Pendidikan Tidak Berhenti Sebatas Diterimanya Selembar Ijazah


Oleh: Dr E Handayani Tyas 
(Dosen FKIP & Magister Administrasi Pendidikan Pascasarjana UKI Jakarta)

IJAZAH memang bukti otentik seseorang dinyatakan lulus. Ijazah sebagai bukti tertulis yang menunjukkan bahwa seseorang telah menamatkan sekolah/pendidikan pada jenjangnya, ia layak untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau mendapatkan pekerjaan yang diminatinya. Dengan modal selembar ijazah seseorang menjadi bangga dengan prestasi yang diraihnya. Namun, apakah dengan bukti selembar ijazah itu pasti akan menjamin kompetensi seseorang?

Berikut adalah definisi kompetensi yang dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada BAB I Pasal 1 butir 10: Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Berangkat dari definisi tersebut, perkenankan penulis menceriterakan sebuah pengalaman nyata yang dialami oleh si A, seorang warga negara Indonesia, laki-laki, usia 18 tahun, yang baru saja menamatkan studinya dari STM (Sekolah Teknik Menengah jurusan konstruksi bangunan dengan spesifikasi/konsentrasi las), kita tahu bahwa kalau dulu disebut STM, sekarang kita kenal dengan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).

Setelah lulus si A tadi mencari pekerjaan dan singkat cerita ia mendapatkannya di luar negeri (Negara X) yang terkenal dengan etos kerja yang bagus, disiplin tinggi dan mengutamakan kejujuran. Kompetensinya benar-benar diuji dan hasilnya bagus, ia sangat handal di bidang nya, rapi, tekun, disiplin dan interpersonalnya juga oke. Setelah mengalami tingkatan-tingkatan ujian dan wawancara, oleh supervisornya ia dinyatakan diterima kerja di perusahaan itu.

Perusahaan mengalami kemajuan pesat dan butuh tenaga kerja lagi. Si A ditanya, apakah ia punya teman yang sekualitas dengan dia? Pertanyaan tersebut dijawabnya dengan mantap ada, katakan si B namanya adalah teman belajarnya waktu di sekolah, tetapi si B itu belum lulus. Setelah bincang-bincang mengenai mengapa si B belum lulus? Penyebabnya adalah 3 bulan sebelum waktu ujian tiba, ayah si B meninggal dunia dan untuk menopang biaya hidup keluarga (karena pekerjaan si ibu adalah tukang cuci pakaian dari rumah ke rumah), maka si B tak boleh ikut ujian karena belum bayar uang sekolahnya. Singkat cerita, bos memutuskan agar si A memanggil si B (temannya) itu untuk datang ke negara X dan bekerja di perusahaan yang sama dengan tempat si A bekerja.

Si B di test knowledge, attitude, psikomotorik, skill dan kompetensinya serta test wawancara, untuk pekerjaan menge-las, hasil akhirnya cukup memuaskan si pemberi kerja dan dinyatakan diterima, walau tidak didukung dengan bukti selembar ijazah.

Itulah cerita singkat yang dapat penulis angkat dalam tulisan ini, kiranya menginspirasi. Menurut hemat penulis, bukannya ijazah itu tidak perlu namun, sekali lagi bahwa pendidikan itu tidak berakhir dengan diterimanya selembar ijazah. Oleh karena itu, siaplah terus mengasah ‘gergaji’ kita; sebagaimana dikemukakan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The seven habit of highly effective people (tujuh kebiasaan manusia yang paling mangkus). Hal mengenai mengasah mental (sharpen the saw) diulasnya pada habit ke tujuh. Itulah sebabnya mari kita siap belajar terus selama hayat dikandung badan (lifelong learning or lifelong education).

Sekolah dan kampus harus dapat melahirkan manusia-manusia terampil dan inovatif untuk ikut memajukan negara. Dunia pendidikan diharapkan mampu menciptakan manusia-manusia yang memiliki keterampilan personal kreatif dan inovatif, serta pemahaman terhadap teknologi digital yang mampu berkontribusi bagi negeri ini. Kerjasama semua pihak diharapkan mampu menciptakan sekaligus memanfaatkan momentum yang tepat untuk dapat meningkatkan kehidupan masyarakat.

Lingkungan sekolah dan kampus harus peka dan siap beradaptasi, sanggup mengantisipasi, bisa menjawab tantangan di bidang pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Tridarma), peningkatan keorganisasian; pendek kata mampu melihat perubahan yang terjadi dengan cepat, tepat dan menyeluruh (comprehensive).

Menjadi Sarjana dan Magister, maupun bergelar Doktor sekalipun tak cukup untuk berkarya, mencipta, berfikir menerobos, tuntas dan menyeluruh. Pembelajaran kolaboratif perlu dikemas dan disajikan sebagai sarana untuk memberikan solusi bagi para pelaku industri. Kurikulum pun harus fleksibel agar siswa/mahasiswa dapat lebih leluasa dalam mengambil/memilih mata kuliah yang diminati. Karena, baik belajar maupun bekerja kalau sesuai minat/hobi semua akan terasa nyaman.

Sementara awam memaknai kurikulum secara sempit, yaitu sebatas mata pelajaran, padahal sesungguhnya makna kurikulum menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada BAB I Pasal 1 butir 19: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Entah sudah berapa kali penulis menghadiri acara wisuda S1, S2, S3 selalu dikumandangkan pidato bahwa kelulusan yang telah diraih saat ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan ditempuh oleh para lulusan. Oleh karena itu, siaplah untuk belajar sepanjang hayat, karena menjadi manusia pembelajar adalah tuntutan hidup yang harus senantiasa diperjuangkan.

Ilmu pengetahuan itu selalu akan bertumbuh dan berkembang, tidak statis, apalagi masa bodoh; itulah sebabnya penulis berani mengangkat tulisan ini bahwa ijazah saja belum cukup. Peningkatan dan kemajuan dunia pendidikan selalu menjadi hal yang sangat penting demi masa depan alumnus sendiri khususnya  dan bangsa Indonesia umumnya.

Kami, pecinta pendidikan percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk kemajuan bangsa dan hal itu menjadi tanggung jawab semua pihak. Melalui kolaborasi antarpemangku kepentingan, baik pemerintah – swasta – institusi pendidikan – masyarakat – maupun media; akselerasi kemajuan pendidikan Indonesia  menjadi semakin progresif. Kreativitas dan inovasi adalah kunci pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Mas Nadiem) mengatakan: “Diharapkan mahasiswa menjadi pembelajar sejati yang terampil, fleksibel dan ulet, sehingga nantinya dapat menjadi sarjana yang tangguh, relevan dengan kebutuhan zaman dan siap menjadi pemimpin dengan semangat kebangsaan yang tinggi”.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama