Pungutan CPO Dihapus, Luhut : Presiden Jokowi Instruksikan Rakyat Jangan Sampai Susah


JAKARTA (wartamerdeka.info) -  Presiden Joko Widodo menginstruksikan, pungutan produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) saat ini  dihapus sementara agar tak membebani rakyat. Sebelumnya, produk CPO dipungut biaya sekitar US$50 per ton.

"Turunin dulu enam bulan. Lihat dulu. Sawit kan rakyat kecil. Presiden mendengarkan kami. (Instruksi presiden) Rakyat jangan susah," kata Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan  di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (26/11).

Kebijakan ini diambil pasca-penurunan harga CPO dalam sepekan terakhir menjadi US$420 per ton. Padahal, dua pekan lalu harga CPO masih sekitar US$530 per ton.

Luhut menyatakan pemerintah saat ini akan melihat respons pasar terlebih dulu. Di sisi lain, ia mengingatkan masih ada sekitar dana sekitar Rp30 triliun dalam kantong Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) sawit.

"Presiden juga meminta bisa tidak digunakan untuk membantu petani kecil itu," ucap mantan Kepala Staf Kepresidenan ini.

Ia menyadari pemerintah juga menerbitkan kebijakan penerapan biodiesel (B20) demi mendukung stabilisasi harga CPO, namun hal itu tak berpengaruh signifikan. Pasalnya, penurunan harga minyak kelapa sawit mentah merupakan isu global yang mempengaruhi banyak negara, termasuk Indonesia.

"Karena harga minyak juga turun. Ini bagaimana kita bermain dengan perubahan dunia yang cepat. Harga minyak turun, kita untung rupiah menguat tapi ada juga yang rugi. Bagaimana menjaga ekuilibriumnya," tutur mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM ini.

Sebelumnya, pemerintah menerapkan pungutan demi mendorong hilirisasi produk kelapa sawit. Dana pungutan digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel dan peremajaan kelapa sawit.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2018, besaran pungutan ekspor sawit terbagi menjadi US$50 per ton untuk CPO, US$30 untuk produk turunan pertama dari CPO, dan US$20 untuk turunan kedua.(AR)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama