FH UKI Gelar Webinar Nasional Bertema Aspek Hukum Perkawinan Campur

Nara sumber, Para Pejabat Struktural UKI, Panitia dan peserta webinar Aspek Hukum Perkawinan Campur 


JAKARTA (wartamerdeka.info)
- Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI), bekerjasama dengan Program Studi (Prodi) Doktor Hukum UKI, menggelar webinar Nasional bertajuk “Aspek Hukum Perkawinan Campur” (Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan).

Webinar digelar pada Rabu, 23 September 2020, pukul 14.00-17.00 WIB, melalui aplikasi zoom meeting, dari sentral kendali kampus UKI Jakarta. Webinar diikuti hampir 500-an peserta (486 partisipan/ 20 frame zoom), yang antara lain dari: Universitas Brawijaya, Malang (Muhammad Romli), Notaris dan PPAT di Kota Bekasi; Para pejabat Struktural UKI, para Dosen, para mahasiswa, dan masyarakat umum  dari berbagai daerah.

Webinar menghadirkan 3 (tiga) nara sumber top yaitu: Prof. Dr. John Pieris, S.H., MS, Guru Besar Hukum Tata Negara FH UKI yang juga Ketua Program Studi Doktor Hukum UKI; Pdt. Dr. Albertus Patty, MA., M.ST, Pendeta GKI., Aktifis Lintas Agama.,dan Pembina Universitas Kristen Maranatha Bandung; dan Edward ML. Panjaitan, S.H., LL.M, Ketua Departemen Hukum Internasional FH UKI. Acara dipandu host, Sola Grathia EM Bakhu, mahasiswa S-2 MIH UKI, dan moderator Diana Napitupulu, SH, MH, MKn, M.Sc, yang juga Kepala Departemen Hukum dan Masyarakat di FH UKI.

Usai menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Dekan FH UKI, Hulman Panjaitan, SH., MH, dalam sambutannya mengatakan bahwa webinar tentang aspek hukum perkawinan campur ini sangat penting, mengingat masih banyaknya persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat.

“Dari segi pemilihan tema webinar yaitu, Aspek Hukum Perkawinan Campur, Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan, memang selalu menjadi perhatian dari dulu hingga saat ini. Karena masih sering menjadi perdebatan di masyarakat. Juga masih menjadi polemik bagi para akademisi maupun praktisi,” ungkap Hulman mengawali sambutannya. 

Oleh sebab itu, lanjut Hulman, adanya kerjasama antara Fakultas Hukum dengan Prodi Doktor Hukum UKI, mencoba memperbincangkan dalam webinar, karena tidak saja dilihat dari aspek hukum saja.

“Aspek lain selain aspek hukum adalah, dari segi aspek Hak Azasi Manusia, dan aspek theologisnya. Melalui forum ini, kami berharap kita dapat berdiskusi dan mengambil makna dari perbincangan itu sendiri,” terangnya. 

Sementara Rektor UKI, Dr. Dhaniswara K. Harjono, SH, MH., MBA dalam sambutannya menyapa para pejabat struktural Dekan dan jajarannya, para nara sumber dan para peserta webinar, serta menyinggung sedikit soal topik webinar. 

“Terimakasih tentunya kepada Bapak Dekan beserta jajarannya, Bapak Kaprodi Doktor Hukum, para nara sumber dan moderator, yang sudah bersedia mengisi acara webinar kita dari siang hingga sore hari ini. Saya sangat mengerti, bahwa aspek hukum perkawinan campur ini, seringkali masih banyak membingungkan masyarakat. Dilain sisi, di Era Global seperti sekarang ini perkawinan campur antar warga negara maupun agama, memang menjadi sesuatu yang sangat sulit dihindari,” ungkapnya.

Sebab itu, lanjut Dhaniswara, melalui webinar ini dapat mengupas tuntas dari berbagai aspek hukum, dan kiranya bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi para mahasiswa,    . 

“Maka dengan mengucap syukur pada Tuhan, acara webinar dengan judul, Aspek Hukum Perkawinan Campur, Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan, dengan ini secara resmi saya buka. Syalom, selamat berwebinar, dan Tuhan memberkati. Syalom,” katanya sekaligus membuka acara secara resmi. 

Setelah itu, moderator Diana Napitupulu, SH., MH, MKn, M.Sc, (akrab disapa Dina) memberikan sekilas pengantar mengenai perkawinan itu merupakan hak azasi manusia yang mengandung unsur hukum. Dina juga menjelaskan, bahwa webinar tersebut adalah murni kajian ilmiah hukum, bukan membahas soal iman atau agama.

Dina juga menjelaskan, ada berbagai masalah dalam perkawinan beda agama itu, yang dalam ajarannya melarang secara sepihak. Bahkan hingga ada yang melakukan seperti penyelundupan hukum, dengan meminta penetapan pengadilan. Dina juga membacakan riwayat pendidikan dan pengalaman ketiga nara sumber, serta ada sharing perkawinan campur beda agama dari Sasmiyarsi Katoppo (isteri alm. Aristides Katoppo), dan dari Ida Lucia Maille, yang menikah dengan warga Negara Perancis. 

Mengawali paparannya, nara sumber pertama Edward ML. Panjaitan, S.H., LL.M membawakan makalah berjudul ‘Perkawinan Beda Warga Negara Dalam Hukum Indonesia’, mulai menjelaskan dari pengertian perkawinan, Undang-undang Perkawinan, hingga Perkawinan dalam KUHPerdata (in general).       

Dikatakan Edward, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  (UUP)  Pasal 1; menyatakan  “Perkawinan  ialah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sedangkan Pasal 81 KUHPerdata (KUHPer) mengatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.

Universal Decleration of Human Rights, Pasal 16 menyatakan : “ setiap manusia mempunyai hak untuk menikah dan berkeluarga tanpa memandang kebangsaan, kewarganegaraan maupun agama, yang penting memiliki rasa suka sama suka”.

Adapun Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Pasal 10 menyatakan: (1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah; (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon isteri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara Perkawinan Campuran (GHR) dalam Pasal 1 Reglement op de Gemengde Huwelijken (GHR) dikatakan: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan. Termasuk di sini, perkawinan berbeda agama, berbeda kewarganegaraan, dan berbeda golongan penduduk (mengingat adanya penggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda).” Pasal 7 ayat (2) GHR: “Perbedaan agama, suku bangsa, keturunan bukan menjadi penghalang untuk terjadinya suatu perkawinan.”

Edward menjelaskan berbagai aspek hukum yang mendasari perkawinan campur itu, serta adanya penjelasan lanjutan pasal-pasal berkaitan yang mengatur dampak dan konsekwensi jika terjadi risiko perkawinan, seperti: perceraian, perselisihan maupun kepailitan. Termasuk dasar-dasar hukum status kewarganegaraan keturunannya, dan soal harta milik sebelum dan sesudah adanya perkawinan.

Sementara nara sumber kedua, Prof. Dr. John Pieris, S.H., MS menjelaskan pengantarnya, bahwa ada 2 (dua) bagian Perkawinan Campuran itu sebenarnya, yaitu: perkawinan campur antar warga Negara maupun antar keyakinan atau aliran kepercayaan, dan yang ke-2 menurutnya, perkawinan sesama jenis. Tapi untuk yang kedua ini tidak akan dibahas dalam webinar.

John Pieris mengatakan bahwa dalam masyarakat majemuk itu perkawinan perkawinan campur adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Boleh jadi juga perkawinan itu sesama jenis, seperti yang terjadi di Amerika dan Eropa, bahkan gereja disana mensahkan perkawinan mereka.

Tapi di Indonesia, kita menutup pintu untuk itu, namun tidak tau apa yang akan terjadi hingga 20 tahun ke depan. 

“Nah, apakah nantinya gereja-gereja di Indonesia akan ikut mengesahkan perkawinan sejenis? Kita doakan supaya itu tidak terjadi,” katanya.

Menurut John, perkawinan itu sesuatu yang kodrati. Sifatnya doktrinal, dimana doktrinal kebahagiaan dan ke-Tuhanan itu mencoba untuk menjadi nafas, dan menjadi nilai intrinsik. 

“Sedangkan nilai intrinsik itu yang sebelumya juga sudah bernilai. Karena percintaan itu anugerah Tuhan. Percintaan itu bisa meruntuhkan tembok-tembok pemisah, berbeda agama, berbeda suku, beda ras, berbeda keyakinan,” terangnya.

John juga menjelaskan sejarah tentang hak azasi manusia (HAM), baik dari Inggeris hingga Perancis. Termasuk Indonesia menyesuaikan terhadap Undang-undang tentang hak azasi dan hak sosial yang menyangkut pernikahan.  

Namun, kendati HAM bicara kebebasan hak, tapi Undang-undang dapat membatasinya. Oleh sebab itu, jika ada Undang-undang yang membatasi, tapi tidak-sesuai dengan norma-norma diatasnya, maka ini sebenarnya bisa ditolak secara kritis.

Sebab secara yuridis, dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 itu, tidak ada pasal yang melarang perkawinan campur dengan beda agama. 

“Maka perkawinan menurut Undang-undang tersebut memberikan ruang untuk perkawinan campur dengan beda agama. Yaitu dengan memanfaatkan pasal 56 dan seterusnya,” tandasnya. 

Bahkan menurutnya, diskriminasi terhadap perkawinan beda agama justru merupakan pelanggaran terhadap azas-azas dasar dan hak azasi manusia. 

“Jadi, tidak boleh ada diskriminasi terhadap perkawinan beda agama. Itu harus diberikan ruang.  Kalaupun itu dipaksakan, maka totally against the law, atau totally against constitution, atau bahkan  totally against Pancasila, itu akan terjadi,” bebernya.

Adapun nara sumber ketiga, Pdt. Dr. Albertus Patty, MA., M.ST lebih menyoroti “Beberapa Persoalan Etis-Teologis Perkawinan Campur Beda Agama” yang juga menjadi topik presentasinya. 

Berty, demikian panggilan akrabnya menjelaskan, dalam buku “American Grace: How Religion devices and United US,” Robert Putnam & David E Chambell menunjukkan, pada tahun 1950, hanya 20% orang US yang kawin beda agama. Tapi kini, jumlahnya sudah mencapai 45%.

Berty juga mengatakan, agama-agama berpendapat berbeda terhadap perkawinan beda agama. Ada yang menolak, ada yang boleh (PGI & KWI). Bahkan di Internal Sinode juga ada yang berbeda, boleh dan tidak.  

Menurutnya, ada tiga alasan penolakan perkawinan beda agama yaitu: Dianggap terlalu beresiko menimbulkan konflik rumah tangga; Ketakutan adanya terjadi prosetilisme (Kristenisasi); Teologi yang polaristik, dengan pandangan yang membedakan terang vs gelap, anak Tuhan vs anak setan (II Kor:6;14).  

Sedangkan di sisi lain, ada alasan-alasan yang membolehkan seperti: Alasan Teologis, bahwa semua orang anak Tuhan, dimana Tuhan tidak membedakan orang (Kis. 10: 34); Alasan HAM, bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya (UU No. 39/1999); dan alasan Realistis, hingga alasan mencegah frustasi dan dosa.

Sementara praktek di lapangan menurut Berty, ada pasangan yang cukup ibadah satu kali, namun ada yang hingga dua kali, sesuai agama masing-masing pasangan, tanpa ijab kabul dan pengakuan iman.

“Ada juga yang pindah agama, lalu pindah lagi. Koq enak bener ya? Ada juga memilih pernikahan di luar negeri bagi yang mampu, dan ada yang terpaksa pindah agama, bukan karena kesadarannya,” ungkap Berty.

Berty berkesimpulan, bahwa agama telah terjebak pada legalistik formal sehingga manusia dikerangkeng dalam tirani kekuasaan agama.

“Seharusnya agama diciptakan untuk kebaikan manusia. Bukan untuk sebaliknya,” tandasnya.

Selain itu, wawasan agamawan kita primordial dan komunal, sehingga efeknya, agama justru penghambat kohesi sosial bangsa. Teologi polaristik juga menciptakan dikotomi terang vs gelap, dimana umat gagal menjadi garam dan terang atau menjadi sesama bagi siapapun.

Dan adanya distrust antara umat beragama, dimana beda agama pun dianggap sebagai bagian dari strategi Kristenisasi, ini yang paling jelas berbeda. 

“Namun yang paling penting, seharusnya Pemerintah melayani kebutuhan warganya yang ingin menikah beda agama, karena efek sosialnya sebenarnya positif,” tutupnya.

Setelah paparan ketiga, moderator Dina membacakan sharing dari Sasmiyarsi Katoppo, dan memberi kesempatan kepada Ida Lucia Maille, yang menikah dengan warga Negara Perancis. Setelah itu, Dina membacakan beberapa pertanyaan dalam catting webinar yang justru memunculkan diskusi hangat, hingga tanpa terasa waktu hingga tiga jam 40 menit. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama