Ketika UUD 1945 Diamandemen, GBHN Perlu Dihidupkan Kembali


PURWAKARTA  (wartamerdeka.info)  - Dilansir dari KBRN Jakarta, Mantan Hakim Agung, Prof. Gayus Lumbuun mengatakan, gagasan untuk menghidupkan kembali Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sistem ketatanegaraan RI perlu memperhatikan legitimasi secara filosofis, sosiologis dan yuridis.

"Secara filosofis jelas dimaksudkan agar GBHN merupakan bagian dari upaya negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yakni menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera," kata Gayus yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris) dalam acara Focus Group Discusion dengan MPR, Selasa (8/12/2020).

Selain itu, Gayus menjelaskan, secara sosiologis dimaksudkan untuk memperbaiki dan memberikan solusi terhadap masalah yang ada dalam praktek ketatanegaraan dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

"Sementara dari aspek yuridis perlunya legitimasi dalam bentuk landasan hukum yang kuat, baik dalam UUD 1945 maupun dalam UU yang mengatur secara tersendiri mengenai MPR RI," terang Gayus.

Sementara, Rektor Unkris Dr Ir Ayub Muktiono M SIP berpendapat dihidupkan kembali GBHN oleh MPR harus menjunjung kearifan lokal.

GBHN sangat diperlukan namun GBHN yang tepat menjunjung tinggi kearifan budaya lokal dan GBHN dari hasil dari diskusi musyarawah.

Ayub melihat harus ada penataan yang lebih beradab untuk keanggotaan di MPR dengan unsur parpol, adat dan budaya (kerajaan), pertahanan dalam hal ini TNI/Polri, intelektual dan rohaniawan.

Plt Dekan Fakultas Hukum UNKRIS Dr Drs R.H Muchtar H.P. B. Ac., S.H. M.H. berpendapat GBHN perlu dihidupkan kembali sebagai pedoman rencana pembangunan pemerintah yang berkelanjutan. Selain itu usulan pemberlakuan GBHN kembali harus dikritisi karena akan mengancam hubungan yang demokratis yang sudah terbangun antara lembaga eksekutif dan legislatif setelah era reformasi.

"GBHN adalah instrumen konstitusional bagi MPR RI untuk mengawasi kinerja Presiden," ujar Muchtar.

Diketahui, GBHN adalah kebijakan yang pernah diterapkan di era Orde Baru yang merupakan haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu lima tahun.

Dengan adanya Amendemen UUD 1945 di mana terjadi perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya, UU No. 25 Tahun 2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang). 

Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP

Efektivitas GBHN 

Saat ini Presiden tidak lagi berkedudukan sebagai mandataris MPR sejak dihapusnya penjelasan UUD1945 tentang kedudukan Presiden sebagai mandataris MPR, akibatnya, Presiden tidak berkewajiban menjalankan segala putusan MPR termasuk GBHN.

Presiden tidak dipilih oleh MPR, sehingga tidak tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR, sedangkan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, Oleh karena itu sulit kiranya memaksa Presiden untuk tunduk pada GBHN karena tidak akan memberikan implikasi konstitusional apapun.

Secara politik tidak ada jaminan juga bahwa GBHN akan bisa hadir secara konsisten. Konfigurasi politik yang mudah berubah, saat ini sulit menghadirkan produk konstitusi yang konsisten GBHN. Pada era orde baru bisa awet karena konfigurasi politik anggota MPR tidak mudah berubah.

"Tak hanya itu saja argumen bahwa GBHN akan memberikan pedoman rencana pembangunan yang ajek sangatlah lemah karena dengan komposisi partai politik yang sangat cair saatini apa saja bisa berubah," pungkas R.H Muchtar.(A. Budiman) 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama