Membangun Kejayaan Lamongan Melalui Kebudayaan


Oleh: Numan Suhadi


Pada tahun 2022, saat Hari Pers Nasional (HPN), Bupati Lamongan menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Kendari, Sulawesi Tenggara karena dianggap telah mampu memberi motivasi dalam membangun daerahnya khususnya dari segi budaya  dengan bermacam terobosan budayanya yang berusaha merekonstruksi kejayaan dengan penemuan berbagai situs, memunculkan kembali budaya lama yang hampir tergerus, dan menjaga warisan budaya baik di masa Hindu-Budha, peradaban Islam, bahkan masa kolonial ini menjadi poin penting. Sayangnya, penghargaan yang muaranya akan mampu mengangkat strata peradaban masyarakat Lamongan ke depan ini masih belum mampu menggerakkan organisasi dan perangkat birokrasi yang ada. Padahal sejak tahun 2018, Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan telah memiliki dokumen strategis sebagai peta jalan kebudayaan Lamongan yang kemudian dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disebut sebagai Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).


Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah adalah rangkaian dokumen perencanaan Pemajuan Kebudayaan yang disusun oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dan masyarakat melalui para ahli. Sebagai masyarakat Lamongan, rasanya kita perlu bangga bahwa berdasar data PPKD Kabupaten Lamongan Tahun 2018 ternyata kita memiliki 384 jenis Obyek pemajuan Kebudayaan (OPK) yang terdiri dari bahasa 4 jenis, manuskrip 4 jenis, adat istiadat 14 jenis, ritus 10 jenis, tradisi lisan 4 jenis, pengetahuan tradisional 15 jenis, teknologi tradisional 88 jenis, seni 107 jenis, permainan rakyat 10 jenis, olahraga tradisional 8 jenis dan cagar budaya 120 jenis, yang menjadi kekayaan identitas Kabupaten Lamongan.


Pertanyaanya, sudakah kekayaan budaya tersebut akan menjadi modal dasar pembangunan era Bupati Yurohnur Efendi?


Pembangunan berbasis kebudayaan Desa


Paradigma pembangunan para pejabat di level Dinas, Kecamatan, dan bahkan Desa seringkali masih terkooptasi pola berpikir lama, yakni berorientasi pada pembangunan fisik. Pada saat yang berbeda, Bupati Yurohnur Efendi telah berkomitmen untuk mencapai visinya, yakni mewujudkan kejayaan Lamongan yang berkeadilan. Menurut KBBI, kejayaan maknanya adalah kemegahan, kebesaran atau kemasyhuran, yang tentu saja cara untuk mencapainya tidak selalu dengan paradigma lama melalui pembangunan fisik, tapi perlu dibangun paradigma baru berlandaskan kebudayaan dari unit yang terkecil yaitu desa.


Mengapa desa? Perlu diketahui bahwa desa merupakan suatu ruang interaksi budaya yang saling menyilang melintasi ratusan dan mungkin ribuan tahun. Desa juga mengandung interaksi budaya paling dasar dengan menyimpan endapan nilai-nilai kehidupan sosial yang diwariskan turun temurun. Selain itu, desa kini telah menjadi subyek pembangunan; maka menguatkan paradigma pembangunan yang berbasis pada pelibatan akar kebudayaan desa adalah kunci dalam meraih kejayaan yang sesungguhnya.


Diakui atau tidak, perkembangan desa telah mengalami kemajuan pesat; yakni sejak saat menguatnya pendanaan desa melalui Dana Desa dari Pusat sebagi keputusan politik. Pada satu sisi, keputusan distribusi penguatan desa melalui Dana Desa adalah sebuah berkah dalam membangun etintas sebuah desa. Tetapi disisi lain, ada kesalahpahaman dalam memaknai konsep pembangunan desa yang keberhasilannya hanya diukur dari sudut kemewahan infrastruktur fisik, bahkan terkadang tidak memiliki relevansi dan jauh dengan akar budaya masyarakatnya yang akhirnya melahirkan perilaku individualis, kosmopolit dan alpa dengan tradisi khas yang dimiliki desanya.


Oleh karena itu, penting ada intervensi langsung dari orang nomor satu di Lamongan agar pengalokasian Dana Desa bisa selaras dengan visi Bupati; yakni pendekatan pembangunan berbasis pemajuan kebudayaan desa yang tolok ukurnya adalah bagaimana desa-desa di Lamongan mampu menginventarisasi, memelihara, menyelamatkan, mempublikasikan, memberikan ruang untuk mengkaji dan mendiskusikannya, serta memperkaya keragaman dan kemudian memanfaatkan kebudayaan yang ada di desa untuk kesejahteraan warganya.

Perangkap Kuasa Budaya

Kebudayaan Nasional Indonesia sesungguhnya dibentuk oleh berbagai kebudayaan lokal yang ada di berbagai daerah di seluruh nusantara. Senada dengan hal tersebut, Pakar Antropologi Koentjaraningrat juga menyebut Kebudayaan Nasional sebagai suatu kebudayaan yang didukung oleh sebagian besar warga suatu negara yang memiliki kekhasan, membanggakan dan kemudian memberikan identitas terhadap negara dan warga negara. Oleh karena itu, merawat dan mengenalkan kebudayaan daerah, lebih kususnya yang ada di Kabupaten Lamongan, adalah menjadi penting sebagai upaya meningkatkan derajat peradaban kehidupan masyarakat


Kebudayaan berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan karena bisa meningkatkan daya lenting masyarakat, memperkuat inklusi dan kohesi sosial, turut melindungi lingkungan hidup, dan memperkuat pembangunan yang berpusat pada manusia dan berakar pada konteks yang spesifik. 


Selama ini kita hanya berputar pada tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni kemakmuran ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan, maka harus diperkuat dan dibumikan oleh pilar keempat, yakni kebudayaan. Masalahnya, dalam kebijakan publik dan regulasi, apakah kebudayaan sudah mendapat tempat yang semestinya?


Kehadiran Bupati YES di berbagai festival budaya (Festival Gemar Makan ikan di Babat, Festival Ekonomi Kratif di lamongan, Festival Layang-layang di Solokuro, Festival Golok Sabrang di Blimbing, Festival Pindang Megilan di Brondong, Festival Desa Kandangsemangkon, Festival 1001 Pecel Lele di Sekaran) hingga saat ini adalah jawaban kongkrit; betapa Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan memberikan ruang kebebasan berekspresi yang luas, karena hanya dengan begitu kebudayaan dapat berkembang secara sehat dan wajar.


Akan tetapi hal itu tidak cukup dukungan yang sifatnya seremonial, diperlukan juga keperpihakan yang lebih serius dan substantif melalui kebijakan yang inklusif/terbuka agar semua kalangan dapat berpartisipasi dalam kehidupan kebudayaan dan pembangunan berkelanjutan tanpa diskriminasi, mendukung ekonomi berbasis kebudayaan dan kreativitas melalui investasi, perangkat regulasi, dan penguatan kelembagaan.


Selain itu, penting juga untuk menjaga pemanfaatan kekayaan budaya agar tidak terperangkap menjadi komersialisasi berlebihan yang mereduksi ekspresi budaya menjadi sekadar barang dagangan dengan ikut-ikutan latah membangun destinasi wisata baru yang justru cenderung membuat ruang pedesaan menjadi komoditas bagi para pemodal besar untuk meraup keuntungan, mengusir emak-emak penjual jajan tradisonal, menjauhkan anak-anak mengenal narasi sejarah desanya, ruang publik menciut menjadi ruang privat, membuat Si Budi kehilangan tempat bermain kelereng dan layang-layang. Pada akhirnya, hal ini akan memicu tumbuhnya kemewahan pariwisata yang justru menjauhkan masyarakat sekitar dari akar budayanya sendiri. Oleh karena itu, Bupati Yurohnur Efendi perlu waspada terhadap perangkap kuasa budaya atas nama kapitalisme berkedok investasi!


* Penulis adalah Pemerhati Budaya Kabupaten Lamongan, yang kini menjadi inisiator PUSMALA (Pusat Studi Masyarakat Lamongan)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama