Demokrasi Ala Jokowi Dan Demokrasi Ala SBY Manakah Yang Terbaik?

Foto: Lebih dari 100 ribu orang anggota HTI dari berbagai daerah menghadiri acara Muktamar Khilafah 2013 yang diselenggarakan oleh HTI di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, di era Presiden SBY.  


Saiful Huda Ems (SHE) 

- Lawyer dan Pengamat Politik

DI laman resmi Partai Demokrat, putra mahkota SBY yang dipaksakan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) telah menyoroti kebebasan sipil di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang dikatakannya menurun. Berkaca dari The Economist Intelligence Unit, AHY menyatakan bahwa skor indeks demokrasi di Indonesia telah menurun secara signifikan. 

"Itulah yang akhirnya Indonesia dianggap berada di angka terendah dalam 14 tahun terakhir dari aspek demokrasi," kata AHY.

Diapun menambahkan Indonesia seharusnya menjadi contoh bagi negara demokrasi lainnya, paling tidak di Asia Tenggara. 

Mencermati pernyataan AHY itu, saya akhirnya membuat beberapa tanggapan, pertama, bahwa pernyataan AHY yang seperti itu jelas menunjukkan kualitas intelektual yang rendah dari seorang AHY yang merupakan politisi pemula. Karena pernyataan itu selain menunjukkan bahwa AHY belum benar-benar bisa memahami apa itu demokrasi, AHY pun rupanya lupa bahwa 14 tahun yang lalu itu SBY yang merupakan bapaknya sendiri masih menjabat sebagai Presiden Indonesia. Itu artinya AHY bermaksud ingin meledek Presiden Jokowi namun ia tidak sadar ternyata yang diledeknya bukan hanya Presiden Jokowi, melainkan pula SBY alias bapaknya sendiri, karena menurut AHY selama 14 tahun terakhir Indonesia berada di angka terendah dari aspek demokrasi. Memalukan bukan? Makanya lain kali AHY kalau mau menjiplak omongan orang haruslah sedikit lebih kritis.

Kedua, belum pernah terjadi sepanjang sejarah di Indonesia, ada demonstran yang membakar dirinya sendiri sampai hangus dan mati di depan Istana Negara karena protesnya terhadap prilaku Kepala Negara yang dianggapnya korup, tidak adil dan tidak demokratis, kecuali di zaman SBY menjadi Presiden. Apakah AHY anak Pepo itu kurang membaca, hingga ia tidak tau bahwa pernah ada seorang Mahasiswa Universitas Bung Karno yang bernama Sondang Hutagalung yang telah memprotes Presiden SBY dengan membakar dirinya sendiri sampai hangus dan mati di depan Istana Negara pada Tgl. 7 Desember 2011? Sekali lagi ini terjadi bukan di era kepemimpinan Jokowi, melainkan di era kepemimpinan SBY !.

Apakah AHY juga tidak pernah diajari oleh para seniornya di Partai Demokrat, bahwa di zaman bapaknya menjadi Presiden R.I selama dua periode itu, Ormas-Ormas pelopor kekerasan dan penentangan ideologi negara seperti HTI dan FPI tumbuh subur, hingga banyak rakyat dan aktivis NU serta para penganut agama dan kepercayaan di negeri ini menjadi korban kekerasan Ormas-Ormas Pentungan itu? Lupakah AHY terhadap kekerasan yang pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal di negeri di era kepemimpinan SBY, terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah yang rumah-rumahnya dibakar dan orang-orangnya dibunuh? Jika AHY tidak mengerti soal itu, maka silahkan AHY banyak bertanya ke aktivis-aktivis NU seperti KH. Maman Imanulhaq dll., atau silahkan AHY membaca hasil survei yang diungkap oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) di tahun-tahun terakhir SBY menjabat sebagai Presiden R.I. Menurut LSI saat itu ada peningkatan kasus kekerasan yang berlatar belakang diskriminasi, agama, sosial maupun etnis di era kepemimpinan SBY. Belum lagi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di era kepemimpinan SBY. Menurut hasil survei LSI, jika sebelum kepemimpinan SBY terdapat 915 kekerasan dengan rata-rata pertahun 150 kasus, di era SBY kekerasan meningkat menjadi 1483 kasus dengan rata-rata 210 kasus pertahun yang terjadi mulai tahun 2005 hingga 2012.

Ketiga, dengan mencermati pernyataan AHY di atas yang menyatakan bahwa di era kepemimpinan Jokowi, skor indeks demokrasi di Indonesia telah menurun secara signifikan, itu menurut saya jelas menunjukkan bahwa AHY dan bapaknya yakni SBY jelas sekali tidak dapat memahami apa itu demokrasi yang sesungguhnya, hingga keduanya menyimpulkan skor indeks demokrasi secara serampangan. Menurut Prof. Sri Soemantri, Demokrasi itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu demokrasi dalam arti material dan dalam arti formal. Demokrasi dalam arti yang pertama adalah demokrasi yang diwarnai oleh falsafah atau ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau negara. Perbedaan dalam demokrasi yang dianut oleh masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar dalam demokrasi ini. Oleh karena itu dikenal adanya Demokrasi Liberal, Demokrasi Sosialis, Demokrasi Rakyat, Demokrasi Sentralisme, dan Demokrasi Pancasila.

Sedangkan demokrasi dalam arti formal mengalami perkembangan, yaitu dari demokrasi langsung, sebagaimana pernah dilaksanakan dalam Negara Kota atau (City State) di Yunani Kuno, menjadi demokrasi tidak langsung. Demokrasi tidak langsung juga dinamakan demokrasi perwakilan, yaitu demokrasi yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga/badan perwakilan rakyat. (Prof. Sri Soemantri, Makalah Seminar, Jakarta 12 April 1999).

Jika kita lihat dari dua segi Demokrasi yang dijelaskan oleh Prof. Sri Soemantri itu, maka Indonesia yang menganut sistem Demokrasi Tidak Langsung atau Demokrasi Perwakilan ini dan apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi saat ini adalah Demokrasi Pancasila, dimana falsafah atau ideologi negara (Pancasila) selalu menjadi dasar dari berbagai kebijakan Pemerintah dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Oleh karena itu, di era kepemimpinan Presiden Jokowi ini, Ormas-Ormas yang melawan falsafah dan ideologi negara seperti HTI dan FPI diberi tindakan dengan keras fan tegas oleh aparat Keamanan Negara atau dibubarkan oleh Pemerintah, agar bangsa dan negara Indonesia ini kembali aman, tertib dan damai. 

Jadi, demokrasi yang dipilih oleh Presiden Jokowi saat ini adalah Demokrasi Pancasila yang berani bersikap tegas melawan para penghianat ideologi bangsa seperti HTI dan FPI, sedangkan Demokrasi yang nampaknya dulu dipilih oleh Presiden SBY adalah Demokrasi Sak Karepe Dhewe, dimana semua kelompok radikal yang ajarannya bertentangan dengan falsafah dan ideologi negara boleh hidup dan berkembang di Indonesia, meskipun mereka membahayakan keutuhan bangsa dan negara, yang penting Presiden SBY aman dan keluarganya sejahtera.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama