Ampuhnya Sentimen SARA, di Pilkada Jakarta


Ampuhnya Sentimen SARA, di Pilkada Jakarta
Danny PH Siagian, SE, MM
(Pemerhati Sosial Politik/ Dosen)
TAK dapat dipungkiri, kemenangan Anies-Sandi sebagai Gubernur DKI Jakarta terpilih, sudah terbukti lewat quick count berbagai lembaga survei, hingga sore hari pencoblosan 19 April 2017.

Namun yang ingin diulas kembali, bahwa sentimen SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), masih sangat ampuh menjadi alat propaganda. Padahal sesungguhnya, Pilkada adalah pertarungan program, pertarungan impian yang ingin dicapai, bagi masyarakat Jakarta.
Tentu, kedua hal tersebut sangat jauh berbeda. Faktor-faktor yang mendasari dan mempengaruhinya juga sangat berbeda. Tapi mengapa demikian menonjolnya sentimen SARA, dan membawa kemenangan bagi Anies-Sandi?
Dan jika Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak terpeleset bicara soal Surat Almaida, apakah mungkin ada keberuntungan bagi pihak Anies-Sandi? Atau, jika Ahok bukan Cina, apakah juga perseteruan yang muncul akan sesengit itu?
Mengandalkan isu SARA, memang masih sangat ampuh di setiap Pilkada. Hal ini juga menunjukkan, bahwa masyarakat masih mudah tersulut dan diprovokasi soal suku dan agama, apalagi soal etnis.
Dalam keadaan demikian, maka yang dibakar atau dipengaruhi adalah soal emosional masyarakat. Bukan soal rasional, yang harusnya justru dibutuhkan dalam mengedukasi masyarakat, untuk bersama-sama mencapai impian Jakarta.
Yang lebih dahsyat lagi, beberapa aksi demo yang digerakkan oleh FPI (Front Pembela Islam), terbukti mampu membakar emosi masyarakat kalangan Islam. Sehingga pemicu sentimen agama, makin berkobar di bumi Jakarta.
Tentu, fenomena ini sangat jauh dari sekedar syarat-syarat seseorang menjadi Gubernur, yang biasanya tidak pernah memandang agamanya apa, dan sukunya suku apa. Tentu, sangat jauh juga dari peran mesin politik parpol pendukung, yang sering mengandalkan basis massanya.
Tontonan perseteruan soal menistakan agama oleh Ahok juga semakin jauh dari adu program calon Gubernur, yang mestinya menjadi menu utama dalam setiap Pilkada. Semakin jauh lagi, ketika sentimen etnis ini mematahkan soal apa yang sudah dinikmati para penduduk Jakarta, dari program yang sudah terbukti dikerjakan para petahana.
Padahal sesungguhnya, jika sebagian besar masyarakat sudah membuktikan hasil yang pernah diwujudkan dari janji-janji program sebelumnya, maka kecenderungannya adalah, akan menaruh hati atau simpati kepada Gubernur yang kembali mencalonkan diri. Tapi sekali lagi, ternyata belum tentu berbanding lurus sedemikian rupa.
Emosional masyarakat yang dipantik lewat kebencian terhadap cap penista agama yang sebenarnya tidak pernah bermaksud menistakan agama itu, justru sangat ampuh mematahkan apa yang sudah dinikmati oleh masyarakat itu sendiri. Psikologis masyarakat dengan amarah itu tadi, ternyata berhasil mengingkari apa yang sudah dimakannya sendiri, tanpa memikirkan lagi, apakah mereka masih akan menikmati apa yang sudah ditelannya.
Hal ini sekaligus juga menunjukkan, betapa mudahnya masyarakat itu disulut emosionalnya. Sekalipun pemicu yang dimaksud belum tentu benar. Karena peran Buni Yani yang sengaja merekayasa pidato Ahok sebagai sumber masalah, itu tidak diakui sebagai pemicu atau biang kerok permasalahan, sangkin emosional masyarakat sudah terpantik. Pokoke salah…wis!
Disisi lain, fanatisme terhadap pembelaan agama, juga sangat mempengaruhi emosional masyarakat, sekaligus mengabaikan tingkat rasionalitasnya. Karena dengan tema menistakan agama, maka kebencian terhadap orang tersebut semakin menjadi-jadi, bahkan hingga ke ubun-ubun.
Maka, Pilkada Jakarta sesungguhnya menjadi ajang perseteruan agama atau kalau bisa disebut Pelgama (Pembelaan agama). Hal inipun terungkap dari beberapa video youtube Habib Riziek sang dalang FPI yang mengatakan, bahwa Pilkada Jakarta adalah perang terhadap para kafir yang ingin menguasai Jakarta.
Sementara itu, dari sisi etnis yang dijadikan amunisi pemantik kebencian, semakin melengkapi tidak rasionalnya cara berfikir. Karena, udah minoritas, ingin menjadi orang penting pula. Maka jika emosi sudah terbakar, pasti ada penolakan.
Oleh sebab itu, jika dikatakan masyarakat Jakarta adalah para pemilih yang rasionil, maka kemenangan Pilkada membuktikannya lain. Apalagi semakin terlihatnya perbedaan yang signifikan, antara hasil pencapaian pasangan Ahok-Djarot (42,47 %) dan Anis-Sandi (57,53 %) pada putaran kedua, hingga pukul 15.00 WIB.
Selisih diantara keduanya menunjukkan lebih dari 14 persen untuk kemenangan Anis-Sandi. Padahal pada putaran pertama, selisih diantara keduanya hanya sekitar 3 (tiga) persen, dengan hasil 42,87% (Ahok-Djarot) dan 39,76% (Anies-Sandi).
Hampir dapat dipastikan, para pemilih pasangan Agus-Silvy yang ikut bertarung di putaran pertama, dengan perolehan suara sekitar 17 persen, masuk ke lumbung suara Anies-Sandi. Tentu, hampir dapat dipastikan pula, hal itu dipicu soal agama dan etnis tadi.
Jadi, dapat disimpulkan, keberhasilan jargon SARA, sangat ampuh untuk memenangkan Pilkada Jakarta. Bahkan mematahkan seluruh syarat dan apa yang seharusnya menjadi menu utama yang harusnya dipentaskan.
Hal ini menunjukkan pula, tingkat emosional masyarakat, dapat mematahkan tingkat rasionalitas, yang biasanya ditandai dengan tingkat kedewasaan berfikir dan intelektualitas. Apalagi yang katanya masyarakat di Ibukota Negara, Jakarta.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama