan berhati-hati memandang persoalan ini. Suka atau tidak suka, realita di masyarakat menunjukkan eksistensi yang semakin meningkat. Keberadaan LGBT nyata-nyata dapat ditemukan dalam berbagai aktivitas yang dibagikan di media sosial, tayangan televisi serta berdirinya beberapa lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan untuk melindungi kaum LGBT, seperti organisasi Arus Pelangi, Gaya Nusantara, Arus Pelangi, Ardhanary Institute, GWL INA. Berdirinya lembaga tersebut dilandasi bahwa Kaum LGBT berhak berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta memperjuangkan hak-haknya di jalur hukum yang berlaku di Indonesia (legal equality rights). 

Fenoma LGBT yang terjadi pada masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dipandang sebelah mata atau bahkan diabaikan. Eksistensi LGBT pun sudah masuk ke institusi Polri, TNI. Sebenarnya TNI dan  POLRI sudah sejak lama tegas melarang LGBT di tubuh organisasinya melalui Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST No ST/398/2009 tanggal 22 Juli 2009 yang ditekankan kembali dengan Telegram Nomor ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019. Demikian pula dengan Polri,  bentuk ketegasannya dituangkan melalui Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. 

Namun, pada tahun 2020, Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung, Mayor Jenderal (Purn) Burhan Dahlan menegaskan adanya kelompok LGBT TNI-Polri. Pernyataan tersebut dikuatkan dengan berbagai rangkaian pemberitaan media massa terkait hubungan seks sesama jenis yang melibatkan anggota TNI, Polri. Kasus teranyar Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya memecat dan memenjarakan seorang anggota TNI yang terbukti berhubungan seks sejenis dengan delapan pria yang didominasi oleh anggota TNI. 

Kembali ke DC Comics. Dikenal sebagai raksasa penerbit komik berbasis di Amerika, sekaligus pemilik tokoh Superman lintas generasi  yang hingga sekarang bersaing ketat dengan Marvel  dan Yup. Karakter korporasi di Amerika dan Eropa menaruh perhatian serius terhadap diversity. 

Pada tahun 2018, DC Comics meluncurkan soft re-boot dengan tema ‘Rebirth’. Tujuannya untuk menghindari kejenuhan guna mempertahankan loyalitas penggemarnya. Strategi yang diterapkan adalah optimalisasi dan efisiensi, yakni memangkas komik karakter yang sudah tidak laku lalu menggali kreativitas timnya untuk mengembangkan karakter inti yang selama ini telah mendongkrak penjualan. Superman salah satu karakter yang dimaksud. 

Analisa diatas menjadi cikal bakal Superman biseksual yang mengundang kontroversi. Sebagai perusahaan besar tingkat global, DC Comics tentunya sudah melewati berbagai tahapan riset dan pertimbangan utilitarianisme, hingga akhirnya dengan mantab merilis karakter Superman terbaru. Fenomena LGBT di Indonesia saya yakini telah menjadi salah satu obyek riset di negara berbudaya Timur sebelum DC Comics memutuskan untuk meluncurkan Superman biseksual. 

Faktanya keberadaan LGBT di negeri kita masih mendapat kecaman publik. Kecaman tersebut semakin menjadi-jadi dipicu oleh beberapa peristiwa perbuatan melanggar hukum yang melibatkan kaum  LGBT. Seperti penggerebekan pesta gay di Kelapa Gading (22/5/2017), penangkapan pesta narkoba di Klub Gay Sunter (30/9/2018), penggerebekan pesta gay di Cianjur (13/8/2018), penggerebekan pesta gay di Kuningan Jaksel (28/8/2020). 

Padahal, deretan peristiwa tersebut tidak dapat menggeneralisir penilaian terhadap kaum LGBT. Tidak sedikit posisi-posisi dan peran strategis diisi oleh kaum LGBT di berbagai sektor swasta maupun aparatur sipil negara, khususnya di dunia kreatif dan hiburan.  

Suka atau tidak suka, LGBT masih dianggap tabu di negeri kita. Para pemangku kepentingan seolah-olah meniadakannya karena ogah dicap melegitimasi LGBT. Alhasil para penegak hukum nampak gagap ketika dihadapkan dengan kasus-kasus yang berhubungan dengan LGBT. Pasalnya, perangkat hukum di negeri kita belum mampu mengakomodir realita LGBT pada masyarakat luas. 

Dalam suatu peristiwa penggerebekan terhadap pasangan pria dan wanita yang bersetubuh di sebuah kamar hotel. Setelah dimintai keterangan, pasangan yang tertangkap ternyata sudah menikah, alias beristri dan bersuami. Tentunya tidak sulit menjerat kedua tersangka dengan Pasal 284 ayat (1) KUHP, yang efektif dikenakan bagi tersangka berstatus menikah. 

Namun, bagaimana bila peristiwa penggerebekan dilakukan terhadap pasangan sesama jenis yang bersetubuh di sebuah kamar hotel ? Sementara kedua tersangka atau salah satu yang tertangkap mengaku berstatus menikah di luar negeri, faktanya Indonesia tidak mengakui pernikahan sesama jenis.  Jerat hukum terkait pelanggaran yang melibatkan LGBT, kerap menggunakan undang-undang pornografi dan pasal asusila. Kecuali bila ada pelanggaran hukum lain yang dilakukan bersamaan. 

Dalam era yang sarat dengan pergeseran saat ini, paradigma yang berkembang di masyarakat memicu berbagai penalaran yang membingungkan. Tidak sedikit orangtua sekarang ini merasakan kekhawatiran yang sebanding antara memiliki anak laki-laki maupun perempuan. Lebih-lebih bila si anak diluar rumah dan terlambat pulang tanpa kabar. 

Zaman Sekarang, mengamati rutinitas anak laki-laki yang sering berkumpul dan menginap bersama-sama, menjadi sebuah isu yang memerlukan perhatian ekstra. Pendidikan seks dini kepada anak, menjadi salah satu upaya pencegahan efektif terhadap resiko penyimpangan orientasi seksual. 

Dari sudut pandang psikologi komunikasi, ketika anak-anak menikmati suguhan hiburan Superman di berbagai pilihan saluran media, praktis memiliki resiko dampak Teori Peluru atau Jarum Hipodermik (Schram,1950).  Anak-anak yang tidak berdaya ditembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib. Mereka akan distimuli oleh informasi yang diperolehnya dari  media yang memiliki efek  kuat, langsung, terarah, dan segera. Sehingga akan merespon sesuai informasi yang diterima, dimana anak-anak cenderung akan meniru apa yang mereka lihat. 

Secara hukum, anak-anak mendapat perlindungan yang serius di berbagai belahan dunia. Perhatian terhadap anak merupakan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan di negeri kita. “Masa depan bangsa ada di tangan anak” adalah argumentasi kuat yang tidak perlu dibantah, sehingga anak dijamin untuk berkembang optimal baik fisik, mental dan sosial serta berahlak mulia merujuk Undang-undang Nomor 23 tahun 2002.  

Pentingnya perlindungan anak juga dikuatkan oleh Konvensi Hak-hak anak, yang menekankan semua tindakan dan keputusan menyangkut seorang anak harus dilakukan atas dasar kepentingan terbaik anak. Atas dasar hak perlindungan anak, kehadiran DC Comics mengusung Superman biseksual yang rencananya dirilis November ini tidaklah etis di negeri kita. Mengingat kuatnya nilai moral dan agama masyarakat Indonesia. 

Terlepas Fenomena LGBT di tanah air yang tidak dapat dipungkiri, namun perlindungan terhadap pertumbuhan/perkembangan anak adalah tanggung jawab seluruh pihak. Hingga anak tersebut berumur 18 tahun dan dianggap sudah layak membedakan benar atau salah dan mampu membedakan baik atau buruk, merujuk  Undang-Undang nomor 23 tahun 2002,  Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 dan  Konvensi PBB mengenai Hak Anak.  

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama